Ust.
Hefni zain
Islam bukan sekedar serentetan
keyakinan yang memfosil, juga bukan sekedar
masalah pribadi yang bersifat individual, tetapi ia merupakan way life
paripurna yang terus bergerak dinamis membentang melampaui sekat tempat
dan zaman. Islam terus hidup berkembang sesuai dengan denyut
nadi perkembangan manusia, karenanya tidak heran dalam konstelasi pemikiran
islam selalu muncul pelbagai model pemikiran sebagai indikator betapa
dinamisnya islam dalam upaya menjawab persoalan kemanusian yang terus
berkembang dan berubah.
Istilah-istilah seperti rethinking, rekonstruksi, dekonstruksi, revitalisasi
dan istilah-istilah sejenis untuk menunjuk pada upaya pencarian paradigma baru
pemikiran islam adalah sederat fakta yang menguatkan bahwa ketinggian islam
sesungguhnya tidak saja terletak pada teks-teks dan doktrin sucinya,
tetapi yang lebih substansial adalah terletak pada kecemerlangan dan
efektifitasnya dalam menjawab berbagai persoalan kemanusia kontemporer. Bentuk
bentuk intensifikasi dan pencarian kembali nilai nilai islam seperti itulah
yang kemudian disebut sebagai gelombang islamic revival.
Namun demikian kiranya dapat dikatakan bahwa setiap model pemikiran
dalam islam merupakan sesuatu yang relatif, sebab ia adalah “kegiatan
manusiawi” yang terkooptasi oleh konteks tertentu, ia tidak akan pernah lepas
dari kebutuhan seorang penggagas atau penafsir di suatu masa dan ruang yang
tertentu pula, karenanya ia tidak
terbebas dari probabilitas salah selain probabilitas benar.
**
Umat Islam indonesia telah melewati liku liku kehidupan
sejarah yang sangat panjang, pahit getir kehidupan sudah sering dirasakan,
mereka telah cukup dewasa menghadapi berbagai peristiwa, yang paling
menyakitkan sekalipun, karena itu umat islam indonesia tidak mudah
terkooptasi oleh hal hal yang bersifat
“mode” . Sudah lama muncul kesadaran bahwa berfikir yang besar jauh lebih utama
dari sekedar menghabiskan energi untuk berpolemik pada hal hal yang kurang
essensial. Bahkan tidak sedikit kita saksikan umat islam indonesia tidak
lagi terikat oleh faham modern atau tradisional, liberal atau fundamental,
mereka hanya mau terikat dengan islam universal.
Yang menjadi focus saat ini bukan soal furu’iyah yang kecil, tetapi
bagaimana islam secara efektif dan elegan mampu menjawab semua persoalan
manusia global. tidak ada gunanya ribut ribut soal siapa yang disebut fakir dan
siapa yang disebut miskin, yang lebih penting adalah bagaimana mengentas
kemiskinan. Tidak penting soal pakai qunut atau tidak qunut, yang penting
adalah bagaimana sholat bisa efektif untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang
bedaya dan madani. Umat Islam Indonesia
banyak yang lebih tertarik pada paradigma akhlak yang memungkinkan
terciptanya persatuan daripada paradigma fiqih yang memunculkan khilafiyah.
Namun ddmikian, sudah saatnya masing masing pihak menyumbangkan
kontribusinya bagi kebangkitan kembali umat islam setelah sekian lama terlelap.
**
Kendati diyakini bahwa doktrin semua agama menganjurkan perdamaian,
cinta kasih, toleransi, harmonisasi dan prinsip kebersamaan, Namun sulit
dibantah bahwa hubungan antar umat beragama, khususnya dalam masyarakat yang
majemuk ternyata tidak selamanya harmonis. Bahkan dalam realitas
historis-empirik faktor “kepentingan”
politis, ekonomi, sosial dan pragmatis lainnya acapkali menjadikan doktrin
teologis tidak mampu lagi menggugah nurani para penganut agama untuk membangkitkan
semangat kebersamaan dan toleransi tersebut.
Campur aduknya aspek doktrin teologis ajaran agama dengan aspek
kultural-historis-sosiologis yang menrupakan hasil tafsir manusia atas ajaran
agama, sering menambah kian rumitnya persoalan keagamaan pada wilayah historis
–empiris kemanusiaan. Dalam banyak kasus, umat beragama sangat sulit membedakan
antara mana yang doktrin agama yang bersifat normatif (dilandasi teks teks
suci) dan mana pula yang tafsir terhadap teks teks suci (sering dimuati kepentingan
historis, politis, kultural dan sosiologis). Tumpang tindih antara konsepsional
normatif dengan operasional interpretatif, antara teks dan realitas, antara
ajaran yang semestinya dan ajaran yang telah dipraktekkan pada wilayah
keagamaan, pada gilirannya menyeret agama
dalam dua wajah. Satu sisi sebagai sumber perdamaian, tapi disisi lain
mengandung potensi konflik.
Realitas seperti inilah yang –salah satunya—mendorong bahkan memaksa
banyak pihak berupaya mencari “sebuah pendekatan baru ” yang melampaui
pendekatan lama dalam kajian keagamaan
(Arkoun menyebutnya : Rethinking agama) guna menemukan ajaran yang semestinya
sekaligus mendemarkasinya secara tegas
dengan ajaran yang telah dipraktekkan berdasarkan tafsir
kepentingan. Upaya ini menjadi urgen dalam
rangka –selain agar kita tidak “kecele”—juga untuk membangun hubungan
antar umat beragama yang harmonis dan beautiful.
Nah, karena dalam
diri apa yang disebut Postmodern –walau
samar samar—terdapat beberapa ide dasar
atau lebih tepatnya metode , seperti
: :
dekonstruksi, pluralisme, relatifitas, pembentukan diskursus dan kritisisme
baru serta budaya dialog, yang “dianggap cukup mach” dengan kepentingan diatas,
maka diskursus disputar Postmodern –inkludid filsafat perrinial— mulai banyak mendapat respon kaum agamawan dan
peminat study study agama.
Salah satu persoalan menarik yang muncul dalam wacana mengenai
Postmodern dan agama adalah bagaimana perspektif tersebut dapat
ditransfigurasikan sebagai alat analisis untuk
mengkaji agama. Hal ini mungkin riskan, terutama karena sebagian pihak
masih menilai bahwa apa yang disebut sebagai “pemikiran Postmodern masih belum
menemukan bentuk dan karakternya yang jelas.
Bersliwernya banyak idiom pada saat itu seperti : tran Modern, meta
modern, new modern dan pasca modern yang
semuanya belum tuntas, tak ayal
membuat kian rancunya apa yang disebut sebagai pemikiran Postmodern.
sebagai suatu aliran perkembangan pemikiran, post modern muncul ketika
manusia mencari kepastian, tetapi kemudian ia dihianati oleh tiap kepastian
yang dipegannya, lalu terjadilah proses dimana ia menjadi ragu pada
kepastiannya itu.
Dikisahkan oleh Jean Francois Lyotard, di zaman primitif manusia menjadikan alam sebagai centre
of life sehingga saat itu manusia selalu diliput oleh hal-hal mistik
yang irrasional, kemudian muncul agama menawarkan kepastian dan menjanjikan
suasana kehidupan yang lebih harmonis dan prospektif, Walau tidak ada satupun
doktrin agama yang ada menganjurkan kekerasan,
tetapi realitasnya justru banyak
sekali perang dan keributan kemanusian bertolak dari isu agama, sejak itulah
sebagian manusia mengalami dis-trass terhadap agama, lalu berpindahlah pencari
kepastian itu pada sains.
Sains untuk beberapa saat menggeser agama dalam memberikan harapan baru
dan kepastian keselamatan kemanusiaan. Namun ketika sains juga gagal memberi
solusi pemecahan terhadap problematika kemanusiaan dan bahkan justru
memunculkan blunder baru yang lebih fundamental, maka manusia mulai sangsi atau
bahkan pudar kepercayaan mereka terhadap obsesi obsesi makro yang selama ini
digantungkan pada sains dan rasionalitas.
Dalam suasana kebatinan seperti ini, kemudian muncul pemikiran
postmodern yang atensinya terhadap pluralitas dan relativitas sangat tinggi,
sehingga yang partikuler –disebut narasi
narasi kecil—juga diberi tempat. Disini kita melihat post modern bisa memberi
tempat terhadap produk budaya yang dalam pemikiran modern disebut non rasional.
Maka dibawah payung post modern, berbagai jenis dan model pemikiran, misalnya
semacam “new age”, atau model agama
yang tradisionalis, fundamentalis, liberalis dan semacamnya juga memperoleh
tempat terhormat dan dapat berkembang secara baik, sebab bagi postmodern,
setiap agama, manzab, tradisi, nilai atau aliran pemikiran sama-sama mempuyai pesan yang sama yakni kebenaran abadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar