Senin, 24 September 2012

POLITICAL ANIMAL




Ust. Hefni Zain

Tidak akan ada orang yang kaya raya melainkan ada pada saat yang sama hak orang lain yang diambil secara aniaya (Ali bin Abi Tolib Karromalluhu Wajhah).

Pendahuluan.
Ngatemin, adalah contoh sosok jelata yang dikaruniai umur panjang, ia hidup dalam tiga orde, orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Kendati hidupnya sengsara, sosok renta yang tinggal di pelosok kampung ini memiliki wawasan kebangsaan yang cukup luas, Ia dikaruniai sembilan orang anak, tujuh laki-laki dan dua perempuan. Diusianya yang senja, Ngatemin selalu mengingatkan putra-putrinya,  Wahai putra-putriku! Kelak kalian boleh menjadi DPR, menteri, staf ahli, pegawai pajak, hakim, jaksa, polisi, KPK atau apa saja sesuai cita-cita kalian. Tetapi yang paling penting dan jangan sampai kalian lupa, kalian harus menjadi manusia..! Sungguh,  tidak ada gunanya kalian menjadi ini dan itu, atau apa dan siapa bila kalian masih berada dalam derajat binatang.
Tausiah Ngatemin diatas sepertinya relevan, tatkala dalam beberapa tahun terakhir banyak manusia yang kehilangan identitas kemanusiaannya, sebagai gantinya berkembanglah karakter kebinatangan, sikap kasar, egois dan agresif, otot-otot mereka setiap hari siap menerkam siapa saja atau apa saja untuk mengapai ambisinya. Prilaku kebinatangan yang dikhawatirkan Ngatemin sebenarnya merupakan peristiwa yang telah lama wajar dan rutin dalam dunia politik dan kekuasaan kita. Fakta ini yang oleh sebagian pihak disebut Political animal, economical animal dan  cultural animal.
Jauh sebelum kekhawatiran Ngatemin akan menjamurnya manusia berkepribadian binatang, Ibnu Qoyyim Jauziyah, dalam salah satu tulisannya pernah membagi manusia dalam tiga belas kelompok, diantaranya adalah kelompok para binatang (Masyahidul hayawaniyah). Manusia yang berada dalam kelompok ini tak ubahnya seperti  binatang, perbedaannya hanya terletak dalam tiga hal saja, yakni ketika berjalan ia tegak, ketika berbicara ia fasih dan pandai menutupi tubuhnya dengan pelbagai macam pakaian.  Meskipun belakangan ini ada trend baru, banyak monyet yang senang di beri pakaian, sementara banyak manusia yang  mulai tidak senang  dengan pakaian, dan bangga berfoto telanjang.
Seperti halnya binatang, manusia dalam kelompok ini hanya berfikir tentang kesenangan biologis semata. Yang diburu setiap hari adalah bagaimana dapat memuaskan maniak biologisnya dengan segala cara, karenanya korupsi, menimbung harta, aniaya, berzina, memperkosa, merampok dan sejenisnya  adalah prilakunya sehari-hari. Meskipun semua itu dilakukan dengan cara yang canggih dan dibungkus dengan argumentasi yang kelihatan logis.
Kepribadian manusia binatang yang disorot Ibnu Qoyyim, selain kepribadian anjing (nafsul kalbiyah), kepribadian keledai (nafsul himariyyah), kepribadian binatang buas (nafsu sab’iyyah), Juga kepribadian tikus (nafsul fa’riyyah). Manusia yang berkepribadian tikus selain rusak dalam dirinya juga merusak orang lain disekitarnya. Sifatnya buruk dan berusaha membuat lingkungannyapun  menjadi buruk. Ia kotor dan mengotori lingkungan sekitarnya. Orang yang bermental tikus akan mengajak orang lain untuk rusak bersama dirinya. Dan yang paling membahayakan dari mental ini, adalah merusak sesuatu dari dalam sedikit demi sedikit. Mereka berpura-pura wakil rakyat tapi sesungguhnya penghisap hak rakyat, berpura-pura menjadi penegak keadilan tapi sesungguhnya pelanggar keadilan.

Hubungan Politikus dan prilaku tikus
Secara fisik hubungan politikus (aktivis politik) dengan hewan bernama tikus memang sangat jauh. Tikus adalah makhluk menjijikkan, rendah, kotor, penuh intrik dan tidak punya rasa malu untuk meloloskan keinginannya, sedangkan politikus adalah makhluk bermoral, terhormat, dan luhu. Namun secara prilaku kepribadian, diantara mereka acapkali menunjukkan kesamaan prilaku yang sangat susah dibedakan satu dengan lainnya. Memang tikus dan politikus adalah sama-sama makhluk Tuhan, tetapi kalau prilaku mereka tidak berbeda, tentu sebuah bencana  yang memprihatinkan. Sebab hal tersebut akan berdampak pada zero trust nya masyakat pada politikus, dan yang mengerikan, masyarakat menjadi sulit membedakan antara politikus dengan prilaku tikus, penegak hukum dengan pelanggar hukum, agamawan dengan penghasut, aktivis pro-demokrasi dengan penyuap, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.
Islam tidak menolak politikus, tetapi yang digariskan Islam adalah politikus bersih berbasis moral, karena itu kebijakan apapun yang diambil politikus harus berdasarkan moral keummatan. Islam mengibaratkan politikus seperti penggembala umat yang bertanggung jawab atas idiologi Allah di muka bumi, Dan kerusakan moral pada diri politikus atau pemimpin adalah tanda kehancuran suatu bangsa.
Ali bin Abi Tholib merupakan contoh politikus yang mengikuti adigium kejujuran : Don’t say “yes” when you want to say “no”. Ia menganut manzhab politik yang dimulai dari kata “tidak”. A Religion which began with “no”. Bagi sayyidina Ali kometmen terhadap  kejujuran adalah lebih utama dari sekedar memperoleh kekuasaan. Berbeda dengan kebanyakan politikus saat ini yang sering mengikuti adigium Ya tapi berakhir tidak : mereka mengikuti adigium  A Religion which began yes and ended up in “no”.  Mereka acapkali memanfaatkan ajaran agama untuk menegakkan kekuasaan.
Lihatlah tatkala khalifah Ali mengirim surat kepada salah satu gubernurnya bernama Usman bin Hunaif al-Anshori, yang dilaporkan menghadiri pesta seorang penguasaha kaya di Basrah, sang khalifah segera menyampaikan peringatan : Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai kepadaku sebuah kabar, bahwa seorang konglomerat kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian, Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.
Penguasa menghadiri undangan konglomerat, bagi banyak orang adalah wajar,  tetapi tidak bagi khalifah Ali.  Yang menjadi fokus khalifah Ali bukan soal menghadiri undangan orang lain, tetapi soal penguasa yang berdekat-dekat dengan kemewahan. Penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai  kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar bagi terjadinya praktek korupsi. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi korupsi akan semakin besar.
Dalam suratnya yang lain kepada gubernur Basrah, Sayyidina Ali mengatakan, “Pemimpinmu (Ali bin Abi Tolib) hanya memiliki dua pakaian usang dari robekan kain-kain, tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh, tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki, tiada kuambil bagi diriku lebih daripada makanan seekor keledai yang renta.” Kalau saja aku mau, bisa saja aku berpakaian sutra, atau menyimpan gandum, namun naudzubillah, mungkinkah aku lalui malamku dengan perut kenyang, padahal di sekelilingku banyak rakyatku kelaparan ?, takutlah pada Allah putra Khunaif !, dan merasa cukuplah dengan lembaran roti yang kau dapatkan. Kepemimpinan adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, tujuan berpolitik adalah menegakkan idelogi Allah, bukan tempat menimbun harta. Politikus yang tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk terburuk di dunia, dan tidak akan ada orang yang kaya raya melainkan ada pada saat yang sama hak orang lain yang diambil secara aniaya.


Politikus dan martabat negara
Ada empat jenis negara dan bangsa di dunia ini, Pertama, negara makmur namun tidak terhormat. Kedua, negara terhormat namun tidak makmur. Ketiga, negara tidak makmur juga tidak terhormat. Keempat, negara makmur dan terhormat.
Pertama, Negara makmur tapi tidak terhormat adalah negara yang dihuni oleh masyarakat konsumeris, glamour, mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikian gratis, jaminan sosial dan sebagainya. Namun tidak punya kedaulatan. Haluan politiknya tidak mandiri.
Kedua, Negara terhormat tapi tidak makmur adalah negara yang dihuni oleh bangsa yang rela hidup sederhana, rela tidak punya mall, dan kotanya tidak gemerlap dengan gedung-gedung menjulang, mobil-mobilnya tidak banyak berbeda merek. Tapi tidak rela sedetikpun menjadi kaki tangan bangsa lain. Pendirian politiknya kokoh. Pemerintahnya berani mengambil keputusan besar demi kemandirian dalam segala bidang dalam jangka lama. Embargo, sanksi dan ancaman perang tidak menggoyahkannya.
Ketiga, Negara tidak makmur juga tidak terhormat adalah negara yang dipimpin oleh koruptor atau orang-orang yang tidak mampu mengambil sikap tegas demi kehormatan bangsa dan rakyatnya. Politiknya membeo. Konsep ekonominya amburadul. Penegakan hukumnya payah. Sebagian rakyatnya kejangkitan individualisme sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang berujung pada anarkisme dan meningkatnya kriminalitas. Sebagian lain kejangkitan hedonisme, ingin kaya dadakan, menghibur diri dengan gaya hidup artis dan selebirits. Sebagian lain mencari klenik demi mengatasi persoalan hidup. Sebagian lain menjadi korban ketidakadilan dan keserakahan para pengusaha dan perusahaan asing yang diuntungkan oleh perjanjian investasi yang tidak masuk akal.
Keempat, Negara Makmur dan Juga terhormat, adalah negara yang bersih dari koruptor,  sistem ekonominya mandiri, para pemimpinnya rela menunda kemewahan artifisial, individual dan temporal demi kemakmuran jangka panjang yang lebih merata. Mari kita merenung, negara kita termasuk yang mana.....?  Wallohu A’lam bisshowab.

Tidak ada komentar: