Senin, 24 September 2012

BUDAYA KEKERASAN




Ust. Hefni Zain

Janganlah kalian saling membenci, saling dengki dan saling menyindir, jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara, haram seorang muslim bertikai dengan
saudaranya lebih dari tiga hari lamanya (HR Bukhori Muslim)


Muqoddimah
Akhir-akhir ini masyarakat kita seakan telah kehilangan instrumen kemanusiaannya yang paling utama, yakni cinta dan kasih sayang. Nyaris setiap hari kita mendapat suguhan mengenai kekerasan dan pertikaian dalam berbagai bentuk, jenis dan levelnya, mulai kerusuhan dan bentrok antar warga desa, antar siswa, mahasiswa, seporter  sepak bola, penonton musik, hingga penganut faham keagamaan. Belum lagi ricuh antara pendemo dengan polisi juga kisruh di kalangan elit politik yang tak terhitung jumlahnya. Kini perselisihan, pertengkaran dan permusuhan seakan telah menjadi budaya yang mewarnai kehidupan kita. Lihat dan perhatikanlah, bagaimana budaya kekerasan telah merusak akar kehidupan moral masyarakat kita, bahkan sampai tingkat yang tak terbayangkan. Nyawa manusia kadang hanya dihargai tak lebih dari sebungkus rokok. Sementara keluarga korban meratap kehilangan anggota keluarga tanpa jelas dosa yang diperbuatnya, para pelaku dengan santai dan nyaman masih menikmati kebebasan dan kesenangan.
Dalam sebuah riwayat Nabi saw pernah berdoa ”Ya Allah hidupkan aku, jika kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikan aku jika kematian itu lebih baik bagiku, Aku bermohon kepadaMu untuk diberi rasa takut kepadaMu dalam keadaan sembunyi dan terang-terangan, dan jadikan aku orang yang istiqomah baik dissat miskin ataupun kaya ( HR.Al-Hakim). Cuplikan hadits diatas menegaskan bahwa yang dimohonkan Nabi saw adalah kehidupan yang baik, dan bukan kehidupan yang jelek. Dengan kata lain, apalah artinya hidup, kalau hanya diisi dengan perbuatan yang tidak baik, bukankah hidup di dunia ini sangat singkat, kenapa waktu yang singkat ini hanya diisi dengan percekcokan, persaingan, perburuan, saling tuntut, saling menjatuhkan dan saling menyakiti ?, Kenapa hidup yang singkat ini tidak kita isi dengan saling menentramkan, saling menolong, saling menyayangi dan mengasihi. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah, yang pandai membantu yang bodoh, yang berkuasa membantu yang tak berdaya, sehingga hidup ini  menjadi damai, aman dan penuh marhamah.

The care of the problem
Kenapa hidup ini tidak pernah sepi dari kekerasan dan  permusuhan ?  Padahal semua telah memahami bahwa permusuhan adalah indikator paling nyata dari bentuk kekerdilan. Permusuhan tidak saja berefek pada yang bertikai tetapi juga mempengaruhi mental orang-orang yang mengikuti perkembangannya, mereka cenderung ikut sinis, mudah geram bahkan tidak sedikit yang turut membenci pihak-pihak yang bertikai. Sungguh ironis, fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian kita mengisi hidup dengan  iri dan dengki atau dengan hati yang tidak beres, kita senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang.
Memang kita telah mendengar slogan-slogan anti kekerasan yang terus didengungkan dan disosialisasikan melalui media-media massa. Tetapi jauh panggang dari api, kenyatanan dengan pernyataan sangat kontradiktif.  Bagaimana tidak. Lihat media-media kita baik cetak maupun elektronik. Mereka adalah ujung tombak pemasaran budaya kekerasan. Dari anak-anak sampai tua renta setiap hari tiada henti selalu diberi suguhan kekerasan, dan yang paling jauh dan luas jangkauannya adalah media televisi. Banyak tayangan yang tidak mendidik. Dari kartun hingga sinetron dan film yang dimainkan manusia. Semua menampilkan bagaimana menegakkan kebenaran dengan kekerasan. Lihatlah Digimon, Pokemon, Dragon Ball, film-film action, Ultimate Fighting Championship, Smackdown, dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan disini.
Tidakkah disadari dampak psikologis yang mempengaruh kita orang per orang, kelompok, masyarakat, dan bangsa ini dengan segala resiko yang akan kita tanggung dari buruknya efek yang kita saksikan? Entah dibawa kemana nanti anak-anak sekarang yang akan menjadi pemimpin masa depan. Haruskah kita menunggu sampai korban semakin banyak? Ataukah setiap orang harus merasakan akibat dan menjadi korban dulu baru mau menyadarinya? Tidak cukupkah kita membaca dan mendengar banyaknya korban pembunuhan, kekerasan, pemerkosaan, dan lain sebagainya, yang tentu saja sudah sangat menyesakkan dada? Slogan-slogan kosong dengan bahasa-bahasa yang sangat klise sudah tidak saatnya kita pakai. Solusinya bukan dengan mengerahkan aparat keamanan sebanyak dan sesering mungkin. Mereka hanya manusia yang terbatas kemampuannya. Bukan juga dengan memenjarakan mereka semua, karena penjara tidak cukup untuk menampung seluruh pelaku kejahatan. Lagi pula, kerap terbukti bahwa penjara justru menjadi sekolah kejahatan nomor satu yang meningkatkan tingkat profesionalitas kejahatan yang bersangkutan.
Penanganan terhadap tindak kekerasan, tentu tidak sekedar menyangkut persoalan penegakan law enforcement, tetapi juga tergantung pada keberhasilan membangun kemampuan dan ketahanan masyarakat untuk mencegah kecenderungan nigatif yang muncul dari dalam dirinya dan dapat merugikan pihak pihak lain. Lebih-lebih ketika ditengarai bahwa berbagai kasus kekerasan salah satunya disebabkan oleh lemahnya ketahanan mental, iman dan akhlaq masyarakat. Ini mendesak untuk segera dituntaskan, sebab penanganan yang lamban terhadap tindak kekerasan, selain akan mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi kepada penegak hukum sehingga mendorong masyarakat main hakim sendiri, juga membuka peluang bagi munculnya budaya hukum rimba, dimana hukum akan ditentukan oleh siapa yang paling kuat.


Dibutuhkan Brotherhood
Ukuwah dapat diartikan sebagai persaudaraan (brotherhood) atau kebersamaan (togetherness).  Persaudaraan dalam arti pertalian kesamaan yang diikat oleh iman dan cita-cita, juga persaudaraan yang dikat oleh turunan (sekandung). Maka ukuwah adalah ikatan persaudaraan yang sangat kuat bagaikan saudara kandung yang didalamnya terkandung  persamaan mahabbah,  sebagaimana  sabda Nabi saw : Tidak beriman kamu sekalian, kecuali engkau mencintai sesama saudaranya sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri.
Pertikaian, permusuhan dan kekerasan dalam masyarakat akan teratasi bila “cinta” yang dijadikan landasan dalam pola relasi kehidupan bermasyarakat, sebab cinta merupakan ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah diantara sesama kaum beriman, dengan cinta hati kita tersambung secara erat sehingga tak mungkin terpisahkan. Al-Qur’an menegaskan “Allah telah mempersatukan hati orang-orang yang beriman, walaupun kalian membelanjakan semua kekayaan yang berada dibumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka “ (QS. 8 : 63).  Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda “Kalian tidak akan masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman sebelum kalian saling mencintai, Maukah aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika kalian mau melakukannya, maka kalian akan saling mencintai ? yaitu sebarkan salam ditengah tengah kalian (Hr. Muslim).  Dalam hadits qudsi Allah swt berfirman : Sayangilah mereka yang di bumi, niscaya kalian akan disayangi oleh yang dilangit. Barang siapa tidak menyayangi manusia maka dia tidak akan disayangi Allah (Hr. Bukhori)
Sekali lagi “cintalah” yang semestinya menjadi landasan bagi relasi manusia dengan sesama, sebab cinta adalah akar dari segala kebaikan hidup manusia, tanpa cinta manusia akan saling mendengki satu sama lainnya, hubungan manusia yang kering cinta hanya akan menyebabkan pola relasi yang garang.  Cinta berkuasa mencabut sifat dendam dan dengki dan menggantinya dengan kedamaian dan persaudaraan. Andai semua pihak menyadari pentingnya cinta sebagai dasar relasi kemanusiaan, niscaya kekerasan dan pertikaian tidak perlu terjadi. Dengan cinta manusia akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih pada kekerasan kekayaan.

Khotimah
Guna menghindari timbulnya disharmonisasi dalam hubungan antara sesama manusia, Islam jauh sebelumnya telah memberikan beberapa tips diantaranya adalah : (1) Menegakkan budaya tabayun (klarifikasi), (2) Mengembangkan budaya ishlah (mencari jalan damai), (3) Menghindarkan diri dari taskhirriyah (meremehkan atau memperolo-olak orang lain). (4)  Jangan suka menghina orang lain, (5) Menjauhkan diri dari sikap su-udhon atau berburuk sangka. (6) jangan suka mencari kesalahan orang lain; carilah keslahan diri sendiri. Dan (7) jangan suka menggunjing orang lain atau ghibah.
Ya Allah.. persatukan kami dalam rahmatmu, buanglah tirai pemisah diantara kami,  lahirkanlah ditengah kami insan kamil yang ikhlas tanpa topeng dan ritus kebesaran, figur yang dapat mengislahkan semua perseteruan diantara kami. Amin.

Tidak ada komentar: