Ust. Hefni Zain
Janganlah kalian
saling membenci, saling dengki dan saling menyindir, jadilah kalian hamba-hamba
Allah yang bersaudara, haram seorang muslim bertikai dengan
saudaranya lebih
dari tiga hari lamanya (HR Bukhori Muslim)
Muqoddimah
Akhir-akhir ini
masyarakat kita seakan telah kehilangan instrumen kemanusiaannya yang paling
utama, yakni cinta dan kasih sayang. Nyaris setiap hari kita mendapat suguhan
mengenai kekerasan dan pertikaian dalam berbagai bentuk, jenis dan levelnya,
mulai kerusuhan dan bentrok antar warga desa, antar siswa, mahasiswa,
seporter sepak bola, penonton musik,
hingga penganut faham keagamaan. Belum lagi ricuh antara pendemo dengan polisi
juga kisruh di kalangan elit politik yang tak terhitung jumlahnya. Kini
perselisihan, pertengkaran dan permusuhan seakan telah menjadi budaya yang
mewarnai kehidupan kita. Lihat dan perhatikanlah, bagaimana budaya kekerasan
telah merusak akar kehidupan moral masyarakat kita, bahkan sampai tingkat yang
tak terbayangkan. Nyawa manusia kadang hanya dihargai tak lebih dari sebungkus
rokok. Sementara keluarga korban meratap kehilangan anggota keluarga tanpa
jelas dosa yang diperbuatnya, para pelaku dengan santai dan nyaman masih
menikmati kebebasan dan kesenangan.
Dalam sebuah riwayat Nabi saw pernah berdoa ”Ya
Allah hidupkan aku, jika kehidupan itu lebih baik bagiku dan matikan aku jika
kematian itu lebih baik bagiku, Aku bermohon kepadaMu untuk diberi rasa takut
kepadaMu dalam keadaan sembunyi dan terang-terangan, dan jadikan aku orang yang
istiqomah baik dissat miskin ataupun kaya ( HR.Al-Hakim). Cuplikan hadits diatas menegaskan bahwa yang dimohonkan
Nabi saw adalah kehidupan yang baik, dan bukan kehidupan yang jelek. Dengan
kata lain, apalah artinya hidup, kalau hanya diisi dengan perbuatan yang tidak
baik, bukankah hidup di dunia ini sangat singkat, kenapa waktu yang singkat ini
hanya diisi dengan percekcokan, persaingan, perburuan, saling tuntut, saling
menjatuhkan dan saling menyakiti ?, Kenapa hidup yang singkat ini tidak kita
isi dengan saling menentramkan, saling menolong, saling menyayangi dan
mengasihi. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang lemah, yang
pandai membantu yang bodoh, yang berkuasa membantu yang tak berdaya, sehingga
hidup ini menjadi damai, aman dan penuh
marhamah.
The care of the problem
Kenapa hidup ini tidak pernah sepi dari kekerasan
dan permusuhan ? Padahal semua telah memahami bahwa permusuhan
adalah indikator paling nyata dari bentuk kekerdilan. Permusuhan tidak saja
berefek pada yang bertikai tetapi juga mempengaruhi mental orang-orang yang
mengikuti perkembangannya, mereka cenderung ikut sinis, mudah geram bahkan
tidak sedikit yang turut membenci pihak-pihak yang bertikai. Sungguh ironis,
fenomena empiris menunjukkan bahwa sebagian kita mengisi hidup dengan iri dan dengki atau dengan hati yang tidak
beres, kita senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain
senang.
Memang kita telah
mendengar slogan-slogan anti kekerasan yang terus didengungkan dan disosialisasikan
melalui media-media massa. Tetapi jauh panggang dari api, kenyatanan dengan
pernyataan sangat kontradiktif.
Bagaimana tidak. Lihat media-media kita baik cetak maupun elektronik.
Mereka adalah ujung tombak pemasaran budaya kekerasan. Dari anak-anak sampai
tua renta setiap hari tiada henti selalu diberi suguhan kekerasan, dan yang
paling jauh dan luas jangkauannya adalah media televisi. Banyak tayangan yang
tidak mendidik. Dari kartun hingga sinetron dan film yang dimainkan manusia.
Semua menampilkan bagaimana menegakkan kebenaran dengan kekerasan. Lihatlah
Digimon, Pokemon, Dragon Ball, film-film action, Ultimate Fighting
Championship, Smackdown, dan lain-lain yang terlalu banyak untuk disebutkan
disini.
Tidakkah disadari
dampak psikologis yang mempengaruh kita orang per orang, kelompok, masyarakat,
dan bangsa ini dengan segala resiko yang akan kita tanggung dari buruknya efek
yang kita saksikan? Entah dibawa kemana nanti anak-anak sekarang yang akan
menjadi pemimpin masa depan. Haruskah kita menunggu sampai korban semakin
banyak? Ataukah setiap orang harus merasakan akibat dan menjadi korban dulu
baru mau menyadarinya? Tidak cukupkah kita membaca dan mendengar banyaknya
korban pembunuhan, kekerasan, pemerkosaan, dan lain sebagainya, yang tentu saja
sudah sangat menyesakkan dada? Slogan-slogan kosong dengan bahasa-bahasa yang
sangat klise sudah tidak saatnya kita pakai. Solusinya bukan dengan mengerahkan
aparat keamanan sebanyak dan sesering mungkin. Mereka hanya manusia yang
terbatas kemampuannya. Bukan juga dengan memenjarakan mereka semua, karena
penjara tidak cukup untuk menampung seluruh pelaku kejahatan. Lagi pula, kerap terbukti
bahwa penjara justru menjadi sekolah kejahatan nomor satu yang meningkatkan
tingkat profesionalitas kejahatan yang bersangkutan.
Penanganan
terhadap tindak kekerasan, tentu tidak sekedar menyangkut persoalan penegakan law
enforcement, tetapi juga tergantung pada keberhasilan membangun kemampuan
dan ketahanan masyarakat untuk mencegah kecenderungan nigatif yang muncul dari
dalam dirinya dan dapat merugikan pihak pihak lain. Lebih-lebih ketika
ditengarai bahwa berbagai kasus kekerasan salah satunya disebabkan oleh
lemahnya ketahanan mental, iman dan akhlaq masyarakat. Ini mendesak untuk
segera dituntaskan, sebab penanganan yang lamban terhadap tindak kekerasan,
selain akan mengakibatkan masyarakat tidak percaya lagi kepada penegak hukum
sehingga mendorong masyarakat main hakim sendiri, juga membuka peluang bagi
munculnya budaya hukum rimba, dimana hukum akan ditentukan oleh siapa yang
paling kuat.
Dibutuhkan Brotherhood
Ukuwah dapat diartikan sebagai persaudaraan (brotherhood)
atau kebersamaan (togetherness). Persaudaraan dalam arti pertalian kesamaan
yang diikat oleh iman dan cita-cita, juga persaudaraan yang dikat oleh turunan
(sekandung). Maka ukuwah adalah ikatan persaudaraan yang sangat kuat bagaikan
saudara kandung yang didalamnya terkandung
persamaan mahabbah, sebagaimana sabda Nabi saw : Tidak beriman kamu sekalian,
kecuali engkau mencintai sesama saudaranya sebagaimana engkau mencintai dirimu
sendiri.
Pertikaian,
permusuhan dan kekerasan dalam masyarakat akan teratasi bila “cinta” yang dijadikan
landasan dalam pola relasi kehidupan bermasyarakat, sebab cinta merupakan
ikatan iman yang paling kokoh, cinta merupakan jembatan yang dibentangkan Allah
diantara sesama kaum beriman, dengan cinta hati kita tersambung secara erat
sehingga tak mungkin terpisahkan. Al-Qur’an menegaskan “Allah telah
mempersatukan hati orang-orang yang beriman, walaupun kalian membelanjakan
semua kekayaan yang berada dibumi, niscaya kalian tidak dapat mempersatukan
hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka “ (QS. 8 : 63). Dalam sebuah hadits Nabi saw bersabda “Kalian
tidak akan masuk sorga sehingga kalian beriman, dan kalian tidak akan beriman
sebelum kalian saling mencintai, Maukah aku tunjukkan kepada sesuatu yang jika
kalian mau melakukannya, maka kalian akan saling mencintai ? yaitu sebarkan
salam ditengah tengah kalian (Hr. Muslim).
Dalam hadits qudsi Allah swt berfirman : Sayangilah mereka yang di bumi,
niscaya kalian akan disayangi oleh yang dilangit. Barang siapa tidak menyayangi
manusia maka dia tidak akan disayangi Allah (Hr. Bukhori)
Sekali lagi “cintalah”
yang semestinya menjadi landasan bagi relasi manusia dengan sesama, sebab cinta
adalah akar dari segala kebaikan hidup manusia, tanpa cinta manusia akan saling
mendengki satu sama lainnya, hubungan manusia yang kering cinta hanya akan
menyebabkan pola relasi yang garang.
Cinta berkuasa mencabut sifat dendam dan dengki dan menggantinya dengan kedamaian
dan persaudaraan. Andai semua pihak menyadari pentingnya cinta sebagai dasar
relasi kemanusiaan, niscaya kekerasan dan pertikaian tidak perlu terjadi. Dengan
cinta manusia akan sanggup memberikan keharuan imani pada kegersangan
intelektual, timbangan keadilan pada kepongahan kekuasaan, kelembutan kasih
pada kekerasan kekayaan.
Khotimah
Guna
menghindari timbulnya disharmonisasi dalam hubungan antara sesama manusia, Islam
jauh sebelumnya telah memberikan beberapa tips diantaranya adalah : (1)
Menegakkan budaya tabayun (klarifikasi), (2) Mengembangkan
budaya ishlah
(mencari jalan damai), (3) Menghindarkan diri dari taskhirriyah (meremehkan
atau memperolo-olak orang lain). (4) Jangan
suka menghina orang lain, (5) Menjauhkan diri dari sikap su-udhon atau berburuk sangka. (6) jangan
suka mencari kesalahan orang lain; carilah keslahan diri sendiri. Dan (7) jangan
suka menggunjing orang lain atau ghibah.
Ya Allah.. persatukan
kami dalam rahmatmu, buanglah tirai pemisah diantara kami, lahirkanlah ditengah kami insan kamil yang
ikhlas tanpa topeng dan ritus kebesaran, figur yang dapat mengislahkan semua
perseteruan diantara kami. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar