Ust..
Hefni Zain
Pendahuluan
Globalisasi,
disatu sisi memang telah berhasil mengantarkan manusia pada puncak kebangkitan
tehnologi, tetapi disisi lain --disadari atau tidak-- telah menyeret manusia
pada pelbagai kegelisahan psikologis, syndrom aleinasi dan kecemasan yang tak
kunjung usai, karena itulah, ia disamping disebut sebagai the age of
tehnology juga dikenal sebagai the age
of anxiety . Adalah hukum alam, bahwa pembangunan yang berkembang begitu cepat
akan selalu seiring dengan biaya sosial yang harus dikeluarkan, berdirinya real
estate dan departemen store dipelbagai tempat akan seiring dengan kehadiran
perkampungan kumuh dan zona zona kejahatan, bila konglomerat bertambah maka
demikian juga dengan orang melarat dan orang jahat.
Perkembangan daya nalar
yang tidak seimbang dengan daya spiritual hanya akan melahirkan manusia yang
split personality, kian banyak sosok pandai tapi kian langka sosok jujur, kian
membludak sosok yang pongah dengan pengetahuan tapi bingung menikmati
kehidupan, mampu merekayasa kosmik tetapi tidak mampu mengendalikan diri
sendiri, alhasil globalisasi telah
mengantarkan manusia pada pucuk popularitas tetapi sekaligus menjadikannya
mengalami krisis kemanusiaan yang kronis. Jalaluddin Rumi menggambarkan dalam
suasana yang seperti itu, sifat manusia akan bertukar dari fakir menjadi kafir,
siddiq amanah akan hilang, hasad, dengki dan hiyanah berbilang bilang, iman dan
taqwa akan luntur, kasih sesama umat akan gugur, judi akan jadi majlis, zina
akan jadi laris dan kendali akan ditangan iblis. Anak istri kian durhaka
melihat moral rendah sang ayah merajalela, alampun murka, muntahkan banjir dan
gempa, keributan dimana mana, dan malapetaka diseluruh persada.
Daniel Goleman
seorang psikolog dan pakar SDM modern, setelah melakukan riset
dan uji empirik yang cukup lama, menyebutkan bahwa IQ hanya menyumbangkan 20 %
terhadap kesuksesan seseorang, selebihnya ditentukan oleh faktor EQ dan
SQ, salah satu instrumen dari EQ adalah
mood management (manajemen suasana hati), sedangkan hati merupakan salah satu
komponen sikap mental spiritual yang sangat besar pengaruhnya terhadap prilaku
seseorang, di akhir risetnya Goleman menyebutkan bila pengetahuan tinggi,
keterampilan juga tinggi, tapi sikap mental rendah maka akan menghasilkan SDM yang rendah, sebaliknya bila pengetahuan
dan keterampilan rendah tapi sikap
mental tinggi, maka akan menghasilkan SDM yang tinggi. Dengan hasil riset ini secara ilmiyah tak
terbantahkan bahwa kecerdasan spiritual merupakan faktor yang paling vital bagi
seseorang dalam mencapai kesuksesan hidupnya.
Maka tidak heran, di
barat sendiri dalam beberapa dekakde terakhir ini jalan hidup ngati (baca : jalan hidup sufi )
mengalami kebangkitan yang luar biasa, Hakim Chisthi dalam risetnya menemukan
bahwa di barat tatkala kemajuan IPTEK kian dipacu, justru semakin bermunculan
tarekat tarekat sufi, terutama di kawasan Manhattan seperti tarekat bookstore,
halvatiye Jarrahi dan semacamnya, bahkan di New york tarekat silmani yang
dipelopori Javad Nourbakhsh, dengan super aktif menerbitkan karya karya sufistik
kedalam berbagai bahasa, semua itu menandakan bahwa sejumlah masyarakat di
barat sendiri sudah masuk pada “tahap muak” dengan pola hidup hipokrit hedonis
yang justru memperbesar munculnya kekacauan dihampir semua aspek kehidupan.
Disaat banyak manusia mengalami
kecemasan dan keresahan yang tak berkesudahan, maka reoreintasi pola hidup
perlu segera dilakukan, jalan hidup yang
tidak “melulu ngakal” perlu segera dicari, sebab secara empirik dalam kehidupan
yang terus menua, dunia tidak saja memerlukan manusia pinter, tapi yang lebih
penting adalah munculnya manusia suci dan benar, maka dalam konteks yang
seperti itu “pola hidup ngati” adalah sesuatu yang niscaya. Pola hidup ngati
kiranya menjadi alternatif solutif sebagai pusat rehabilitasi sosial bagi pihak
pihak yang mengalami kegoncangan psikologis dan kegersangan spiritual juga
dalam rangka membentuk prilaku zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan tawakkal
sebagai balance terhadap kecenderungan pola hidup serakah, materialistik dan
hedonistik.
Perlu pemikiran ulang
Adalah kurang tepat pemahaman maenstrem
masyarakat yang menganggap bahwa sosok sufi itu adalah mereka yang
berpenampilan kolot, yang benci kehidupan dunia, yang menolak hidup mewah atau
yang berpakaian seadanya, kendati dalam dunia sufi melekat pola hidup zuhud,
tetapi yang dimaksud bukan tidak boleh punya harta benda, atau menolak
kehidupan dunia.
Fariduddin Attar dalam kitabnya Tadzkiratul auliya’
menceritakan, dahulu seorang nelayan miskin bernama Ahmad Sirhindi hidup berdua
bersama muridnya di sebuah gubuk tua, setiap hari mereka berlayar menangkap
ikan, dan seperti biasa ia menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada kaum
papa disekitarnya, ia hanya menyisakan dua potong kepala ikan untuk direbus
sebagai makan malam mereka berdua, nelayan itu sesungguhnya seorang guru sufi
yang berguru pada maha guru syaikhul akbar Ibn Arabi.
Suatu hari ia merasakan jiwanya selalu resah,
ia meminta muridnya untuk menemui sang maha guru Ibn Arabi agar dimintakan
tausiah. Pergilah si murid ke kota kediaman sang maha guru, kepada penduduk
setempat si murid bertanya dimana tempat
tinggal Ibn Arabi, orang orang yang ditanya menunjukkan kepadanya sebuah istina
mewah yang berdiri megah diatas puncak bukit. Setibanya ditempat yang dituju,
si murid terkejut alang kepalang
menyaksikan kemewahan rumah besar Ibn Arabi, ia tidak pernah membayangkannya,
dalam mimpi sekalipun.
Perasaan si murid
bergolak, bila dibanding dengan gurunya sendiri yang tinggal digubuk reot
betapa duniawinya Ibn Arabi ini ? bagaimana mungkin seorang materialistik
seperti itu bisa disebut maha guru sufi, fikir si murid. Kemudian murid itu
minta bertemu dengan Ibn Arabi, pelayan menjawab bahwa sang maha guru masih
berkunjung ke kholifah dan akan segera kembali, tak lama kemudian ia
menyaksikan arak arakan menuju kediaman Ibn Arabi, tampak dalam rombongan
tersebut beberapa pengawal dengan seragam lengkap, dayang dayang cantik yang
manja, sesaat kemudian muncul Ibn Arabi dengan pakaian kebesaran, jubah sutera
dengan serban yang biasa dipakai para sultan. Dengan dikawal beberapa pelayan
si murid dibawa menghadap sang maha guru, tampak gadis gadis cantik membawakan
kue, buah dan minuman, kepada Ibn Arabi
disampaikan pesan gurunya, si murid menjadi semakin heran ketika sang
maha guru berkata “sampaikan pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu
terikat pada dunia”! tatkala murid itu kembali ke kampung, ia ragu untuk
menyampaikan pesan Ibn Arabi kepada gurunya, dalam benaknya muncul kebingungan
bagaimana mungkin Ibn Arabi yang hidup begitu mewah berani menasehati gurunya
yang melarat, bahwa gurunya terlalu terikat kepada dunia ? tetapi karena tidak ada pilihan lain, iapun
menyampaikan apa yang dipesankan Ibn Arabi kepada gurunya. Mendengar itu
nelayan itu menangis, si murid tambah heran,
Beliau benar muridku !, Beliau benar benar tak peduli dengan semua yang
ada, sedangkan aku, setiap makan kepala ikan, selalau berharap andai saja ikan ini utuh ?
Kisah diatas menegaskan
bahwa manusia zuhud bukan yang menolak kehidupan dunia, melainkan tidak mau ditipu dunia, bukan tidak
boleh punya harta benda, tetapi tidak boleh diperbudak oleh harta benda itu.
Bagi Islam manusia zuhud adalah ketika ia tidak memandang apa yang ada
ditangannya lebih diandalkan dari apa yang ada disisi Allah, sebagaimana
ditegaskan alqur’an bahwa apa yang ada padamu akan musnah, dan apa yang pada
pada Allah akan abadi (QS.16 : 96). Jadi manusia zuhud adalah seseorang yang
tidak bersedih karena apa yang lepas dari tangannya dan tidak bangga dengan apa
yang diberikan kepadanya (QS.57 : 23).
Karena itu karakter
manusia zuhud yang paling substansial adalah ia tidak pernah meletakkan
kebahagiannya pada apa yang dimiliki melainkan pada pemanfaatannya, ia memang
hidup didunia tetapi tidak meletakkan hatinya didunia, ia memang bekerja didunia
tetapi untuk semata mata untuk kepentingan akherat. Sebuah syair menyebutkan
“siapa yang melihat sesuatu tetapi gagal melihat kehadiran Allah dalam sesuatu
itu maka pandangannya itu adalah sia sia, jangan kagumi sesuatu itu tetapi
kagumilah pencipta sesuatu tersebut “
Intinya, manusia zuhud adalah mereka yang ada di dunia tetapi tidak
mendunia “kanuu qauman min ahli ad dun ya walaisu min ahliha”.
Bagaimana membentuk pola hidup sufi
Yang dimaksud pola hidup sufi
menurut Dzun Nun al Misri adalah jangan bergaul dengan Allah kecuali dengan
muwafaqoh (mentaatinya), jangan bergaul dengan sesama mahluk kecuali dengan
munasahah (saling menyayangi), Jangan bergaul dengan nafsu kecuali dengan
mukhalafah (menundukkannya), dan jangan bergaul dengan syetan kecuali dengan
muharabah (memeranginya).
Untuk sampai pada pola
hidup sufi seperti maknanya diatas, tentu diperlukan beberapa tahapan,
diantaranya adalah : Pertama, tahapan iradah (kebangkitan suatu perasaan /
instink yang sebelumnya tertidur untuk menjawab panggilan suara haqiqah) yakni adanya semacam kehendak pada diri
manusia yang didorong oleh kesadaran burhani dalam bentuk ikatan iman yang
kokoh untuk memegang erat al urwah al wustho dan pada saat itu hatinya bergerak
menuju Allah hingga mencapai ruh al ittisal. Kedua, tahapan riyadhah, yakni
penggemblengan atau peragihan ruhani guna mencapai tiga hal, yaitu : membuang
segala kesibukan yang menyebabkan kelalaian, menyiapkan kekuatan internal dan
menghilangkan kekacauan ruh (proses penjinakan nafsu amarah demi tumbuhnya nafs mutmainnah. Dan Ketiga
adalah tahapan latha’if al sir, yaitu proses pelunakan, sensitivitas,
pembeningan dan pencerahan hati hingga siap memunculkan sambungan langsung
ilahiyah (SLI).
Tentu saja dalam menapaki
tahapan tahapan diatas akan didapati banyak hambatan dan problem, tetapi semua
itu adalah wajar, sebab hidup memang perjuangan mengatasi problem, hidup adalah
problem itu sendiri. dan problem adalah hidup itu sendiri, semua manusia yang
hidup akan diuji dengan pelbagai macam problem, dan dibalik semua itu pasti
terkandung suatu maksud yang sangat dalam dan luas, dengan ujian kita dapat
mengetahui siapa kita sebenarnya, hanya yang menempuh sungguh sungguh yang
dapat menggapai kemuliaan, siapa yang mengetuk pintu berkali kali akan dibukakan
pintu hidayah, seseungguhnya orang yang dapat meraih fajar hanyalah mereka yang
mampu melakukan perjalanan panjang melelahkan diwaktu malam, maka teruslah
berusaha dengan keyakinan dan kesabaran yang tinggi serta jangan pernah
berputus asa, tanpa keyakinan,
kepastian menjadi sirna tapi dengan keyakinan yang mustahil bisa jadi
kenyataan. Dengan kesabaran semua menjadi baik, sabar dalam musibah adalah
pakaian nabi ayyub, sabar dalam taat adalah hiasan nabi ibrahim, sabar dalam
menolak maksiat adalah mahkota nabi yusuf, ketidak sabaran berakibat perpisahan
antara Khidir dan Musa, ketidak sabaran membuat kita kalah dalam perang uhud,
ketidak sabaran membuat berbagai kebaikan lepas dari genggaman kita. Sabda Nabi
sebaik baik ibadah adalah menyerahkan semuanya kepada Allah swt dan yakin
sepenuhnya terhadap janji janji Allah, ridla atas segala yang terjadi,
berprasangka baik kepadaNya dan menunggu dengan sabar pertolonganNya.
Logikanya sangat mudah
yakni bila tidak pesta yang tak berakhir, maka pasti tidak ada badai yang tidak
berlalu. setiap tangisan akan berujung dengan senyuman dan setelah kesulitan
pasti ada kemudahan, maka kabarkan pada malam bahwa sang fajar akan segera
tiba, kabarkan juga pada orang orang yang dililit problem bahwa pertolongan
Allah akan segera datang .
Syeh Abu Muhammad Muhyiddin Abdul
Qodir Jailani ra pernah berpesan pada murid - muridnya “Wahai murid muridku !
Janganlah kalian mati sebelum datang kematian yang sesungguhnya, tetapi
lahirlah kembali setelah kalian
dilahirkan ke dunia ini”. Pesan diatas didasari sebuah realitasnya bahwa masih
banyak orang yang seperti mati kendati ia belum mati dan tidak sedikit orang
yang hidup tetapi tidak dihitung sebagai hidup.
Pola hidup sufi adalah yang mengisi
hidup dengan perbuatan bermakna dan bukan mengisinya dengan perbuatan yang sia
sia, pola hidup sufi adalah yang menyerahkan semua pengabdian hanya kepada
Allah swt. Betapa sering kita bicara pengabdian tetapi betapa sedikitnya yang
memahami maknanya, sholat dan puasa kita masih pamrih, belum berupa persembahan
sejati, belum bersikap What can I do for you. Pengabdi sejati adalah pemilik
rohani agung yang hanya ingin terkenal dilangit dan bukan dibumi.
Pola hidup sufi tak mengenal pamer,
ingin menonjol dan masih bertopeng,
sebab siapapun yang merasa telah berbuat banyak akan menyebabkan tirai
gelap yang menutup karunia Tuhan, karena ia telah mengendalkan amalnya dan
meremehkan pemberian Tuhan, itu artinya, ia masih berkutat dengan dirinya
sendiri, ia tidak berjalan menuju Tuhan, ia hanya berputar putar disekitar
egonya sendiri, ia tidak mencari ridlo Tuhan, ia mengejar ridlo dirinya
sendiri. Dan ini harus diakui bahwa tidak sedikit diantara kita yang kadang sulit menerima kenyataan
karena yang terjadi tidak seperti yang kita harapkan, padahal semua keputusan
Allah adalah yang terbaik bagi kita, tetapi dalam hidup ini kita lebih banyak
menuntut sesuatu sesuai kemauan kita sendiri dan bukan sesuai kemauan Allah
swt.
Rasululloh
saw mengajarkan doa “ Tuhanku, ampunanMu lebih aku harapkan dari amalku,
kasihMu jauh lebih luas dari dosaku, jika dosaku besar disisiMu, ampunanMu jauh
lebih besar dari dosa dosaku. Jika aku tidak berhak untuk meraih kasihMu.
KasihMulah yang pantas untuk mencapaiku dan meliputiku, sebab kasih sayangMu
meliputi segala sesuatu. Dengan rahmatMu wahai yang paling pengasih dari segala
yang mengasihi.
Khotimah
Dengan pola hidup sufi relasi
manusia dengan Allah, dengan alam dan sesama mahluk termasuk dengan nafsu dan
syetan akan menjadi stabil sesuai kehendak Allah, dengan pola hidup sufi,
manusia akan mampu menangkap makna terdalam dari hadits nabi saw “man ‘arafa
nafsahu faqad ‘arafa rabbahu. Maka tidak
disangsikan pola hidup sufi akan menjadi
alternatif terapiteus sebagai pusat
rehabilitasi efektif bagi manusia yang kehilangan nilai nilai kemanusiaannya
atau minimal unsur unsur hidup sufi seperti zuhud, qona’ah, sabar, ridlo dan
tawakkal dapat menjadi pengimbang bagi trend pola hidup serakah, saling
menjegal, materialistik dan hedonistik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar