Ust. Hefni Zain
Tidak akan ada orang
yang kaya raya melainkan ada pada saat yang sama hak orang lain yang diambil
secara aniaya (Ali bin Abi Tolib Karromalluhu Wajhah).
Pendahuluan.
Ngatemin, adalah
contoh sosok jelata yang dikaruniai umur panjang, ia hidup dalam tiga orde, orde
lama, orde baru, dan orde reformasi. Kendati hidupnya sengsara, sosok renta
yang tinggal di pelosok kampung ini memiliki wawasan kebangsaan yang cukup
luas, Ia dikaruniai sembilan orang anak, tujuh laki-laki dan dua perempuan.
Diusianya yang senja, Ngatemin selalu mengingatkan putra-putrinya, “Wahai putra-putriku! Kelak
kalian boleh menjadi DPR, menteri, staf ahli, pegawai pajak, hakim, jaksa,
polisi, KPK atau apa saja sesuai cita-cita kalian. Tetapi yang paling penting
dan jangan sampai kalian lupa, kalian harus menjadi manusia..! Sungguh, tidak ada gunanya kalian menjadi ini dan itu,
atau apa dan siapa bila kalian masih berada dalam derajat binatang.
Tausiah
Ngatemin diatas sepertinya relevan, tatkala dalam beberapa tahun terakhir
banyak manusia yang kehilangan identitas kemanusiaannya, sebagai gantinya
berkembanglah karakter kebinatangan, sikap kasar, egois dan agresif, otot-otot
mereka setiap hari siap menerkam siapa saja atau apa saja untuk mengapai
ambisinya. Prilaku kebinatangan yang dikhawatirkan Ngatemin sebenarnya
merupakan peristiwa yang telah lama wajar dan rutin dalam dunia politik dan
kekuasaan kita. Fakta ini yang oleh sebagian pihak disebut Political animal,
economical animal dan cultural
animal.
Jauh
sebelum kekhawatiran Ngatemin akan menjamurnya manusia berkepribadian binatang,
Ibnu Qoyyim Jauziyah, dalam salah satu tulisannya pernah membagi manusia dalam
tiga belas kelompok, diantaranya adalah kelompok para binatang (Masyahidul
hayawaniyah). Manusia yang berada dalam kelompok ini tak ubahnya
seperti binatang, perbedaannya hanya
terletak dalam tiga hal saja, yakni ketika berjalan ia tegak, ketika berbicara
ia fasih dan pandai menutupi tubuhnya dengan pelbagai macam pakaian. Meskipun belakangan ini ada trend baru,
banyak monyet yang senang di beri pakaian, sementara banyak manusia yang mulai tidak senang dengan pakaian, dan bangga berfoto telanjang.
Seperti halnya
binatang, manusia dalam kelompok ini hanya berfikir tentang kesenangan biologis
semata. Yang diburu setiap hari adalah bagaimana dapat memuaskan maniak
biologisnya dengan segala cara, karenanya korupsi, menimbung harta, aniaya,
berzina, memperkosa, merampok dan sejenisnya adalah prilakunya sehari-hari. Meskipun semua
itu dilakukan dengan cara yang canggih dan dibungkus dengan argumentasi yang kelihatan
logis.
Kepribadian
manusia binatang yang disorot Ibnu Qoyyim, selain kepribadian anjing (nafsul
kalbiyah), kepribadian keledai (nafsul himariyyah), kepribadian binatang
buas (nafsu sab’iyyah), Juga kepribadian tikus (nafsul fa’riyyah).
Manusia yang berkepribadian tikus selain rusak dalam dirinya juga merusak orang
lain disekitarnya. Sifatnya buruk dan berusaha membuat lingkungannyapun menjadi buruk. Ia kotor dan mengotori
lingkungan sekitarnya. Orang yang bermental tikus akan mengajak orang lain
untuk rusak bersama dirinya. Dan yang paling membahayakan dari mental ini,
adalah merusak sesuatu dari dalam sedikit demi sedikit. Mereka berpura-pura
wakil rakyat tapi sesungguhnya penghisap hak rakyat, berpura-pura menjadi
penegak keadilan tapi sesungguhnya pelanggar keadilan.
Hubungan Politikus dan prilaku tikus
Secara
fisik hubungan politikus (aktivis politik) dengan hewan bernama tikus memang sangat
jauh. Tikus adalah makhluk menjijikkan, rendah, kotor, penuh intrik dan tidak
punya rasa malu untuk meloloskan keinginannya, sedangkan politikus adalah
makhluk bermoral, terhormat, dan luhu. Namun secara prilaku kepribadian,
diantara mereka acapkali menunjukkan kesamaan prilaku yang sangat susah dibedakan
satu dengan lainnya. Memang tikus dan politikus adalah sama-sama makhluk Tuhan,
tetapi kalau prilaku mereka tidak berbeda, tentu sebuah bencana yang memprihatinkan. Sebab hal tersebut akan
berdampak pada zero trust nya masyakat pada politikus, dan yang
mengerikan, masyarakat menjadi sulit membedakan antara politikus dengan prilaku
tikus, penegak hukum dengan pelanggar hukum, agamawan dengan penghasut, aktivis
pro-demokrasi dengan penyuap, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.
Islam tidak
menolak politikus, tetapi yang digariskan Islam adalah politikus bersih
berbasis moral, karena itu kebijakan apapun yang diambil politikus harus berdasarkan
moral keummatan. Islam mengibaratkan politikus seperti penggembala umat yang
bertanggung jawab atas idiologi Allah di muka bumi, Dan kerusakan moral pada
diri politikus atau pemimpin adalah tanda kehancuran suatu bangsa.
Ali bin
Abi Tholib merupakan contoh politikus yang mengikuti adigium kejujuran : Don’t
say “yes” when you want to say “no”. Ia menganut manzhab politik yang
dimulai dari kata “tidak”. A Religion which began with “no”. Bagi sayyidina
Ali kometmen terhadap kejujuran adalah
lebih utama dari sekedar memperoleh kekuasaan. Berbeda dengan kebanyakan
politikus saat ini yang sering mengikuti adigium Ya tapi berakhir tidak :
mereka mengikuti adigium A Religion
which began yes and ended up in “no”. Mereka
acapkali memanfaatkan ajaran agama untuk menegakkan kekuasaan.
Lihatlah
tatkala khalifah Ali mengirim surat kepada salah satu gubernurnya bernama Usman
bin Hunaif al-Anshori, yang dilaporkan menghadiri pesta seorang penguasaha kaya
di Basrah, sang khalifah segera menyampaikan peringatan : Wahai Ibnu Hunaif!
Telah sampai kepadaku sebuah kabar, bahwa seorang konglomerat kota Basrah
mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk
menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang
bergantian, Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti
itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan
orang-orang kayanya diundang.
Penguasa menghadiri
undangan konglomerat, bagi banyak orang adalah wajar, tetapi tidak bagi khalifah Ali. Yang menjadi fokus khalifah Ali bukan soal
menghadiri undangan orang lain, tetapi soal penguasa yang berdekat-dekat dengan
kemewahan. Penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat
mencederai kepercayaan rakyat, juga
berpotensi besar bagi terjadinya praktek korupsi. Adalah rumus umum bahwa
tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi korupsi akan
semakin besar.
Dalam
suratnya yang lain kepada gubernur Basrah, Sayyidina Ali mengatakan, “Pemimpinmu
(Ali bin Abi Tolib) hanya memiliki dua pakaian usang dari robekan kain-kain, tiada
sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh, tiada
sejengkal tanah pun yang kumiliki, tiada kuambil bagi diriku lebih daripada
makanan seekor keledai yang renta.” Kalau saja aku mau, bisa saja aku berpakaian sutra, atau menyimpan
gandum, namun naudzubillah, mungkinkah aku lalui malamku dengan perut kenyang,
padahal di sekelilingku banyak rakyatku kelaparan ?, takutlah pada Allah putra
Khunaif !, dan merasa cukuplah dengan lembaran roti yang kau dapatkan”. Kepemimpinan
adalah amanat yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah, tujuan
berpolitik adalah menegakkan idelogi Allah, bukan tempat menimbun harta. Politikus yang
tidak mempraktekkan kebenaran dan tidak melenyapkan kebohongan adalah makhluk
terburuk di dunia, dan tidak akan ada orang yang kaya raya
melainkan ada pada saat yang sama hak orang lain yang diambil secara aniaya.
Politikus dan martabat negara
Ada empat
jenis negara dan bangsa di dunia ini, Pertama, negara makmur namun tidak
terhormat. Kedua, negara terhormat namun tidak makmur. Ketiga, negara tidak
makmur juga tidak terhormat. Keempat, negara makmur dan terhormat.
Pertama,
Negara makmur tapi tidak terhormat adalah negara yang dihuni oleh masyarakat
konsumeris, glamour, mendapatkan pelayanan kesehatan dan pendidikian gratis,
jaminan sosial dan sebagainya. Namun tidak punya kedaulatan. Haluan politiknya
tidak mandiri.
Kedua,
Negara terhormat tapi tidak makmur adalah negara yang dihuni oleh bangsa yang
rela hidup sederhana, rela tidak punya mall, dan kotanya tidak gemerlap dengan
gedung-gedung menjulang, mobil-mobilnya tidak banyak berbeda merek. Tapi tidak
rela sedetikpun menjadi kaki tangan bangsa lain. Pendirian politiknya kokoh.
Pemerintahnya berani mengambil keputusan besar demi kemandirian dalam segala
bidang dalam jangka lama. Embargo, sanksi dan ancaman perang tidak
menggoyahkannya.
Ketiga,
Negara tidak makmur juga tidak terhormat adalah negara yang dipimpin oleh
koruptor atau orang-orang yang tidak mampu mengambil sikap tegas demi
kehormatan bangsa dan rakyatnya. Politiknya membeo. Konsep ekonominya
amburadul. Penegakan hukumnya payah. Sebagian rakyatnya kejangkitan
individualisme sehingga menciptakan kesenjangan sosial yang berujung pada
anarkisme dan meningkatnya kriminalitas. Sebagian lain kejangkitan hedonisme, ingin
kaya dadakan, menghibur diri dengan gaya hidup artis dan selebirits. Sebagian
lain mencari klenik demi mengatasi persoalan hidup. Sebagian lain menjadi
korban ketidakadilan dan keserakahan para pengusaha dan perusahaan asing yang
diuntungkan oleh perjanjian investasi yang tidak masuk akal.
Keempat,
Negara Makmur dan Juga terhormat, adalah negara yang bersih dari koruptor, sistem ekonominya mandiri, para pemimpinnya rela
menunda kemewahan artifisial, individual dan temporal demi kemakmuran jangka
panjang yang lebih merata. Mari kita merenung, negara kita termasuk yang
mana.....? Wallohu A’lam bisshowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar