Ust. Hefni Zain
Ibrahim basyuni dalam kitabnya “Nas’at al Tasawwuf al Islam” mengisahkan bahwa suatu ketika Rasululloh saw
sedang khusu’ tafakkur kepada Allah swt, tiba tiba masuklah Aisyah istrinya, beliau merasa terganggu atas
kehadiran sang istri, lantas Nabi bertanya : siapa engkau? saya, Aisyah,
jawabnya. Siapa Aisyah itu? Aisyah tercengang
lalu menjawab, istri paduka, putri Abu bakar. Siapakah Abu bakar itu?
teman paduka sendiri. Siapa paduka itu ? Anda sendiri, Muhammad, jawab Aisyah.
Siapa Muhammad itu ?, Demi mendengar pertanyaan tersebut, Aisyah sadar bahwa
Nabi saw sedang dalam kondisi tidak
sebagaimana mestinya. Kisah ini oleh
kalangan sufi dijadikan salah satu sandaran bahwa dalam keadaan fana, seseorang
akan merasa bahwa dirinya tidak ada, yang ada hanyalah Tuhan yang maha besar,
yang menciptakan dan mengadakan segala yang ada.
Dalam kamus tasawwuf ungkapan ganjil dikenal dengan istilah “shatahat “ yakni perkataan --yang
menurut umum-- ganjil yang keluar dari lisan seorang sufi yang tengah berada
dalam kondisi ekstase, misalnya :
ucapan Al hallaj ” aku adalah Allah
yang ku cintai dan Allah yang Kucintai adalah Aku, Juga ucapan Al
busthomi
“ Maha Suci Aku, Maha suci aku, maha besar Aku”, atau juga ucapan Junaid Baghdadi “Tiada sesuatupun di
bawah jubahku melainkan Allah” dan banyak lagi yang
lain. Perkataan ganjil ganjil semacam inilah yang kemudian membuat Al Hallaj
dijatuhi hukuman mati tahun 309 H oleh
kholifah Al Muqtadir billah di masa bani
Abbasiyah. Hukuman mati atas diri al Hallaj itu sendiri hingga saat ini
masih menimbulkan pro kontra dikalangan
ulama’ terkemuka dan bahkan tetap menjadi bahan diskusi yang
aktual terutama bagi mereka pemerhati dan
penikmat ilmu tasawwuf.
Dunia tasawwuf adalah dunia yang unik, misalnya dalam
mengekspresikan suatu ibadah, kaum sufi memiliki karakteristik tersendiri, menurut
mereka seseorang yang ber ibadah tanpa memperhatikan makna bathiniyahnya tak ubahnya seperti anak kecil yang membaca
buku tanpa tahu maksudnya, menurut mereka, sholat bukan sekedar sejumlah
kalimat yang diucapkan dan gerakan jasmani yang didemonstrasikan, melainkan
sebuah proses dialog spiritual , sambung rasa, kontak emosi antara ‘abid dengan
ma’bud, semua gerakan dan kata yang diucapkan dalam sholat adalah simbol yang
maknanya merupakan bagian dari komonikasi bathiniyah antara manusia dengan Tuhannya.
Berangkat dari realitas tersebut, maka tidak mengherankan jika dalam diri
seorang sufi seringkali dijumpai hal hal yang ganjil atau nyeleneh menurut
ukuran di luar sufi, misalnya : Wahdatul wujudnya Ibn Araby, Ma’rifatnya dzun
Nun Al Misri, Ittihadnya Abu Yazid al Bustomi dan terutama Hululnya Abu Mughis
al Husien ibn Mansur al Baidawy al Hallaj.
Sepak terjang Al Hallaj yang tidak sabar menahan limpahan
kebahagiaan, sehingga rahasia cintanya ia bocorkan sendiri dengan konsep yang dia sebut hulul yang
didasarkan pada pengalaman batin, kehalusan rasa, ketercerahan emosi dan
berdasarkan ilham dari alam ghoib telah menggegerkan konstelasi ulama’ fiqh dan
bahkan mendapat reaksi keras dari mereka, dan puncaknya Ibn Dawud al Astihami (manzhab dhahiri) mengeluarkan fatwa bahwa ajaran Al hallaj adalah sesat, maka iapun
ditangkap dan dihukum mati. Kendati demikian,
figur al Hallaj hingga kini masih tetap mendapat simpati yang besar dari
banyak penikmat kecerdasan dan kecerahan kalbu.
Apa yang disebut Hulul dalam konteks ini adalah tipe lain dari faham
al Ittihad yang diajarkan Abu Yazid Al Busthomi, sedangkan pengertian
hulul secara sederhana
adalah bahwa Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu setelah
ia dapat melenyapkan sifat sifat kemanusiaannya melalui fana’. Menurut al
Hallaj, manusia itu mempunyai potensi dasar ganda, yakni sifat kemanusiaan (Nasut) dan sifat keTuhanan (Lahut), apabila sifat
sifat kemanusiaan itu telah dilenyapkan melalui proses fana’ dan sifat sifat
keTuhanan dikembangkan secara optimal, maka akan tercapai persenyawaan dengan
Tuhan dalam bentuk lahut, persenyawaan yang semacam ini menurut al Hallaj akan
mengambil bentuk hulul (bahasa
Jawa : nitis).
Itulah yang terjadi ketika Allah swt memerintahkan malaikat bersujud
kepada Adam sebagaimana diceritakan pada surat al baqarah : 34, menurut al
Hallaj Allah memberi perintah semacam itu, karena pada diri Adam Allah swt telah menetes.
Dengan demikian dapat difahami bahwa kata kata “ana al Haq” yang di ucapkan al Hallaj bukanlah dimaksudkan sebagai pernyataan
bahwa dirinya adalah Tuhan, buktinya Al Hallaj sendiri menegaskan “ﺎﻧﻧﻴﺒ ﻖﺮﻓﻓ ﻖﺣ ﺎﻧﺍ ﻝﺑ ﺎﻧﺍ ﻕﺤﻠﺍﺎﻤ ﻖﺤﻠﺍﺭﺴ ﺎﻧﺍ “ (Aku adalah rahasia
yang maha benar dan bukanlah yang maha
benar itu adalah aku. Aku hanya salah
satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami). Maka hulul yang terjadi pada al Hallaj harus
difahami sebagai figurative dan bukan riil,
artinya yang terjadi hanya sekedar kesadaran psikis
yang berlangsung pada kondisi fana’. Banyak ungkapan senada dengan al Hallaj yang terlontar dari
lisan para sufi, misalnya “Tuhanku, apa jalannya untuk sampai kepadaMu?, Allah
menjawab : tinggalkan dirimu dan datanglah. Siapa yang menghilangkan sifat
sifat kemanusiaannya, maka ia memiliki sifat sifat Tuhan. Ada juga ungkapan
“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
padanya melalui diriNya, maka akupun hidup”.
Dalam alqur’an ditegaskan upaya
menyucikan diri harus diiringi dengan proses meninggalkan rumah kita, Allah
berfirman “barang siapa keluar dari rumahnya dengan
maksud behijrah kepada Allah dan rasulNya, lalu kematian menjemputnya, maka
sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah… (Qs. An Nisa’ : 100) . Menurut ahli tafsir kata “ Rumah” dalam ayat tersebut
sebagai “diri, egoisme, keakuan dan seluruh
kepemilikan duniawiyah”. karenanya Alqur’an menyebut orang yang
beribadat kepada Tuhan tanpa meninggalkan dirinya (karena terlalu cinta akan dirinya, keluarganya dan kepemilikan
duniawiyahnya) sebagai orang yang telah mengambil
Tuhan selain Allah, Ia mencintai diri, keluarga dan kepemilikan duniawiyahnya
melebihi cintanya kepada Allah. Allah swt berfirman “Diantara manusia ada orang orang yang menyembah tandingan tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sama seperti mereka mencintai Allah.
Sementara orang orang beriman sangat mencintai Allah (Qs. Al baqoroh : 165).
Memang memahami idiom syair, harus
melalui pendekatan sastra dan bukan dengan bahasa formal keseharian, sebab jika
itu yang dipakai maka tidak akan klop dengan yang sejatinya dimaksudkan.
Rabindranat pemenang hadiah Nobel kesusastraan, dalam syairnya mengatakan ”tak
henti hentinya Kau isi cawan ini dengan anggurMu” apakah bisa diartikan bahwa Tuhan memeras
anggur atau Dia membutuhkan minuman ? jelas tidak demikian, yang dimaksudkan
adalah Tuhan tidak henti hentinya memberi karunia dan nikmat kepada dirinya.
Atau ketika seseorang berkata “ wajahmu
bagai bulan purnana yang menari riang.
Apakah itu berarti bahwa bulan bisa menari ? tentu tidak. Jadi dapat dimengerti betapa pendekatan
verbal akan sangat jauh kesalahannya jika digunakan untuk memahami idiom idiom
syair yang nyastra.
Dengan demikian maka statemen al Hallaj, al Bustomi,
Junaid Baghdadi, Ibn Araby, termasuk syekh siti jenar yang ganjil itu
sesunguhnya tidak ganjil seandainya dilihat dari perspektif dan bahasa mereka,
atau seandainya kita bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita, sebab
memang tidak ada satupun bahasa yang representatif mampu menggambarkan keadaan
yang sebenarnya dari pengalaman spiritual personal seseorang, karena itulah kaum
sufi selalu mengatakan “ barang siapa
yang belum pernah merasakannya, niscaya dia belum mengetahuinya”.
Abu Nasr Tusi ketika menanggapi shatahat pada kaum sufi mengatakan
bahwa Ibarat air hujan yang sangat deras
dan banyak mengalir keselokan yang
sempit., maka pasti dalam kondisi yang semacam itu air akan melimpah ruah dari
kedua tepi selokan itu, demikian juga seorang sufi yang sangat dominan
intuisinya, ia sangat sulit menanggung
gejolak kalbunya yang memaksanya mengucapkan kata kata yang sulit dimegerti
orang lain, kecuali bagi mereka yang pernah merasakannya. Ibarat seorang suami
yang baru bulan madu bercerita tentang kenikmatan malam pertama kepada seorang
bujang yang sama sekali belum pernah
kawin, maka si bujang baru bisa mengerti secara haq jika ia pernah merasakan malam pertama dalam
perkawinan.
Karena itu, sangat tidak logis dan cenderung tergesa jika kaum sufi --hanya karena perkataan
perkataan ganjilnya-- lalu diklaim sesat dan kafir. Juga sangat tidak masuk
akal bila dikatakan kaum sufi mengaku dirinya sebagai Tuhan, sebab logika
mengatakan apabila kaum sufi yang sepanjang hidupnya mencari Tuhan itu, mengaku
dirinya sebagai Tuhan, maka hakekatnya mereka tidak perlu mencari Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar