Ach.
Hefni Zain
A. Ilustrasi
Dalam bukunya “Manthiquth Thayr” Fariduddin Attar pernah
menggambarkan sekelompok orang yang berupaya menebak sosok seekor gajah dalam
kegelapan, karena gelap mereka menggunakan telapak tangan untuk merabanya.
Orang pertama menyentuh belalainya kemudian dia berkata bahwa gajah itu laksana
pipa air, orang kedua memegang telinganya lalu berpendapat bahwa binatang itu
seperti kipas angin, yang ketiga meraba kakinya sehingga baginya gajah itu
seperti pilar, dan yang terakhir meraba punggungnya spontanitas dia berkata
gajah itu bagaikan singgasana, kemudian salah seorang diantara mereka mengambil
lampu yang terang menderang, kini segalanya menjadi jelas bahwa kendati
pendapat mereka tidak salah tetapi tidak sepenuhnya benar, cerita senada juga
ditulis Sa’di dalam bukunya “Gulistan”.
Kisah diatas sengaja dikutip untuk menggambarkan pelbagai manhaj yang
digunakan umat islam dalam memahami agamanya, ada yang tekstual mainded,
kontekstual mainded, ada yang lebih mistikal dan ada juga yang lebih
memilih pendekatan praktikalnya, bagi yang disebut terakhir, fokusnya adalah
bagaimana menerjemahkan islam dalam realitas sosial, menurut mereka bila ada
islam teoritis mesti ada islam praktis, bila ada islam konseptual, tekstual dan
kontekstual mesti ada islam aktual. Dan untuk menjustifikasi manhajnya masing
masing tak jarang mereka memperkuatnya dengan menforsir sejumlah ayat alquran hadits atau menyusun setumpuk alasan dan
ulasan.
B. Karakteristik Islam
Berdasarkan simantiknya, Islam adalah ajaran
kemanusiaan, penyelamatan, perdamaian, moderat, tunduk patuh dan kepasrahan
total kepada Allah Swt, Ia merupakan ideologi universal yang
aturan aturannya didasarkan pada hakekat universalitas dengan memperhatikan
basic need (al hajah al asasiyah)
manusia itu sendiri. Karena itu
Allah swt menyebut Islam sebagai agama fitroh dan menyeru kepada umat manusia
agar menjaga fitroh itu tetap hidup (Qs. 30 : 30), Dan dengan dasar itu pula
ditegaskan bahwa kehadiran islam
dimaksudkan sebagai rahmah bagi sekalian alam
(Qs. 34 : 28, 21 :107 dan 7 : 158).
Sedangkan
karakteristik utama dari ajaran islam menimal ada empat,yakni : Ilahiyah, Insaniyah,
Syumuliyah dan wasathiyah.
Disebut universal, karena Islam -- baik sebagai sikap tunduk patuh kepada Allah
yang maha agung maupun sikap
harmoni terhadap makro kosmik --
merupakan pola wujud (mode of existence) seluruh alam semesta. Diutusnya para
Rasul mulai dari Adam as sampai Muhammad saw yang datang silih berganti dalam
sejarah umat manusia dimaksudkan untuk menegaskan agar manusia jangan sampai salah pilih sehingga menempuh jalan hidup selain sikap
tunduk patuh kepada penciptanya atau hidup yang tidak harmonis dengan makhluk
yang lain. Orang orang yang menempuh jalan hidup “selain” seperti dimaksud
diatas, dengan sendirinya nyata nyata
melawan grand desigh ilahi, menentang nuraninya dan menentang hukum universal
yang menguasai seluruh alam semesta ( Qs. Ali Imran : 83 – 85).
Disebut moderat, karena, manusia diberi
kebebasan untuk menerima atau menolak petunjuk agama, dan karena itu yang
dituntut adalah ketulusan beragama dan tidak dibenarkan pemaksaan agama dalam
segala bentuknya, nyata atau
terselubung, besar atau sekecil kecilnya sekalipun. Oleh karena tidak ada paksaan dalam
beragama, maka dalam pemahaman agamapun tidak ada paksaan. Artinya bahwa Islam menghargai setiap manhaj, model dan kreatifitas manusia
dalam memahami agamanya. semua agama mempunyai dasar teologis untuk
menyatakan bahwa hanya Tuhan dan
wahyulah yang merupakan kebenaran absolut, ketika manusia melakukan
interpretasi terhadap yang absolut itu, maka akan bersifat relatif sesuai
dengan keterbatasan manusia itu sendiri, karenanya sering dikatakan “Kebenaran agama adalah apa
yang ditemukan manusia dari pemahaman akan kitab sucinya, sehingga kebenaran
agama dapat beragam dan Tuhan merestui
perbedaan cara keberagamaan umatnya. Agama hanyalah “jalan” sedangkan tujuannya
adalah Tuhan yang adi kuasa.
Sampai disini kita melihat bahwa model apapun yang berkembang dari
improvisasi manusia dalam memahami agamanya
sesungguhnya sah sah saja tetapi
yang utama bukanlah yang menempuh banyak jalan, melainkan yang memilih jalan
efektif untuk sampai pada tujuan, cinta dan taqwa kepada Allah adalah jalan yang efektif untuk
wushul ila Allah.
C. Berbagai model memahami
islam
Secara normatif telah mensejarah beberapa pendekatan
memahami islam yang terus berkembang hingga saat ini, antara lain :
1.
Al Manhaj al Naqli (metode tekstual),
Yakni metode yang menjadikan teks
teks wahyu sebagai pegangan dalam memahami islam, menurutnya Alqur’an dan
hadits telah komplit dan sempurna menyediakan pelbagai konsep dan jawaban
terhadap segala persoalan keagamaan yang dihadapi manusia sejak masa Rasululloh
hingga akhir zaman.
Pendekatan tekstual adalah suatu model pemahaman yang
berpegang pada formal teks, berpedoman pada tradisi yang terbentuk dimasa silam
dan mengikatkannya secara ketat serta menganggap ajaran islam yang mereka
yakini sebagai suatu kebenaran mutlak yang tidak perlu dirubah lagi karena
secara otoritatif telah dirumuskan oleh para ulama’ terdahulu secara final dan
tuntas, mereka kurang suka dengan perubahan karena hawatir menimbulkan
keresahan yang mengancam integrasi umat, karena itu dalam merespon tiap
perubahan, model pendekatan ini terkesan hati hati (untuk tidak mengatakan
lamban) dan selalu menempatkan konsep “Almuhafadatu ala al qodim as soleh
wal ahdu bil jadidil aslah”
pada posisi bagaimana benang tak terputus dan tepung tak terserak.
Karena model pendekatan ini
dalam wilayah kerjanya selalu berpegang pada fundamen fundamen pokok islam
sebagaimana terdapat dalam alqur’an dan hadits atau kembali kepada fundamen fundamen keimanan, penegakan
kekuasaan politik ummah dan pengukuhan dasar dasar otoritas yang absah
(Syar’iyyah al hukm), maka ia juga disebut
sebagai pendekatan fundamental.
Terdapat beberapa ciri yang melekat erat pada model ini, antara lain : pertama, memagang kokoh agama dalam bentuk harfiah
(literal) dan bulat, mereka menolak hermeneutika dan upaya interprertasi kritis
terhadap teks suci, karena akal dianggap tidak mampu memberikan interpreatasi
yang tepat terhadap teks, kedua, prinsip utamanya adalah oppositionalism (paham
perlawanan) yang mengambil bentuk perlawanan radikal terhadap berbagai ancaman
yang dipandang membahayakan eksistensi agamanya. Ketiga,Perkembangan masyarakat dalam
sejarah dipandang sebagai “as it should
be” dan bukan “as it is”, karena itu bagi mereka masyarakat yang harus
menyesuaikan diri dengan teks suci dan bukan sebaliknya, (teks suci ditarik
tarik dan dipaksa menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat). Menurutnya
islam adalah agama yang universal dan holistik, ia merupakan sistem
komprehensip yang mampu berkembang sendiri (mutakamil bi dzatihi), dan berlaku
untuk segala waktu dan tempat sehingga tidak perlu sumbang saran sebagaimana
kotak saran.
2.
Al Manhaj al Aqli (metode rasional kontekstual),
Yakni metode yang menjadikan rasio
atau akal manusia sebagai alat yang paling dominan dalam memperoleh pengetahuan
dan pemahaman atas pelbagai ajaran
islam, karena itu seluruh teks teks wahyu harus dibedah secara kontekstual,
kritis, logis dan rasional.
Model kontekstualis menurut Harun
Nasotion dapat diartikan sebagai sebuah
manhaj fikir yang memahami agama Islam sebagai organisme yang hidup dan
berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karena itu didalam
menafsirkan teks teks suci mereka menggunakan penafsiran yang kontekstual,
substansial dan non literal.
Karakteristik yang paling nampak
dalam model ini meliputi : Penekanan pada semangat religio etik, bukan
pada makna literal sebuah teks, manhaj
yang dikembangkan mereka adalah penafsiran islam berdasarkan semangat dan
spirit teks, memahami latar teks secara kontekstual, substansial dan non
literal, menurut mereka hanya dengan model tersebut, Islam akan hidup survive dan berkembang secara kreatif
menjadi bagian dari “peradaban manusia” universal. Karena itu bagi mereka pintu ijtihad mesti dibuka pada semua bidang
sehingga memungkinkan Islam mampu menjawab persoalan kemanusiaan yang terus
berubah, penutupan pintu ijtihad (baik secara terbatas atau secara keseluruhan)
adalah ancaman atas islam itu sendiri, sebab dengan demikian islam akan mengalami pembusukan.
3. Al Manhaj al Jadili (metode dialektika),
Yakni metode yang menjadikan debat
argumentatif dan uji shoheh sebagai alat
untuk menyingkap berbagai dimensi ajaran islam yang masih tersembunyi
sekaligus membersihkan ajaran islam dari unsur unsur luar yang mencemarinya.
Model ini menganggap bahwa setiap bentuk
penafsiran atas teks adalah “kegiatan manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks
tertentu, karena itu ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas
benar, dan setiap bentuk penafsiran merupakan kebutuhan seorang penafsir di
suatu masa dan ruang yang terus berubah dan berbeda.
Bagi mereka tafsir atas teks yang
dilakukan banyak pihak adalah
bersifat relatif, terbuka dan
plural, sehingga diantara mereka boleh saling menyangkal dan akhirnya kebenaran
ditentukan secara induktif melalui adu dan uji pendapat. Bagi pengguna model
ini, yang diusahakan adalah terwujudnya ruang ruang dialog yang terbuka, bebas
dan jujur, sebab hanya dengan tersedianya ruang yang terbuka buat dialog, perkembangan pemikiran Islam
akan berjalan secara sehat. Maka kebenaran pemahaman islam adalah ditentukan
oleh valid tidaknya argumentasi atau hujjah yang mendasarinya.
4. Al Manhaj alDzauqi (metode gnosis),
Yakni metode yang biasa digunakan
kaum sufi untuk memperoleh pengetahuan (ma’rifah) yang langsung dari Allah
melalui riyadhah, daya intuitif dan cinta. Pengetahuan dan pemahaman Islam yang
dicari oleh kelompok ini adalah pengetahuan dalam bentuk kesadaran dan
kesaksian bathin, bila filosuf mencari ilmu al yaqin (pengetahuan berdasarkan
argumentasi dan pembuktian nyata), maka seorang sufi mencari ayn al yaqin
(pengetahuan berdasarkan kesaksian nyata).
Bila filosuf dalam memperoleh pengetahuan selalu
menggunakan teleskop rasio, akal dan nalarnya agar dapat mempelajari asal usul
dan struktur sebuah keberadaan, maka seorang sufi menggunakan qalb, tashfiyah,
tahdzib dan takmil an nas guna menggerakkan seluruh wujudnya agar sampai pada
substansi, esensi dan hakekat keberadaan. Bila menurut filosuf kesempurnaan
fitroh yang menjadi dambaan setiap manusia terletak pada pemahaman dan
pengetahuan yang tak terbantahkan karena terdapat dalil dalil pasti, maka bagi seorang sufi kesempurnaan fitroh
itu terletak pada wushul (sampai pada tujuan).
Manhaj dzauq adalah sebuah elemen penting dalam islam,
bagi sebagian orang bentuk bentuknya kerapkali dianggap tak lazim dan ide
idenya acapkali dianggap sulit dicerna, tetapi bagi kaum sufi sendiri, model
ini dipilih sebagai jalan menerobos masuk ke sisi terdalam dari religiusitas
islam, sebab mereka kurang puas dengan
bentuk penghayatan agama yang bersifat
formalistik. Cinta merupakan karakter utama yang mencirikan manhaj ini,
mereka mendekati Allah dengan cinta, menghadapi hidup dengan cinta dan
menyandarkan penghayatan keagamaan mereka juga dengan cinta.
Bagi mereka cinta karena Allah merupakan ikatan iman yang
paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah kepada manusia,
maka tidak ada manhaj yang lebih mempercepat wushul ila Allah kecuali
manhaj cinta, dengan cinta seseorang dapat menurunkan rahmat Allah yang tidak
dapat diturunkan dengan manhaj lain. Allah tidak dapat dijangkau dengan
pandangan mata kepala, sebagaimana firmanNya “la tudrikuhul absaar”, tetapi sangat mungkin dijangkau dengan mata
hati dan cinta, sebagaimana ditegaskan para sufi “ kulihat Tuhanku dengan mata
hatiku dan cintaku, maka akupun berkata tidak disangsikan lagi yang Engkau itu
adalah Engkau Tuhan.
Sebuah syair melukiskan “Allah menyeru kepada hambanya,
kenalilah diriKu dengan cintamu, maka Akupun akan mengenali dirimu dengan
cintaKu, bila engkau telah mengenaliKu dengan cintamu dan Aku telah mengenalimu
dengan cintaKu, maka diriKu ada dalam dirimu dan dirimu ada dalam diriKu,
dirimu dan diriKu satu dalam cinta”.
Suatu saat Rabiah ditanya orang, apakah engkau mencintai
Allah swt yang maha agung ?, ya, aku sangat mencintainya jawab Robi’ah, orang itu
bertanya lagi, apakah engkau menganggap syetan sebagai musuhmu? Rabi’ah
menggeleng “tidak”. Si penanya heran,
kenapa begitu? Rabi’ah dengan seirus menjawab, rasa cintaku kepada Allah telah
begitu menguasaiku sehingga tidak menyisakan tempat dihatiku dan tidak ada lagi
kesempatan dihatiku untuk mencintai atau membenci siapapun.
Diantara tanda tanda pengikut manhaj cinta adalah hatinya selalu bersih dan dipenuhi keyaqinan
yang mantap, lisannya selalu diserta pujian, matanya selalu disertai rasa malu
dan tangis, kehendaknya selalu diisi dengan meninggalkan kehendaknya, ia mendahulukan
apa yang disenangi Allah diatas segalanya, dirinya selalu ridlo atas semua
keputuasan Allah, ia merasa nikmat dalam
taat dan ibadah kepada Allah, ia yang merasa kaya dalam kemiskinan, yang
menjadi tuan dalam penghambaan, yang merasa kenyang dalam kelaparan, yang
merasa hidup dalam kematian, dan yang merasa manis dalam kepahitan.
Bila seseorang telah tenggelam dalam lautan cinta ilahi
maka tidak ada sesuatupun yang dapat mempengaruhi keperibadiannya, mereka
selalu merindukan ibadah dan menghanyutkan diri didalamnya serta tidak pernah khawatir
terhadap apapun yang menimpanya, ia kokoh sekokoh karang ditengah ganasnya
gelombang, ia lentur selentur ilalang yang tidak patah oleh beban dadakan
seberat apapun.
Perjalanan cinta kepada Allah mesti dimulai dengan
mencintai seseorang yang paling dicintai Allah yakni Rasululloh saw, perjalanan
cinta kepada Rasululloh saw juga mesti dimulai dengan mencintai seseorang yang
paling dicintai Rasululloh saw, yakni
para ahli baitnya yang suci, para sahabat nya yang setia dan para ulama’ serta
pengikutnya yang terus konsisten memegang prinsip yang diajarkan dan
dicontohkannya, maka beruntunglah orang orang yang mencintai mereka, bila
anjing saja disebut beruntung karena
mencintai ashabul kahfi, mana mungkin seseorang tidak beruntung bila
mencintai mereka yang dicintai Nabi saw
?
Dalam hadist qudsi disebutkan ”Sesungguhnya ada hamba
hambaku yang mencintaiku dan aku mencintai mereka, mereka merindukanku dan aku
merindukan mereka, mereka memperhatikanku dan aku memperhatikan mereka, jika si
fulan mengikuti mereka akupun akan mencintai si fulan, jika si fulan memusuhi
mereka akupun akan memusuhi si fulan.
D. Khotimah
Jalaluddin Rumi
menegaskan “ Jika tiada cinta, dunia akan membeku, cinta baginya adalah penaka
lautan luas dan dalam, seluas dan sedalam daya jelajah nurani manusia itu
sendiri, cintalah yang semestinya menjadi
landasan manhaj seseorang memahami agamanya, ia mestinya menjadi pilar
bagi hubungan manusia dengan kholik, dengansesama atau dengan kosmik.
Cinta adalah akar dari
segala kebaikan dan keutamaan hidup manusia, tanpa cinta manusia akan saling
bermusuhan satu sama lainnya, perang adalah bentuk ekstrim dari corak hubungan
manusia yang kering akan cinta, keributan kemanusiaan adalah manefestasi dari
iklim hati yang membeku karena sepi dari gairah cinta, hati tanpa cinta adalah
garang, tulisan tanpa cinta hanya nuktah tak bermakna, puisi tanpa cinta
hanyalah mbanyol dan akal tanpa cinta adalah kebingungan belaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar