Minggu, 18 November 2012

PENGEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM BERBASIS MULTIKULTURAL



*
Pengembangan pendidikan Islam, dalam arti i’adah,  ibanah dan ihya dengan maksud reaktualisasi, revitalisasi, refungsionalisasi dan reevektifity sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak. Berbagai model pengembangannyapun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar tersebut hingga kini belum sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan. Pada ranah empiris, implementasi pendidikan Islam baik di sekolah maupun di perguruan tinggi belum banyak memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik, padahal salah satu tujuan utama pendidikan Islam adalah terjadinya perubahan baik pola fikir (Way of thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan hidup (way of life) pada peserta didik.
Tingginya angka dekadensi moral dan prilaku tercela seperti free seks, miras, narkoba, kekerasan, tawuran, eksklusifisme, kurangnya toleransi dan penghargaan terhadap orang lain dalam segala bentuknya yang melibatkan siswa dan mahasiswa merupakan indikator nyata dari belum efektifnya fungsi pendidikan Islam yang selama ini dijalankan. Maka tak heran jika pada akhirnya banyak orang mempertanyakan sejauhmana efektifitas pendidikan Islam bagi peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku peserta didik baik secara individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar mengingat secara teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang paling berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan prilaku seseorang dalam hidup kesehariannya.
Diantara model pengembangan pendidikan Islam yang telah dirintis oleh sejumlah pakar adalah model pengembangan berbasis multikultural, yakni sebuah model pengembangan yang fokus pada pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan paedagogis terhadap semua orang (equal for all) yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan Islam berbasis multikultural adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang relevan agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model ini dianggap relevan dengan ajaran Islam dan entitas keberadaan masyarakat Indonesia yang multikultur.  Sebagai risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity) sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity).  Bahkan jauh sebelum adanya istilah multikultural ini, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah, Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M.
Disisi lain, Indonesia merupakan salah satu negara dengan potensi multikultural terbesar di dunia, menyadari hal itu, guna merekatkan keragaman yang ada, sekaligus menghindari  deviding factor dari berbagai keragaman tersebut, para pendiri bangsa perlu mengadaptasi dan menetapkan konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa yang terdapat dalam buku Sotasoma karya Empu Tantular sebagai paradigma dan cara berprilaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari konteks ini maka pendidikan Islam diharapkan dapat menjadi  salah satu pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting factor), sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki.
**
Multikulturalisme sejatinya bukan wacana baru, ia telah muncul pasca perang dunia II dan semakin mendapat respon dari masyarakat terutama di negara-negara yang menganut konsep demokratis termasuk Indonesia tatkala terjadi berbagai bentuk ketidak adilan dan diskriminasi atas sejumlah masyarakat baik secara individual maupun institusional, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, pendidikan bahkan agama. Di barat, gerakan multikultural awalnya dipelopori oleh John Stuart (asal Prancis), dan dilanjutkan oleh Charles Taylor (asal Kanada) tatkala lembaga pendidikan mendapat sorotan tajam karena telah gagal menghargai identitas budaya dari warga negaranya. Sistem dan lembaga pendidikan kemudian dituntut untuk melakukan rekonstruksi konsep yang sebelumnya sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan berbasis partisipatoris, dari sinilah pendidikan multikultural mulai berkembang pesat.
Di tanah air, perkembangan pendidikan multikultural tidak dapat  dilepaskan dari peran penting  Ki Hajar Dewantoro, dalam salah satu tulisannya, beliau menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang kelas satu atau kelas dua, semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam pendidikan. Mereka memiliki kebebasan untuk berekspresi serta bebas dalam menetukan dalam pendidikan. Karena itu dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan multikultural  adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama  dan budaya yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terciptanya tatanan masyarakat demokratis, pluralis, humanis dan inklusif.
Masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah lemahnya rasa kebangsaan, persatuan dan kebersamaan di sementara kalangan, kasus-kasus masa lalu dan masa kini yang berkisar pada konflik etnis, agama, kewilayahan dan politik vertikal horizontal merupakan contoh nyata gejala yang memprihatinkan  ini, karena itu diperlukan upaya sistematik untuk membangun kesadaran pluralistik dan multikulturalistik pada seluruh lapisan masyarakat. Sangat mendesak “membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural, sebab kesadaran akan pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme diharapkan dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Kesadaran diatas pada gilirannya akan menghantarkan  masyarakat pada tahap kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima keanekaragaman sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the other) pada gilirannya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap, etos dan  pandangan dunia yang egaliter guna membentuk horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain, juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan keselamatan dan kebahagiaan sejati.
***
Terdapat ragam redaksi tentang definisi pendidikan multikultural, tetapi intinya bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang melatih dan membangun karakter peserta didik agar memiliki sikap demokratis, humanis, dan pluralis serta berpandangan positif dan apresiatif menyikapi perbedaan-perbedaan kultur menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial di masyarakat sehingga terjadi pengurangan atau penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan  prejudis demi membangun kehidupan masyarakat yang adil dan tenteram.
Pendidikan multikultural sejatinya merupakan wacana lintas batas, sebab ia  terkait erat dengan masalah-masalah keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Minimal terdapat tiga nilai yang menjadi dasar pendidikan multikultural yakni :  Apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, Pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia,  dan  Pengembangan masyarakat dunia yang adil dan egaliter. Tujuan utamanya  adalah untuk memahami perbedaan yang ada pada sesama manusia, serta bagaimana perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah (sunnatullah), dan tidak menimbulkan tindak diskriminasi yang termanifestasi pada pola sikap iri, buruk sangka dengki dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat diterapkan melalui : orientasi muatan kurikulum dan orientasi  reformasi unit pendidikan. Pada orientasi  muatan kurikulum, dapat dimasukkan materi-materi tentang : (1) keragaman (agama, etnik dan kultur masyarakat), (2) harmoni kehidupan bersama, (3) toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, (4) kerjasama, saling menghargai dan memahami. sebagai bahan ajar yang dapat mencairkan kebekuan pemikiran (state of mind) peserta didik dalam merespons keanekaragaman. Sedangkan pada orientasi  reformasi unit pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Diantara prinsip pendidikan Islam berbasis multikultural, adalah prinsip humanitas, unitas dan kontekstualitas yang meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan kultur serta agama yang ada, penanaman semangat relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi terciptanya perdamaian dan kedamaian. 

Kesimpulan
1. Bahwa pendidikan Islam berbasis multikultural dapat dijadikan embrio bagi berkembangnya demokratisasi pendidikan di Indonesia yang menghargai keragaman budaya, agama, suku, dan ras yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis dan inklusif, sebab elan vital yang menjadi dasar pendidikan multikultural adalah apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat dan pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia.
2. Bahwa pendidikan Islam berbasis multikultural berperan penting dalam mewujudkan harmonisasi masyarakat pluralis  sebab hakekat pendidikan multikultral dapat membangun sikap, etos dan  pandangan dunia peserta didik yang egaliter dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling menghargai keberadaan yang lain dan  hidup berdampingan secara damai.
3.    Bahwa dengan pendidikan Islam berbasis multikultural, akan terwujud equal for all, dimana semua orang memperoleh pemerataan kesempatan memasuki sekolah, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah, pemerataan kesempatan memperoleh keberhasilan dalam belajar dan pemerataan kesempatan menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan sesungguhnya tidak sekedar apakah peserta didik telah memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah, tetapi yang lebih mendasar dari itu mereka harus  memperoleh perlakukan yang sama sejak masuk, belajar, lulus dan memperoleh  manfaat dari pendidikan yang mereka ikuti dalam kehidupannya. 

Tidak ada komentar: