Selasa, 20 November 2012

BERBAGAI PENDEKATAN MEMAHAMI ISLAM*



Ach. Hefni Zain
A. Ilustrasi
Dalam bukunya “Manthiquth Thayr” Fariduddin Attar pernah menggambarkan sekelompok orang yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam kegelapan, karena gelap mereka menggunakan telapak tangan untuk merabanya. Orang pertama menyentuh belalainya kemudian dia berkata bahwa gajah itu laksana pipa air, orang kedua memegang telinganya lalu berpendapat bahwa binatang itu seperti kipas angin, yang ketiga meraba kakinya sehingga baginya gajah itu seperti pilar, dan yang terakhir meraba punggungnya spontanitas dia berkata gajah itu bagaikan singgasana, kemudian salah seorang diantara mereka mengambil lampu yang terang menderang, kini segalanya menjadi jelas bahwa kendati pendapat mereka tidak salah tetapi tidak sepenuhnya benar, cerita senada juga ditulis Sa’di dalam bukunya “Gulistan”.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan pelbagai manhaj yang digunakan umat islam dalam memahami agamanya, ada yang tekstual mainded, kontekstual mainded,  ada  yang lebih mistikal dan ada juga yang lebih memilih pendekatan praktikalnya, bagi yang disebut terakhir, fokusnya adalah bagaimana menerjemahkan islam dalam realitas sosial, menurut mereka bila ada islam teoritis mesti ada islam praktis, bila ada islam konseptual, tekstual dan kontekstual mesti ada islam aktual. Dan untuk menjustifikasi manhajnya masing masing tak jarang mereka memperkuatnya dengan menforsir sejumlah ayat alquran  hadits atau menyusun setumpuk alasan dan ulasan.

B. Karakteristik Islam
Berdasarkan simantiknya, Islam adalah ajaran kemanusiaan, penyelamatan, perdamaian, moderat, tunduk patuh dan kepasrahan total kepada Allah Swt, Ia merupakan ideologi universal  yang  aturan aturannya didasarkan pada hakekat universalitas dengan  memperhatikan  basic need (al hajah al asasiyah)  manusia itu sendiri.  Karena itu Allah swt menyebut Islam sebagai agama fitroh dan menyeru kepada umat manusia agar menjaga fitroh itu tetap hidup (Qs. 30 : 30), Dan dengan dasar itu pula ditegaskan bahwa kehadiran  islam dimaksudkan sebagai rahmah bagi sekalian alam    (Qs. 34 : 28,   21 :107 dan   7 : 158).
            Sedangkan karakteristik utama dari ajaran islam menimal ada empat,yakni : Ilahiyah,  Insaniyah,  Syumuliyah    dan wasathiyah. Disebut universal, karena Islam -- baik sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah yang maha agung  maupun sikap harmoni  terhadap makro kosmik -- merupakan pola wujud (mode of existence) seluruh alam semesta. Diutusnya para Rasul mulai dari Adam as sampai Muhammad saw yang datang silih berganti dalam sejarah umat manusia dimaksudkan untuk menegaskan  agar manusia jangan sampai salah pilih  sehingga menempuh jalan hidup selain sikap tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak harmonis dengan makhluk yang lain. Orang orang yang menempuh jalan hidup “selain” seperti dimaksud diatas,  dengan sendirinya nyata nyata melawan grand desigh ilahi, menentang nuraninya dan menentang hukum universal yang menguasai seluruh alam semesta ( Qs. Ali Imran : 83 – 85).
Disebut moderat, karena, manusia diberi kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu yang dituntut adalah ketulusan beragama dan tidak dibenarkan pemaksaan agama dalam segala bentuknya,  nyata atau terselubung, besar atau sekecil kecilnya sekalipun.   Oleh karena tidak ada paksaan dalam beragama, maka dalam pemahaman agamapun tidak ada paksaan. Artinya bahwa  Islam menghargai  setiap manhaj, model dan kreatifitas manusia dalam memahami agamanya. semua agama mempunyai dasar teologis untuk menyatakan  bahwa hanya Tuhan dan wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, ketika manusia melakukan interpretasi terhadap yang absolut itu, maka akan bersifat relatif sesuai dengan keterbatasan manusia itu sendiri, karenanya  sering dikatakan “Kebenaran agama adalah apa yang ditemukan manusia dari pemahaman akan kitab sucinya, sehingga kebenaran agama dapat beragam dan Tuhan merestui  perbedaan cara keberagamaan umatnya. Agama hanyalah “jalan” sedangkan tujuannya adalah Tuhan yang adi kuasa.
Sampai disini kita melihat bahwa model apapun yang berkembang dari improvisasi manusia dalam memahami agamanya  sesungguhnya  sah sah saja tetapi yang utama bukanlah yang menempuh banyak jalan, melainkan yang memilih jalan efektif untuk sampai pada tujuan, cinta dan taqwa  kepada Allah adalah jalan yang efektif untuk wushul ila Allah.

C. Berbagai model memahami islam
Secara normatif telah mensejarah beberapa pendekatan memahami islam yang terus berkembang hingga saat ini, antara lain :
1.      Al Manhaj al Naqli (metode tekstual),
Yakni metode yang menjadikan teks teks wahyu sebagai pegangan dalam memahami islam, menurutnya Alqur’an dan hadits telah komplit dan sempurna menyediakan pelbagai konsep dan jawaban terhadap segala persoalan keagamaan yang dihadapi manusia sejak masa Rasululloh hingga akhir zaman.
Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qodim  as soleh  wal ahdu bil jadidil aslah”  pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.
Karena model pendekatan ini dalam wilayah kerjanya selalu berpegang pada fundamen fundamen pokok islam sebagaimana terdapat dalam alqur’an dan hadits atau kembali kepada  fundamen fundamen keimanan, penegakan kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang absah (Syar’iyyah al hukm), maka ia juga disebut  sebagai pendekatan fundamental.
Terdapat beberapa ciri yang melekat erat pada model ini, antara lain : pertama, memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah (literal) dan bulat, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprertasi kritis terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi yang tepat terhadap teks, kedua, prinsip utamanya adalah oppositionalism (paham perlawanan) yang mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Ketiga,Perkembangan masyarakat dalam sejarah dipandang sebagai  “as it should be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya islam adalah agama yang universal dan holistik, ia merupakan sistem komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku untuk segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu sumbang saran sebagaimana kotak saran.
2.      Al Manhaj al Aqli (metode rasional kontekstual),
Yakni metode yang menjadikan rasio atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan dan pemahaman atas pelbagai  ajaran islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual, kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis menurut Harun Nasotion dapat diartikan sebagai  sebuah manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam menafsirkan teks teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual, substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik,  bukan  pada  makna literal sebuah teks, manhaj yang dikembangkan mereka adalah penafsiran islam berdasarkan semangat dan spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan  hidup survive dan berkembang secara kreatif menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka  pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan) adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian islam akan  mengalami pembusukan.
3.      Al Manhaj al Jadili (metode dialektika),
Yakni metode yang menjadikan debat argumentatif dan uji shoheh sebagai alat  untuk menyingkap berbagai dimensi ajaran islam yang masih tersembunyi sekaligus membersihkan ajaran islam dari unsur unsur luar yang mencemarinya. Model ini menganggap bahwa  setiap bentuk penafsiran atas teks adalah “kegiatan manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks tertentu, karena itu ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas benar, dan setiap bentuk penafsiran merupakan kebutuhan seorang penafsir di suatu masa dan ruang yang terus berubah dan berbeda. 
Bagi mereka tafsir atas teks yang dilakukan banyak pihak adalah  bersifat  relatif, terbuka dan plural, sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran ditentukan secara induktif melalui adu dan uji pendapat. Bagi pengguna model ini, yang diusahakan adalah terwujudnya ruang ruang dialog yang terbuka, bebas dan jujur, sebab hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka  buat dialog, perkembangan pemikiran Islam akan berjalan secara sehat. Maka kebenaran pemahaman islam adalah ditentukan oleh valid tidaknya argumentasi atau hujjah yang mendasarinya. 
4.      Al Manhaj alDzauqi (metode gnosis),
Yakni metode yang biasa digunakan kaum sufi untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Allah melalui riyadhah, daya intuitif dan cinta. Pengetahuan dan pemahaman Islam yang dicari oleh kelompok ini adalah pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan kesaksian bathin, bila filosuf mencari ilmu al yaqin (pengetahuan berdasarkan argumentasi dan pembuktian nyata), maka seorang sufi mencari ayn al yaqin (pengetahuan berdasarkan kesaksian nyata).
Bila filosuf dalam memperoleh pengetahuan selalu menggunakan teleskop rasio, akal dan nalarnya agar dapat mempelajari asal usul dan struktur sebuah keberadaan, maka seorang sufi menggunakan qalb, tashfiyah, tahdzib dan takmil an nas guna menggerakkan seluruh wujudnya agar sampai pada substansi, esensi dan hakekat keberadaan. Bila menurut filosuf kesempurnaan fitroh yang menjadi dambaan setiap manusia terletak pada pemahaman dan pengetahuan yang tak terbantahkan karena terdapat dalil dalil pasti,  maka bagi seorang sufi kesempurnaan fitroh itu terletak pada wushul (sampai pada tujuan).
Manhaj dzauq adalah sebuah elemen penting dalam islam, bagi sebagian orang bentuk bentuknya kerapkali dianggap tak lazim dan ide idenya acapkali dianggap sulit dicerna, tetapi bagi kaum sufi sendiri, model ini dipilih sebagai jalan menerobos masuk ke sisi terdalam dari religiusitas islam, sebab  mereka kurang puas dengan bentuk penghayatan agama yang bersifat  formalistik. Cinta merupakan karakter utama yang mencirikan manhaj ini, mereka mendekati Allah dengan cinta, menghadapi hidup dengan cinta dan menyandarkan penghayatan keagamaan mereka juga dengan cinta.
Bagi mereka cinta karena Allah merupakan ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah kepada manusia, maka tidak ada manhaj yang lebih mempercepat wushul ila Allah kecuali manhaj cinta, dengan cinta seseorang dapat menurunkan rahmat Allah yang tidak dapat diturunkan dengan manhaj lain. Allah tidak dapat dijangkau dengan pandangan mata kepala, sebagaimana firmanNya “la tudrikuhul absaar”,  tetapi sangat mungkin dijangkau dengan mata hati dan cinta, sebagaimana ditegaskan para sufi “ kulihat Tuhanku dengan mata hatiku dan cintaku, maka akupun berkata tidak disangsikan lagi yang Engkau itu adalah Engkau Tuhan.
Sebuah syair melukiskan “Allah menyeru kepada hambanya, kenalilah diriKu dengan cintamu, maka Akupun akan mengenali dirimu dengan cintaKu, bila engkau telah mengenaliKu dengan cintamu dan Aku telah mengenalimu dengan cintaKu, maka diriKu ada dalam dirimu dan dirimu ada dalam diriKu, dirimu dan diriKu satu dalam cinta”.
Suatu saat Rabiah ditanya orang, apakah engkau mencintai Allah swt yang maha agung ?, ya, aku sangat mencintainya jawab Robi’ah, orang itu bertanya lagi, apakah engkau menganggap syetan sebagai musuhmu? Rabi’ah menggeleng “tidak”. Si penanya  heran, kenapa begitu? Rabi’ah dengan seirus menjawab, rasa cintaku kepada Allah telah begitu menguasaiku sehingga tidak menyisakan tempat dihatiku dan tidak ada lagi kesempatan dihatiku untuk mencintai atau membenci siapapun.
Diantara tanda tanda pengikut manhaj cinta adalah  hatinya selalu bersih dan dipenuhi keyaqinan yang mantap, lisannya selalu diserta pujian, matanya selalu disertai rasa malu dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya, ia mendahulukan apa yang disenangi Allah diatas segalanya, dirinya selalu ridlo atas semua keputuasan Allah,  ia merasa nikmat dalam taat dan ibadah kepada Allah, ia yang merasa kaya dalam kemiskinan, yang menjadi tuan dalam penghambaan, yang merasa kenyang dalam kelaparan, yang merasa hidup dalam kematian, dan yang merasa manis dalam kepahitan.
Bila seseorang telah tenggelam dalam lautan cinta ilahi maka tidak ada sesuatupun yang dapat mempengaruhi keperibadiannya, mereka selalu merindukan ibadah dan menghanyutkan diri didalamnya serta tidak pernah khawatir terhadap apapun yang menimpanya, ia kokoh sekokoh karang ditengah ganasnya gelombang, ia lentur selentur ilalang yang tidak patah oleh beban dadakan seberat apapun.
Perjalanan cinta kepada Allah mesti dimulai dengan mencintai seseorang yang paling dicintai Allah yakni Rasululloh saw, perjalanan cinta kepada Rasululloh saw juga mesti dimulai dengan mencintai seseorang yang paling dicintai Rasululloh saw,  yakni para ahli baitnya yang suci, para sahabat nya yang setia dan para ulama’ serta pengikutnya yang terus konsisten memegang prinsip yang diajarkan dan dicontohkannya, maka beruntunglah orang orang yang mencintai mereka, bila anjing saja disebut beruntung karena  mencintai ashabul kahfi, mana mungkin seseorang tidak beruntung bila mencintai mereka yang dicintai  Nabi saw ?
Dalam hadist qudsi disebutkan ”Sesungguhnya ada hamba hambaku yang mencintaiku dan aku mencintai mereka, mereka merindukanku dan aku merindukan mereka, mereka memperhatikanku dan aku memperhatikan mereka, jika si fulan mengikuti mereka akupun akan mencintai si fulan, jika si fulan memusuhi mereka akupun akan memusuhi si fulan.

D. Khotimah
Jalaluddin Rumi menegaskan “ Jika tiada cinta, dunia akan membeku, cinta baginya adalah penaka lautan luas dan dalam, seluas dan sedalam daya jelajah nurani manusia itu sendiri, cintalah yang semestinya menjadi  landasan manhaj seseorang memahami agamanya, ia mestinya menjadi pilar bagi hubungan manusia dengan kholik, dengansesama atau dengan kosmik.
Cinta adalah akar dari segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia, tanpa cinta manusia akan saling bermusuhan satu sama lainnya, perang adalah bentuk ekstrim dari corak hubungan manusia yang kering akan cinta, keributan kemanusiaan adalah manefestasi dari iklim hati yang membeku karena sepi dari gairah cinta, hati tanpa cinta adalah garang, tulisan tanpa cinta hanya nuktah tak bermakna, puisi tanpa cinta hanyalah mbanyol dan akal tanpa cinta adalah kebingungan  belaka.

Tidak ada komentar: