Minggu, 11 November 2012

DIPERLUKAN POLA HIDUP SUFI



 
Ust.. Hefni Zain

Pendahuluan

Globalisasi, disatu sisi memang telah berhasil mengantarkan manusia pada puncak kebangkitan tehnologi, tetapi disisi lain --disadari atau tidak-- telah menyeret manusia pada pelbagai kegelisahan psikologis, syndrom aleinasi dan kecemasan yang tak kunjung usai, karena itulah, ia disamping disebut sebagai the age of tehnology  juga dikenal sebagai the age of anxiety . Adalah hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat akan selalu seiring dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real estate dan departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran perkampungan kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka demikian juga dengan orang melarat dan orang jahat.
Perkembangan daya nalar yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan manusia yang split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian langka sosok jujur, kian membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu mengendalikan diri sendiri, alhasil  globalisasi telah mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi sekaligus menjadikannya mengalami krisis kemanusiaan yang kronis. Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam suasana yang seperti itu, sifat manusia akan bertukar dari fakir menjadi kafir, siddiq amanah akan hilang, hasad, dengki dan hiyanah berbilang bilang, iman dan taqwa akan luntur, kasih sesama umat akan gugur, judi akan jadi majlis, zina akan jadi laris dan kendali akan ditangan iblis. Anak istri kian durhaka melihat moral rendah sang ayah merajalela, alampun murka, muntahkan banjir dan gempa, keributan dimana mana, dan malapetaka diseluruh persada.
Daniel Goleman seorang  psikolog  dan pakar SDM modern, setelah melakukan riset dan uji empirik yang cukup lama, menyebutkan bahwa IQ hanya menyumbangkan 20 % terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya ditentukan oleh faktor EQ dan SQ,  salah satu instrumen dari EQ adalah mood management (manajemen suasana hati), sedangkan hati merupakan salah satu komponen sikap mental spiritual yang sangat besar pengaruhnya terhadap prilaku seseorang, di akhir risetnya Goleman menyebutkan bila pengetahuan tinggi, keterampilan juga tinggi, tapi sikap mental rendah  maka akan menghasilkan  SDM yang rendah, sebaliknya bila pengetahuan dan keterampilan rendah  tapi sikap mental tinggi, maka akan menghasilkan SDM yang tinggi.  Dengan hasil riset ini secara ilmiyah tak terbantahkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan faktor yang paling vital bagi seseorang dalam mencapai kesuksesan hidupnya.
Maka tidak heran, di barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir ini  jalan hidup ngati (baca : jalan hidup sufi ) mengalami kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan bahwa di barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan tarekat tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore, halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya sufistik kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat di barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit hedonis yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek kehidupan.
            Disaat banyak manusia mengalami kecemasan dan keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup perlu segera dilakukan,  jalan hidup yang tidak “melulu ngakal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan yang terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang seperti itu “pola hidup ngati” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup ngati kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik dan hedonistik.

Perlu pemikiran ulang

 Adalah kurang tepat pemahaman maenstrem masyarakat yang menganggap bahwa sosok sufi itu adalah mereka yang berpenampilan kolot, yang benci kehidupan dunia, yang menolak hidup mewah atau yang berpakaian seadanya, kendati dalam dunia sufi melekat pola hidup zuhud, tetapi yang dimaksud bukan tidak boleh punya harta benda, atau menolak kehidupan dunia.
Fariduddin Attar  dalam kitabnya Tadzkiratul auliya’ menceritakan, dahulu seorang nelayan miskin bernama Ahmad Sirhindi hidup berdua bersama muridnya di sebuah gubuk tua, setiap hari mereka berlayar menangkap ikan, dan seperti biasa ia menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada kaum papa disekitarnya, ia hanya menyisakan dua potong kepala ikan untuk direbus sebagai makan malam mereka berdua, nelayan itu sesungguhnya seorang guru sufi yang berguru pada maha guru syaikhul akbar Ibn Arabi.
 Suatu hari ia merasakan jiwanya selalu resah, ia meminta muridnya untuk menemui sang maha guru Ibn Arabi agar dimintakan tausiah. Pergilah si murid ke kota kediaman sang maha guru, kepada penduduk setempat si  murid bertanya dimana tempat tinggal Ibn Arabi, orang orang yang ditanya menunjukkan kepadanya sebuah istina mewah yang berdiri megah diatas puncak bukit. Setibanya ditempat yang dituju, si murid  terkejut alang kepalang menyaksikan kemewahan rumah besar Ibn Arabi, ia tidak pernah membayangkannya, dalam mimpi sekalipun.
Perasaan si murid bergolak, bila dibanding dengan gurunya sendiri yang tinggal digubuk reot betapa duniawinya Ibn Arabi ini ? bagaimana mungkin seorang materialistik seperti itu bisa disebut maha guru sufi, fikir si murid. Kemudian murid itu minta bertemu dengan Ibn Arabi, pelayan menjawab bahwa sang maha guru masih berkunjung ke kholifah dan akan segera kembali, tak lama kemudian ia menyaksikan arak arakan menuju kediaman Ibn Arabi, tampak dalam rombongan tersebut beberapa pengawal dengan seragam lengkap, dayang dayang cantik yang manja, sesaat kemudian muncul Ibn Arabi dengan pakaian kebesaran, jubah sutera dengan serban yang biasa dipakai para sultan. Dengan dikawal beberapa pelayan si murid dibawa menghadap sang maha guru, tampak gadis gadis cantik membawakan kue, buah dan minuman, kepada Ibn Arabi  disampaikan pesan gurunya, si murid menjadi semakin heran ketika sang maha guru berkata “sampaikan pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat pada dunia”! tatkala murid itu kembali ke kampung, ia ragu untuk menyampaikan pesan Ibn Arabi kepada gurunya, dalam benaknya muncul kebingungan bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup begitu mewah berani menasehati gurunya yang melarat, bahwa gurunya terlalu terikat kepada dunia ?  tetapi karena tidak ada pilihan lain, iapun menyampaikan apa yang dipesankan Ibn Arabi kepada gurunya. Mendengar itu nelayan itu menangis, si murid tambah heran,  Beliau benar muridku !, Beliau benar benar tak peduli dengan semua yang ada, sedangkan aku, setiap makan kepala ikan, selalau berharap andai saja   ikan ini utuh ?
Kisah diatas menegaskan bahwa manusia zuhud bukan yang menolak kehidupan dunia,  melainkan tidak mau ditipu dunia, bukan tidak boleh punya harta benda, tetapi tidak boleh diperbudak oleh harta benda itu. Bagi Islam manusia zuhud adalah ketika ia tidak memandang apa yang ada ditangannya lebih diandalkan dari apa yang ada disisi Allah, sebagaimana ditegaskan alqur’an bahwa apa yang ada padamu akan musnah, dan apa yang pada pada Allah akan abadi (QS.16 : 96). Jadi manusia zuhud adalah seseorang yang tidak bersedih karena apa yang lepas dari tangannya dan tidak bangga dengan apa yang diberikan kepadanya (QS.57 : 23). 
Karena itu karakter manusia zuhud yang paling substansial adalah ia tidak pernah meletakkan kebahagiannya pada apa yang dimiliki melainkan pada pemanfaatannya, ia memang hidup didunia tetapi tidak meletakkan hatinya didunia, ia memang bekerja didunia tetapi untuk semata mata untuk kepentingan akherat. Sebuah syair menyebutkan “siapa yang melihat sesuatu tetapi gagal melihat kehadiran Allah dalam sesuatu itu maka pandangannya itu adalah sia sia, jangan kagumi sesuatu itu tetapi kagumilah pencipta sesuatu tersebut “  Intinya, manusia zuhud adalah mereka yang ada di dunia tetapi tidak mendunia “kanuu qauman min ahli ad dun ya walaisu min ahliha”.

Bagaimana membentuk pola hidup sufi

            Yang dimaksud pola hidup sufi menurut Dzun Nun al Misri adalah jangan bergaul dengan Allah kecuali dengan muwafaqoh (mentaatinya), jangan bergaul dengan sesama mahluk kecuali dengan munasahah  (saling menyayangi),  Jangan bergaul dengan nafsu kecuali dengan mukhalafah (menundukkannya), dan jangan bergaul dengan syetan kecuali dengan muharabah (memeranginya).
Untuk sampai pada pola hidup sufi seperti maknanya diatas, tentu diperlukan beberapa tahapan, diantaranya adalah : Pertama, tahapan iradah (kebangkitan suatu perasaan / instink yang sebelumnya tertidur untuk menjawab panggilan suara haqiqah)  yakni adanya semacam kehendak pada diri manusia yang didorong oleh kesadaran burhani dalam bentuk ikatan iman yang kokoh untuk memegang erat al urwah al wustho dan pada saat itu hatinya bergerak menuju Allah hingga mencapai ruh al ittisal. Kedua, tahapan riyadhah, yakni penggemblengan atau peragihan ruhani guna mencapai tiga hal, yaitu : membuang segala kesibukan yang menyebabkan kelalaian, menyiapkan kekuatan internal dan menghilangkan kekacauan ruh (proses penjinakan nafsu amarah  demi tumbuhnya nafs mutmainnah. Dan Ketiga adalah tahapan latha’if al sir, yaitu proses pelunakan, sensitivitas, pembeningan dan pencerahan hati hingga siap memunculkan sambungan langsung ilahiyah (SLI).
Tentu saja dalam menapaki tahapan tahapan diatas akan didapati banyak hambatan dan problem, tetapi semua itu adalah wajar, sebab hidup memang perjuangan mengatasi problem, hidup adalah problem itu sendiri. dan problem adalah hidup itu sendiri, semua manusia yang hidup akan diuji dengan pelbagai macam problem, dan dibalik semua itu pasti terkandung suatu maksud yang sangat dalam dan luas, dengan ujian kita dapat mengetahui siapa kita sebenarnya, hanya yang menempuh sungguh sungguh yang dapat menggapai kemuliaan, siapa yang mengetuk pintu berkali kali akan dibukakan pintu hidayah, seseungguhnya orang yang dapat meraih fajar hanyalah mereka yang mampu melakukan perjalanan panjang melelahkan diwaktu malam, maka teruslah berusaha dengan keyakinan dan kesabaran yang tinggi serta jangan pernah berputus asa,   tanpa keyakinan, kepastian menjadi sirna tapi dengan keyakinan yang mustahil bisa jadi kenyataan. Dengan kesabaran semua menjadi baik, sabar dalam musibah adalah pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam menolak maksiat adalah mahkota nabi yusuf, ketidak sabaran berakibat perpisahan antara Khidir dan Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud, ketidak sabaran membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita. Sabda Nabi sebaik baik ibadah adalah menyerahkan semuanya kepada Allah swt dan yakin sepenuhnya terhadap janji janji Allah, ridla atas segala yang terjadi, berprasangka baik kepadaNya dan menunggu dengan sabar pertolonganNya.
Logikanya sangat mudah yakni bila tidak pesta yang tak berakhir, maka pasti tidak ada badai yang tidak berlalu. setiap tangisan akan berujung dengan senyuman dan setelah kesulitan pasti ada kemudahan, maka kabarkan pada malam bahwa sang fajar akan segera tiba, kabarkan juga pada orang orang yang dililit problem bahwa pertolongan Allah akan segera datang .
            Syeh Abu Muhammad Muhyiddin Abdul Qodir Jailani ra pernah berpesan pada murid - muridnya “Wahai murid muridku ! Janganlah kalian mati sebelum datang kematian yang sesungguhnya, tetapi lahirlah kembali  setelah kalian dilahirkan ke dunia ini”. Pesan diatas didasari sebuah realitasnya bahwa masih banyak orang yang seperti mati kendati ia belum mati dan tidak sedikit orang yang hidup tetapi tidak dihitung sebagai hidup.
            Pola hidup sufi adalah yang mengisi hidup dengan perbuatan bermakna dan bukan mengisinya dengan perbuatan yang sia sia, pola hidup sufi adalah yang menyerahkan semua pengabdian hanya kepada Allah swt. Betapa sering kita bicara pengabdian tetapi betapa sedikitnya yang memahami maknanya, sholat dan puasa kita masih pamrih, belum berupa persembahan sejati, belum bersikap What can I do for you. Pengabdi sejati adalah pemilik rohani agung yang hanya ingin terkenal dilangit dan bukan dibumi.
         Pola hidup sufi tak mengenal pamer, ingin menonjol dan masih bertopeng,  sebab siapapun yang merasa telah berbuat banyak akan menyebabkan tirai gelap yang menutup karunia Tuhan, karena ia telah mengendalkan amalnya dan meremehkan pemberian Tuhan, itu artinya, ia masih berkutat dengan dirinya sendiri, ia tidak berjalan menuju Tuhan, ia hanya berputar putar disekitar egonya sendiri, ia tidak mencari ridlo Tuhan, ia mengejar ridlo dirinya sendiri. Dan ini harus diakui bahwa tidak sedikit diantara  kita yang kadang sulit menerima kenyataan karena yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan, padahal semua keputusan Allah adalah yang terbaik bagi kita, tetapi dalam hidup ini kita lebih banyak menuntut sesuatu sesuai kemauan kita sendiri dan bukan sesuai kemauan Allah swt.
Rasululloh saw mengajarkan doa “ Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku, kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu. KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, sebab kasih sayangMu meliputi segala sesuatu. Dengan rahmatMu wahai yang paling pengasih dari segala yang mengasihi.

Khotimah

            Dengan pola hidup sufi relasi manusia dengan Allah, dengan alam dan sesama mahluk termasuk dengan nafsu dan syetan akan menjadi stabil sesuai kehendak Allah, dengan pola hidup sufi, manusia akan mampu menangkap makna terdalam dari hadits nabi saw “man ‘arafa nafsahu faqad  ‘arafa rabbahu. Maka tidak disangsikan pola hidup sufi akan  menjadi alternatif  terapiteus sebagai pusat rehabilitasi efektif bagi manusia yang kehilangan nilai nilai kemanusiaannya atau minimal unsur unsur hidup sufi seperti zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal dapat menjadi pengimbang bagi trend pola hidup serakah, saling menjegal, materialistik dan hedonistik.

Tidak ada komentar: