Minggu, 11 November 2012

MEMAHAMI UNGKAPAN GANJIL KAUM SUFI




Ust. Hefni Zain

Ibrahim basyuni dalam kitabnya “Nas’at al Tasawwuf al Islam”  mengisahkan bahwa suatu ketika Rasululloh saw sedang khusu’ tafakkur kepada Allah swt, tiba tiba masuklah Aisyah  istrinya, beliau merasa terganggu atas kehadiran sang istri, lantas Nabi bertanya : siapa engkau? saya, Aisyah, jawabnya. Siapa Aisyah itu? Aisyah tercengang  lalu menjawab, istri paduka, putri Abu bakar. Siapakah Abu bakar itu? teman paduka sendiri. Siapa paduka itu ? Anda sendiri, Muhammad, jawab Aisyah. Siapa Muhammad itu ?, Demi mendengar pertanyaan tersebut, Aisyah sadar bahwa Nabi saw sedang dalam kondisi  tidak sebagaimana mestinya.  Kisah ini oleh kalangan sufi dijadikan salah satu sandaran bahwa dalam keadaan fana, seseorang akan merasa bahwa dirinya tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan yang maha besar, yang menciptakan dan mengadakan segala yang ada.
Dalam kamus tasawwuf ungkapan ganjil dikenal dengan istilah “shatahat “  yakni perkataan --yang menurut umum-- ganjil yang keluar dari lisan seorang sufi yang tengah berada dalam kondisi ekstase, misalnya :  ucapan  Al hallaj ” aku adalah Allah yang ku cintai dan Allah yang Kucintai adalah Aku,  Juga ucapan Al busthomi “ Maha Suci Aku, Maha suci aku, maha besar Aku”,  atau juga ucapan Junaid Baghdadi “Tiada sesuatupun di bawah jubahku melainkan Allah” dan banyak lagi yang lain. Perkataan ganjil ganjil semacam inilah yang kemudian membuat Al Hallaj dijatuhi hukuman mati  tahun 309 H oleh kholifah Al Muqtadir billah di masa bani  Abbasiyah. Hukuman mati atas diri al Hallaj itu sendiri hingga saat ini masih menimbulkan pro kontra  dikalangan ulama’  terkemuka  dan bahkan tetap menjadi bahan diskusi yang aktual terutama bagi mereka pemerhati dan  penikmat ilmu tasawwuf. 
Dunia tasawwuf adalah dunia yang unik, misalnya dalam mengekspresikan suatu ibadah, kaum sufi memiliki karakteristik tersendiri, menurut mereka seseorang yang ber ibadah tanpa memperhatikan makna bathiniyahnya  tak ubahnya seperti anak kecil yang membaca buku tanpa tahu maksudnya, menurut mereka, sholat bukan sekedar sejumlah kalimat yang diucapkan dan gerakan jasmani yang didemonstrasikan, melainkan sebuah proses dialog spiritual , sambung rasa, kontak emosi antara ‘abid dengan ma’bud, semua gerakan dan kata yang diucapkan dalam sholat adalah simbol yang maknanya merupakan bagian dari komonikasi bathiniyah antara manusia dengan Tuhannya. Berangkat dari realitas tersebut, maka tidak mengherankan jika dalam diri seorang sufi seringkali dijumpai hal hal yang ganjil atau nyeleneh menurut ukuran di luar sufi, misalnya : Wahdatul wujudnya Ibn Araby, Ma’rifatnya dzun Nun Al Misri, Ittihadnya Abu Yazid al Bustomi dan terutama Hululnya Abu Mughis al Husien ibn Mansur al Baidawy al Hallaj.
Sepak terjang Al Hallaj yang tidak sabar menahan limpahan kebahagiaan, sehingga rahasia cintanya ia bocorkan sendiri  dengan konsep yang dia sebut hulul yang didasarkan pada pengalaman batin, kehalusan rasa, ketercerahan emosi dan berdasarkan ilham dari alam ghoib telah menggegerkan konstelasi ulama’ fiqh dan bahkan mendapat reaksi keras dari mereka, dan puncaknya Ibn Dawud al Astihami (manzhab dhahiri) mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Al hallaj adalah sesat, maka iapun ditangkap dan dihukum mati. Kendati demikian,  figur al Hallaj hingga kini masih tetap mendapat simpati yang besar dari banyak penikmat kecerdasan dan kecerahan kalbu.
                                                                               
Apa yang disebut Hulul dalam konteks ini adalah tipe lain dari faham al Ittihad yang diajarkan Abu Yazid Al Busthomi, sedangkan pengertian hulul  secara  sederhana   adalah bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah ia dapat melenyapkan sifat sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut al Hallaj, manusia itu mempunyai potensi dasar ganda, yakni sifat kemanusiaan (Nasut) dan sifat keTuhanan (Lahut), apabila sifat sifat kemanusiaan itu telah dilenyapkan melalui proses fana’ dan sifat sifat keTuhanan dikembangkan secara optimal, maka akan tercapai persenyawaan dengan Tuhan dalam bentuk lahut, persenyawaan yang semacam ini menurut al Hallaj akan mengambil bentuk hulul (bahasa Jawa : nitis).  Itulah yang terjadi ketika Allah swt memerintahkan malaikat bersujud kepada Adam sebagaimana diceritakan pada surat al baqarah : 34, menurut al Hallaj Allah memberi perintah semacam itu, karena pada diri Adam Allah swt  telah menetes.
Dengan demikian dapat difahami bahwa kata kata “ana al Haq” yang di ucapkan al Hallaj bukanlah dimaksudkan sebagai pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan, buktinya Al Hallaj sendiri menegaskan  “ﺎﻧﻧﻴﺒ ﻖﺮﻓﻓ ﻖﺣ ﺎﻧﺍ ﻝﺑ   ﺎﻧﺍ ﻕﺤﻠﺍﺎﻤ ﻖﺤﻠﺍﺭﺴ ﺎﻧﺍ “  (Aku adalah rahasia yang maha benar  dan bukanlah yang maha benar itu adalah  aku. Aku hanya salah satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami).  Maka hulul yang terjadi pada al Hallaj harus difahami sebagai  figurative dan bukan riil, artinya yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada kondisi fana’. Banyak ungkapan  senada dengan al Hallaj yang terlontar dari lisan para sufi, misalnya “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadaMu?, Allah menjawab : tinggalkan dirimu dan datanglah. Siapa yang menghilangkan sifat sifat kemanusiaannya, maka ia memiliki sifat sifat Tuhan. Ada juga ungkapan “Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padanya melalui diriNya, maka akupun hidup”.
Dalam alqur’an ditegaskan upaya menyucikan diri harus diiringi dengan proses meninggalkan rumah kita, Allah berfirman “barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud behijrah kepada Allah dan rasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah… (Qs. An Nisa’ : 100) . Menurut ahli tafsir kata “ Rumah  dalam ayat tersebut sebagai “diri, egoisme, keakuan dan seluruh kepemilikan duniawiyah”. karenanya Alqur’an menyebut orang yang beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya (karena terlalu cinta akan dirinya, keluarganya dan kepemilikan duniawiyahnya) sebagai orang yang telah mengambil Tuhan selain Allah, Ia mencintai diri, keluarga dan kepemilikan duniawiyahnya melebihi cintanya kepada Allah. Allah swt berfirman “Diantara manusia ada orang orang yang menyembah tandingan tandingan selain Allah, mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah. Sementara orang orang beriman sangat mencintai Allah (Qs. Al baqoroh : 165).
Memang memahami idiom syair, harus melalui pendekatan sastra dan bukan dengan bahasa formal keseharian, sebab jika itu yang dipakai maka tidak akan klop dengan yang sejatinya dimaksudkan. Rabindranat pemenang hadiah Nobel kesusastraan, dalam syairnya mengatakan ”tak henti hentinya Kau isi cawan ini dengan anggurMu”  apakah bisa diartikan bahwa Tuhan memeras anggur atau Dia membutuhkan minuman ? jelas tidak demikian, yang dimaksudkan adalah Tuhan tidak henti hentinya memberi karunia dan nikmat kepada dirinya. Atau ketika seseorang berkata “ wajahmu  bagai bulan purnana yang menari riang.  Apakah itu berarti bahwa bulan bisa menari ? tentu tidak.  Jadi dapat dimengerti betapa pendekatan verbal akan sangat jauh kesalahannya jika digunakan untuk memahami idiom idiom syair yang nyastra.                                                                                              
Dengan demikian maka statemen al Hallaj, al Bustomi, Junaid Baghdadi,  Ibn Araby,  termasuk syekh siti jenar yang ganjil itu sesunguhnya tidak ganjil seandainya dilihat dari perspektif dan bahasa mereka, atau seandainya kita bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita, sebab memang tidak ada satupun bahasa yang representatif mampu menggambarkan keadaan yang sebenarnya dari pengalaman  spiritual  personal seseorang, karena itulah kaum sufi  selalu mengatakan “ barang siapa yang belum pernah merasakannya, niscaya dia belum mengetahuinya”.
Abu Nasr Tusi ketika menanggapi shatahat pada kaum sufi mengatakan bahwa  Ibarat air hujan yang sangat deras dan  banyak mengalir keselokan yang sempit., maka pasti dalam kondisi yang semacam itu air akan melimpah ruah dari kedua tepi selokan itu, demikian juga seorang sufi yang sangat dominan intuisinya, ia sangat sulit  menanggung gejolak kalbunya yang memaksanya mengucapkan kata kata yang sulit dimegerti orang lain, kecuali bagi mereka yang pernah merasakannya. Ibarat seorang suami yang baru bulan madu bercerita tentang kenikmatan malam pertama kepada seorang bujang yang sama sekali  belum pernah kawin, maka si bujang baru bisa mengerti secara haq  jika ia pernah merasakan malam pertama dalam perkawinan.
Karena itu, sangat tidak logis dan cenderung tergesa  jika kaum sufi --hanya karena perkataan perkataan ganjilnya-- lalu diklaim sesat dan kafir. Juga sangat tidak masuk akal bila dikatakan kaum sufi mengaku dirinya sebagai Tuhan, sebab logika mengatakan apabila kaum sufi yang sepanjang hidupnya mencari Tuhan itu, mengaku dirinya sebagai Tuhan, maka hakekatnya mereka tidak perlu mencari Tuhan.

Tidak ada komentar: