Minggu, 11 November 2012

DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER





Ust. Hefni zain
                    
 Islam bukan sekedar serentetan keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar  masalah pribadi yang bersifat individual, tetapi ia merupakan way life paripurna yang terus bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat dan  zaman. Islam  terus hidup berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia, karenanya tidak heran dalam konstelasi pemikiran islam selalu muncul pelbagai model pemikiran sebagai indikator betapa dinamisnya islam dalam upaya menjawab persoalan kemanusian yang terus berkembang dan berubah.
Istilah-istilah seperti rethinking, rekonstruksi, dekonstruksi, revitalisasi dan istilah-istilah sejenis untuk menunjuk pada upaya pencarian paradigma baru pemikiran islam adalah sederat fakta yang menguatkan bahwa ketinggian  islam  sesungguhnya tidak saja terletak pada teks-teks dan doktrin sucinya, tetapi yang lebih substansial adalah terletak pada kecemerlangan dan efektifitasnya dalam menjawab berbagai persoalan kemanusia kontemporer. Bentuk bentuk intensifikasi dan pencarian kembali nilai nilai islam seperti itulah yang kemudian disebut sebagai gelombang islamic revival.
Namun demikian kiranya dapat dikatakan bahwa setiap model pemikiran dalam islam merupakan sesuatu yang relatif, sebab ia adalah “kegiatan manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks tertentu, ia tidak akan pernah lepas dari kebutuhan seorang penggagas atau penafsir di suatu masa dan ruang yang tertentu pula, karenanya  ia tidak terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas benar.
**
 Umat Islam indonesia telah melewati liku liku kehidupan sejarah yang sangat panjang, pahit getir kehidupan sudah sering dirasakan, mereka telah cukup dewasa menghadapi berbagai peristiwa, yang paling menyakitkan sekalipun, karena itu umat islam indonesia tidak mudah terkooptasi  oleh hal hal yang bersifat “mode” . Sudah lama muncul kesadaran bahwa berfikir yang besar jauh lebih utama dari sekedar menghabiskan energi untuk berpolemik pada hal hal yang kurang essensial. Bahkan tidak sedikit kita saksikan umat islam indonesia tidak lagi terikat oleh faham modern atau tradisional, liberal atau fundamental, mereka hanya mau terikat dengan islam universal.
Yang menjadi focus saat ini bukan soal furu’iyah yang kecil, tetapi bagaimana islam secara efektif dan elegan mampu menjawab semua persoalan manusia global. tidak ada gunanya ribut ribut soal siapa yang disebut fakir dan siapa yang disebut miskin, yang lebih penting adalah bagaimana mengentas kemiskinan. Tidak penting soal pakai qunut atau tidak qunut, yang penting adalah bagaimana sholat bisa efektif untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang bedaya dan madani. Umat Islam Indonesia  banyak yang lebih tertarik pada paradigma akhlak yang memungkinkan terciptanya persatuan daripada paradigma fiqih yang memunculkan khilafiyah.
Namun ddmikian, sudah saatnya masing masing pihak menyumbangkan kontribusinya bagi kebangkitan kembali umat islam setelah sekian lama terlelap.
**
Kendati diyakini bahwa doktrin semua agama menganjurkan perdamaian, cinta kasih, toleransi, harmonisasi dan prinsip kebersamaan, Namun sulit dibantah bahwa hubungan antar umat beragama, khususnya dalam masyarakat yang majemuk ternyata tidak selamanya harmonis. Bahkan dalam realitas historis-empirik  faktor “kepentingan” politis, ekonomi, sosial dan pragmatis lainnya acapkali menjadikan doktrin teologis tidak mampu lagi menggugah nurani para penganut agama untuk membangkitkan semangat kebersamaan dan toleransi tersebut.
Campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek kultural-historis-sosiologis yang menrupakan hasil tafsir manusia atas ajaran agama, sering menambah kian rumitnya persoalan keagamaan pada wilayah historis –empiris kemanusiaan. Dalam banyak kasus, umat beragama sangat sulit membedakan antara mana yang doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks teks suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks teks suci (sering dimuati kepentingan historis, politis, kultural dan sosiologis). Tumpang tindih antara konsepsional normatif dengan operasional interpretatif, antara teks dan realitas, antara ajaran yang semestinya dan ajaran yang telah dipraktekkan pada wilayah keagamaan, pada gilirannya menyeret agama  dalam dua wajah. Satu sisi sebagai sumber perdamaian, tapi disisi lain mengandung potensi konflik.
Realitas seperti inilah yang –salah satunya—mendorong bahkan memaksa banyak pihak berupaya mencari “sebuah pendekatan baru ” yang melampaui pendekatan lama  dalam kajian keagamaan (Arkoun menyebutnya : Rethinking agama) guna menemukan ajaran yang semestinya sekaligus mendemarkasinya secara tegas  dengan ajaran yang telah dipraktekkan berdasarkan tafsir kepentingan.  Upaya ini menjadi urgen dalam rangka –selain  agar kita  tidak “kecele”—juga untuk membangun hubungan antar umat beragama yang harmonis dan beautiful.
Nah, karena dalam diri  apa yang disebut Postmodern –walau samar samar—terdapat beberapa  ide dasar atau lebih tepatnya  metode , seperti :  : dekonstruksi, pluralisme, relatifitas, pembentukan diskursus dan kritisisme baru serta budaya dialog, yang “dianggap cukup mach” dengan kepentingan diatas, maka diskursus disputar Postmodern –inkludid filsafat perrinial— mulai  banyak mendapat respon kaum agamawan dan peminat study study agama.
Salah satu persoalan menarik yang muncul dalam wacana mengenai Postmodern dan agama adalah bagaimana perspektif tersebut dapat ditransfigurasikan sebagai alat analisis untuk  mengkaji agama. Hal ini mungkin riskan, terutama karena sebagian pihak masih menilai bahwa apa yang disebut sebagai “pemikiran Postmodern masih belum menemukan bentuk dan karakternya yang jelas.  Bersliwernya banyak idiom pada saat itu seperti : tran Modern, meta modern, new modern  dan pasca modern yang semuanya belum tuntas,  tak ayal membuat  kian rancunya  apa yang disebut sebagai  pemikiran Postmodern.
sebagai suatu aliran perkembangan pemikiran, post modern muncul ketika manusia mencari kepastian, tetapi kemudian ia dihianati oleh tiap kepastian yang dipegannya, lalu terjadilah proses dimana ia menjadi ragu pada kepastiannya itu.
Dikisahkan oleh Jean Francois Lyotard, di zaman primitif  manusia menjadikan alam sebagai centre  of life sehingga saat itu manusia selalu diliput oleh hal-hal mistik yang irrasional, kemudian muncul agama menawarkan kepastian dan menjanjikan suasana kehidupan yang lebih harmonis dan prospektif, Walau tidak ada satupun doktrin agama yang ada menganjurkan kekerasan,  tetapi realitasnya justru  banyak sekali perang dan keributan kemanusian bertolak dari isu agama, sejak itulah sebagian manusia mengalami  dis-trass  terhadap agama, lalu berpindahlah pencari kepastian itu pada sains.
Sains untuk beberapa saat menggeser agama dalam memberikan harapan baru dan kepastian keselamatan kemanusiaan. Namun ketika sains juga gagal memberi solusi pemecahan terhadap problematika kemanusiaan dan bahkan justru memunculkan blunder baru yang lebih fundamental, maka manusia mulai sangsi atau bahkan pudar kepercayaan mereka terhadap obsesi obsesi makro yang selama ini digantungkan pada sains dan rasionalitas.
Dalam suasana kebatinan seperti ini, kemudian muncul pemikiran postmodern yang atensinya terhadap pluralitas dan relativitas sangat tinggi, sehingga yang partikuler  –disebut narasi narasi kecil—juga diberi tempat. Disini kita melihat post modern bisa memberi tempat terhadap produk budaya yang dalam pemikiran modern disebut non rasional. Maka dibawah payung post modern, berbagai jenis dan model pemikiran, misalnya semacam “new age”, atau model agama yang tradisionalis, fundamentalis, liberalis dan semacamnya juga memperoleh tempat terhormat dan dapat berkembang secara baik, sebab bagi postmodern, setiap agama, manzab, tradisi, nilai atau aliran pemikiran  sama-sama mempuyai pesan yang sama  yakni kebenaran abadi.

Tidak ada komentar: