*
Pengembangan
pendidikan Islam, dalam arti i’adah, ibanah dan ihya dengan maksud reaktualisasi,
revitalisasi, refungsionalisasi dan reevektifity sesungguhnya telah lama dirintis dan diupayakan oleh banyak pihak.
Berbagai model pengembangannyapun telah banyak digagas, namun berbagai ikhtiyar tersebut hingga
kini belum
sepenuhnya mencapai tujuan sebagaimana diharapkan. Pada ranah empiris, implementasi
pendidikan Islam baik di sekolah maupun di perguruan tinggi belum banyak
memberikan implikasi signifikan terhadap perubahan prilaku peserta didik,
padahal salah satu tujuan utama
pendidikan Islam adalah terjadinya perubahan baik pola fikir (Way of
thinking), perasaan dan kepekaan (way of felling), maupun pandangan
hidup (way of life) pada peserta didik.
Tingginya angka dekadensi moral dan prilaku tercela seperti free seks,
miras, narkoba, kekerasan, tawuran, eksklusifisme, kurangnya toleransi dan
penghargaan terhadap orang lain dalam segala bentuknya yang melibatkan siswa dan
mahasiswa merupakan indikator nyata dari belum efektifnya fungsi pendidikan
Islam yang selama ini dijalankan. Maka tak heran jika pada akhirnya banyak orang mempertanyakan sejauhmana
efektifitas pendidikan Islam bagi peningkatan kesadaran dan perubahan prilaku peserta
didik baik secara individual maupun sosial kultural. Pertanyaan ini wajar
mengingat secara teoritis, pendidikan diyakini sebagai sistem rekayasa sosial yang
paling berpengaruh mewarnai, mengontrol dan membentuk pola fikir dan
prilaku seseorang
dalam hidup kesehariannya.
Diantara model
pengembangan pendidikan Islam yang telah dirintis oleh sejumlah pakar adalah
model pengembangan berbasis multikultural, yakni sebuah model pengembangan yang
fokus pada
pentingnya penghormatan terhadap keragaman dan pengakuan kesederajatan
paedagogis terhadap semua orang (equal for all) yang memiliki hak yang sama untuk memperoleh layanan pendidikan, serta penghapusan berbagai bentuk diskriminasi demi membangun kehidupan masyarakat yang adil sehingga
terwujud suasana toleran, demokratis, humanis, inklusif, tentram dan sinergis tanpa melihat
latar belakang kehidupannya, apapun etnik, status sosial, agama dan jenis kelaminnya. Pendidikan Islam berbasis multikultural
adalah proses penanaman sejumlah nilai islami yang
relevan agar peserta didik dapat hidup berdampingan secara damai dan harmonis
dalam realitas kemajemukan dan berperilaku positif, sehingga dapat mengelola kemajemukan menjadi
kekuatan untuk mencapai kemajuan, tanpa mengaburkan dan menghapuskan
nilai-nilai agama, identitas diri dan budaya
Model ini dianggap relevan dengan ajaran Islam dan entitas keberadaan
masyarakat Indonesia yang multikultur. Sebagai
risalah profetik, Islam pada intinya adalah seruan pada semua umat manusia menuju
satu cita-cita bersama kesatuan kemanusiaan (unity of mankind) tanpa
membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan, dan agama, hal ini secara
tegas disinyalir al-Qur’an: ”Katakanlah: Wahai semua penganut agama (dan
kebudayaan)! Bergegaslah menuju dialog dan perjumpaan multikultural (kalimatun
sawa’) antara kami dan kamu… Dengan demikian, kalimatun sawa’ bukan
hanya mengakui pluralitas kehidupan. Ia adalah manifesto dan gerakan yang
mendorong kemajemukan (plurality) dan keragaman (diversity)
sebagai prinsip inti kehidupan dan mengukuhkan pandangan bahwa semua kelompok
multikultural diperlakukan setara (equality) dan sama martabatnya (dignity). Bahkan jauh sebelum adanya istilah
multikultural ini, secara konseptual dan realitas sejarah, Islam adalah
agama yang terbukti berhasil mewujudkan masyarakat multikultur di Madinah,
Baghdad, Palestina, Andalusia dan sebagainya. Di Madinah, Nabi Muhammad saw
memelopori satu negara dengan konstitusi tertulis pertama di dunia. Di Palestina, Khalifah Umar bin
Khathab adalah pemimpin pertama di dunia yang memberikan kebebasan beragama
dalam perspektif Islam di Kota Jerusalem, tahun 636 M.
Disisi lain, Indonesia
merupakan salah satu negara dengan potensi multikultural terbesar di dunia, menyadari hal itu, guna merekatkan keragaman yang ada, sekaligus
menghindari deviding factor dari
berbagai keragaman tersebut, para pendiri bangsa perlu mengadaptasi dan
menetapkan konsep Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangruwa yang terdapat
dalam buku Sotasoma karya Empu Tantular sebagai paradigma dan cara berprilaku
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari konteks ini maka pendidikan Islam
diharapkan dapat menjadi salah satu
pilar penyangga bagi kerukunan umat yang beraneka ragam (uniting factor),
sehingga tidak saja berfungsi sebagai fondasi integritas nasional yang kokoh
tetapi juga menjadi fondasi pengayom keberagaman yang hakiki.
**
Multikulturalisme sejatinya bukan wacana baru, ia telah
muncul pasca perang dunia II dan semakin mendapat
respon dari masyarakat terutama di
negara-negara yang menganut konsep demokratis termasuk Indonesia tatkala
terjadi berbagai bentuk ketidak adilan dan diskriminasi
atas sejumlah masyarakat baik secara
individual maupun institusional, baik dalam bidang ekonomi, sosial, budaya,
pendidikan bahkan agama. Di barat, gerakan multikultural awalnya dipelopori
oleh John Stuart (asal Prancis), dan dilanjutkan oleh Charles Taylor (asal
Kanada) tatkala lembaga pendidikan mendapat sorotan tajam karena telah gagal
menghargai identitas budaya dari warga negaranya. Sistem dan lembaga pendidikan
kemudian dituntut untuk melakukan rekonstruksi konsep yang sebelumnya
sentralistik birokratik berbasis kekuasaan kearah demokratik transparan
berbasis partisipatoris, dari sinilah pendidikan multikultural mulai berkembang
pesat.
Di tanah air, perkembangan
pendidikan multikultural tidak dapat
dilepaskan dari peran penting Ki
Hajar Dewantoro, dalam salah
satu tulisannya, beliau menyebutkan bahwa tidak ada warga negara yang kelas
satu atau kelas dua, semuanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
pendidikan. Mereka memiliki kebebasan untuk berekspresi serta bebas dalam
menetukan dalam pendidikan. Karena itu dinyatakan dengan tegas bahwa pendidikan multikultural
adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh latar
belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama dan budaya yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang tinggi terhadap segala
perbedaan demi terciptanya tatanan masyarakat demokratis, pluralis, humanis dan
inklusif.
Masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah
lemahnya rasa kebangsaan, persatuan dan kebersamaan di sementara kalangan,
kasus-kasus masa lalu dan masa kini yang berkisar pada konflik etnis, agama,
kewilayahan dan politik vertikal horizontal merupakan contoh nyata gejala yang
memprihatinkan ini, karena itu
diperlukan upaya sistematik untuk membangun kesadaran pluralistik dan
multikulturalistik pada seluruh lapisan masyarakat. Sangat mendesak “membumikan” pendidikan Islam berwawasan multikultural,
sebab kesadaran akan pentingnya kemajemukan dan multikulturalisme diharapkan
dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa yang sekian lama tercabik-cabik.
Kesadaran diatas pada
gilirannya akan menghantarkan masyarakat
pada tahap kedewasaan sikap yang dengan lapang dada menerima keanekaragaman
sebagai sunnatullah. Keterbukaan kepada yang lain (an openees towards the
other) pada gilirannya selain memberi arahan untuk membangun suatu sikap,
etos dan pandangan dunia yang egaliter
guna membentuk horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling
menghargai keberadaan yang lain, juga akan menjadi tumpuan manusia akan harapan
keselamatan dan kebahagiaan sejati.
***
Terdapat ragam redaksi tentang definisi pendidikan
multikultural, tetapi intinya bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan
yang melatih dan membangun karakter peserta didik agar
memiliki sikap demokratis, humanis, dan pluralis serta berpandangan positif dan
apresiatif menyikapi perbedaan-perbedaan
kultur menyangkut etnis, agama, bahasa, gender, ras, kelas sosial, usia, dan
sebagainya menjadi sesuatu yang lebih potensial di masyarakat sehingga terjadi pengurangan
atau penghapusan berbagai bentuk diskriminasi dan prejudis demi membangun kehidupan masyarakat
yang adil dan tenteram.
Pendidikan multikultural sejatinya merupakan wacana
lintas batas, sebab ia terkait erat dengan masalah-masalah
keadilan sosial, demokrasi dan hak asasi manusia. Minimal
terdapat tiga nilai yang menjadi
dasar pendidikan multikultural yakni : Apresiasi terhadap adanya
realitas pluralitas budaya dalam masyarakat, Pengakuan terhadap kesetaraan
harkat dan hak asasi manusia, dan Pengembangan masyarakat dunia yang adil dan egaliter. Tujuan
utamanya adalah untuk memahami perbedaan yang ada pada
sesama manusia, serta bagaimana perbedaan itu diterima sebagai hal yang alamiah
(sunnatullah), dan tidak menimbulkan tindak diskriminasi yang
termanifestasi pada pola sikap iri, buruk sangka dengki dan sebagainya.
Pengembangan pendidikan Islam berwawasan multikultural dapat
diterapkan melalui : orientasi muatan kurikulum dan orientasi reformasi unit pendidikan. Pada orientasi muatan kurikulum, dapat dimasukkan
materi-materi tentang : (1) keragaman (agama, etnik dan kultur masyarakat), (2)
harmoni kehidupan bersama, (3) toleransi, ko-eksistensi, pro-eksistensi, (4) kerjasama,
saling menghargai dan memahami. sebagai bahan ajar yang dapat mencairkan
kebekuan pemikiran (state of mind) peserta didik dalam merespons keanekaragaman.
Sedangkan pada orientasi reformasi unit
pendidikan, setiap unit pendidikan dapat menerapkan peraturan lembaga yang di
dalamnya mencakup poin tentang larangan segala bentuk diskriminasi sehingga
semua anggota di unit pendidikan dapat selalu belajar untuk saling menghargai
orang lain yang berbeda. Itu semua harus dicontohkan melalui prilaku kongkrit
oleh seluruh komunitas yang terdapat di lembaga tersebut.
Diantara prinsip pendidikan
Islam berbasis multikultural, adalah prinsip humanitas, unitas dan kontekstualitas yang meliputi : penanaman kesadaran akan pentingnya hidup bersama
dalam keragaman dan perbedaan kultur serta agama yang ada, penanaman semangat
relasi antar manusia dengan spirit kesetaraan dan kesederajatan, saling
percaya, saling memahami, menghargai perbedaan dan keunikan agama-agama, serta
menerima perbedaan-perbedaan dengan pikiran terbuka demi terciptanya perdamaian
dan kedamaian.
Kesimpulan
1. Bahwa
pendidikan Islam berbasis multikultural dapat dijadikan embrio bagi
berkembangnya demokratisasi pendidikan di Indonesia yang menghargai keragaman budaya,
agama, suku, dan ras yang dikemas melalui kesadaran dan penghormatan yang
tinggi terhadap segala perbedaan demi terwujudnya tatanan masyarakat humanis
dan inklusif, sebab elan vital yang menjadi dasar pendidikan multikultural
adalah apresiasi terhadap adanya realitas pluralitas budaya dalam masyarakat
dan pengakuan terhadap kesetaraan harkat dan hak asasi manusia.
2. Bahwa pendidikan Islam berbasis multikultural berperan penting dalam mewujudkan
harmonisasi masyarakat pluralis sebab
hakekat pendidikan multikultral dapat membangun sikap, etos dan pandangan dunia peserta didik yang egaliter
dalam mewujudkan horizon kehidupan yang dilandaskan atas prinsip saling
menghargai keberadaan yang lain dan
hidup berdampingan secara damai.
3. Bahwa dengan pendidikan Islam berbasis multikultural,
akan terwujud equal for all, dimana semua orang memperoleh pemerataan
kesempatan memasuki sekolah, pemerataan kesempatan untuk bertahan di sekolah,
pemerataan kesempatan memperoleh keberhasilan dalam belajar dan pemerataan
kesempatan menikmati manfaat pendidikan dalam kehidupan masyarakat. Pemerataan
kesempatan memperoleh pendidikan sesungguhnya tidak sekedar apakah peserta
didik telah memiliki kesempatan yang sama untuk masuk sekolah, tetapi yang
lebih mendasar dari itu mereka harus
memperoleh perlakukan yang sama sejak masuk, belajar, lulus dan
memperoleh manfaat dari pendidikan yang
mereka ikuti dalam kehidupannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar