Kamis, 27 September 2012

MERENDA DAMAI DI BLOK KRAMAT

Ust. Ach. Hefni Zain


I
Ditengah meluasnya anjuran sikap toleran dan saling pengertian inter dan antar umat beragama, kekerasan bernuansa agama masih saja terjadi. Agama, yang semestinya bersemangat menebarkan kedamaian bagi sesama manusia, ternyata justru kerap memicu pertentangan, bahkan mengusik keutuhan bangsa yang majemuk ini. Banyak faktor yang menjadi pemicunya, antara lain, pertama ketika masing-masing kelompok agama menganggap kelompok lain sebagai sesat dan berbahaya yang harus dimusnahkan, kedua, Sikap apriori dan praduga teologis yang tumbuh subur dalam masyarakat yang kemudian diperkuat oleh para elit agama dengan landasannya masing-masing. Ketiga, kegagalan penganut agama dalam memahami prinsip-prinsip asasi agamanya secara konprehensip. Keempat, faktor ketidak adilan, bias pribadi dan profokasi pihak-pihak tertentu yang menjadikan agama sebagai bungkus dan alat untuk mencapai tujuan subjektif tertentu.
Faktor-faktor diatas pada gilirannya berimplikasi pada terabaikannya  misi agama untuk mewujudkan pola relasi yang damai dan menentramkan  diantara penganut agama, bahkan sebaliknya faktor-faktor diatas justru menjadi embrio bagi munculnya benih-benih kebencian diantara umat beragama, yang pada gilirannya berdampak pada disharmonisasi hubungan antar umat beragama.  Wilayah agama memang merupakan wilayah yang paling sensitif sebab ia berhubugan erat dengan pandangan hidup, spirit dan ideologi. Karena itu isu agama bila diekploitasi akan menjadi hal yang sangat peka memunculkan berbagai konflik, lebih-lebih dalam masyarakat majemuk seperti Indoensia. Agama disatu sisi dapat mejadi suatu faktor pemersatu (uniting factor) namun disisi lain agama juga dapat dengan mudah disalah gunakan sebagai alat  pemisah dan pemecah belah. (deviding dan devising factor).  
Di Indonesia, sesungguhnya secara yuridis undang-undang yang melindungi kebebasan beragama telah ada sejak lama, tetapi tak jalan di lapangan. Menurut UUD 1945, tak boleh ada satu kelompok agama diserang hanya karena beda paham. Tapi, penyerangan itu tetap terjadi,”Itu semua karena pemerintah tampaknya lebih mempertimbangkan kepentingan politik, bukan lagi undang-undang yang membela hak asasi manusia.

II
Untuk kasus di Indonesia, sebagian pihak menuding bahwa Islam fiqhi dan Islam siyasi memiliki peran terhadap embrio munculnya kekerasan bernuansa agama. Bagi Islam fiqhi yang kurang faham akan fiqh ikhtilaf memang cenderung fanatik dan hitam putih. Pada umumnya mereka hanya memandang kelompoknya yang benar dan orang lain salah. ”Islamnya itu rahmatan limutamadzhibin atau rahmat bagi mazhabnya saja,”. Kondisi ini jauh berbeda dengan perilaku para fuqaha pada abad ke 2 hijriyah, sebut saja Imam al-Syafi'i, al-Auza'i di kawasan Syam Abu Hanifah dan Sufyan al-Tsauri di Kufah, Malik bin Anas di Madinah, dan Ahmad bin Hambal di Baghdad. Bagi mereka Li Kulli Ro'sin Ro'yun. Lain kepala lain pendapat, karenanya fenomena beda pemahaman adalah sesuatu yang lumrah. Bahkan Ibnu Taimiyah dalam koleksi fatwanya (majmu' fatawa) mengatakan, monvonis kafir kepada seorang muslim itu dilarang, baik disebabkan kriminalitas yang diperbuat, atau kesalahan yang dilakukannya, selama masih dalam koridor beda pendapat hukum antar umat Islam.  Masalahnya, maukah kita mengkritisi diri sendiri, berlapang dada dan bisa mengambil faidah keilmuan dari orang lain?
Setelah itu berkembang Islam siyasi atau Islam politik yang menjadikan Islam sebagai kegiatan politik, kelompok ini memandang perlunya perjuangan merebut kekuasaan untuk menegakkan negara Islam, dan syariat Islam, mereka menyebutkan bahwa kewajiban menjalankan amar ma’ruf nahi munkar dan kewajiban-kewajiban agama lainnya, seperti berbuat adil, menolong mustad’afin dan menerapkan hudud, tidak bisa efektif tanpa back up kekuasaan dan pemerintahan, bahkan lebih tegas dikatakan “ Inna al shultan zhill Allah fi al ard” (sesungguhnya shulton adalah bayangan Allah dimuka bumi). Oleh karena itu, mengakkan negara Islam merupakan kewajiban agama yang paling besar. Hal itu dimaksudkan guna mewujudkan terselenggaranya kewajiban-kewajiban keagamaan. Mereka menyitir firman Allah “Barang siapa menegakkan dan memutuskan satu masalah tidak berdasarkan apa yang telah diwahyukan Allah, maka mereka ini termasuk kedalam golongan orang- orang kafir” (Qs. 5 : 44). Menurut kelompok ini negara harus didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan oleh Allah kepada manusia, agar tujuan kemanusiaan dapat terwujud secara optimal (Qs. 57 : 25). Dari faham yang demikian, segera memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam masyarakat yang heterogen, disamping saja berpeluang melahirkan otoritarian dan hegemonik baru.

III
Dari Islam fiqhi dan Islam siyasi mestinya mengantarkan kita pada Islam madani, dimana semua agama bisa bertemu, mengambil nilai-nilai universal dalam setiap agama dengan mengkaji apa yang bisa kita sumbangkan bagi kemanusiaan dan peradaban. Wacana Islam madani berpusat pada kasih sayang kepada sesama manusia sehingga Islam menjadi rahmat bagi semua orang, rahmatan lil’alamin. Kesalehan diukur dari kadar cinta seseorang kepada sesama. Setiap pemeluk agama bisa memberikan makna dalam kehidupannya dengan berkhidmat pada kemanusiaan.
Jika Islam fiqhi itu berkutat pada urusan fiqh dan Islam siyasi pada politik, maka Islam madani berpusat pada karakter dan akhlak. Tujuannya untuk membangun akhlak yang baik pada sesama manusia dalam kehidupan yang majemuk. Bagi Islam Madani, Tuhan adil sehingga pasti memberi pahala bagi siapa pun yang berbuat baik, apa pun agamanya. Hukuman diberikan kepada yang berbuat jahat, apa pun agamanya. Apakah menolong orang menjadi amal saleh karena pelakunya muslim, dan menjadi amal salah karena pelakunya orang bukan Islam? Amal itu baik pada dirinya. Bagi model ini, semua model pemahaman ditentukan oleh amal saleh dan kontribusinya terhadap kemanusiaan.
Misi utama Islam madani adalah terwujudnya persatuan dalam keragaman, sebab persatuan merupakan langkah awal menuju kejayaan umat.  Dr M. Said Ramadhan al-Buthi dalam Fiqh al-Siroh nya menjelaskan bahwa tidak ada satu negarapun yang bangkit dan maju tanpa berasaskan kesatuan umat dan saling bekerjasama.  Selanjutnya, kata dia,  kebersamaan dan kesatuan itu tidak dapat dicapai kecuali dimulai oleh dorongan kecintaan antar sesama.
Kini, Islam siyasi tampak bangkit lagi lewat partai-partai politik Islam serta dalam kelompok keagamaan di kampus-kampus. Islam fiqhi juga masih bertahan dan eksis lewat  organisasi keagamaan.  Namun, Islam madani juga berkembang. Secara umum masyarakat sudah bertambah pluralis. Keterbukaan lewat internet membuat orang mudah memahami kelompok lain. Itu pengantar efektif untuk mendorong orang menjadi madani dalam kehidupan global. Paham madani juga bisa dikembangkan lewat sistem pendidikan. Akhlak atau karakter yang baik, seperti penghargaan kepada orang lain atau sikap empati terhadap sesama, bisa ditanamkan lewat program-program pelatihan di sekolah. Pendidikan paling layak disebut pendidikan karena mengajarkan karakter.
Kegagalan penganut agama memahami secara konprehensip prinsip-prinsip asasi agamanya kadang berawal dari sini, sehingga mereka hanya memperoleh pemahaman parsial.  Padahal pemahaman parsial atas agama sering menjadikan peran agama bergeser dari fungsinya membela kaum lemah menjadi elitis, agama telah menjadi alat dan justifikasi bagi pihak pihak tertentu untuk bertindak kejam pada sejumlah komunitas masyarakat yang lain, ditangan mereka, agama telah dikurung dalam ruang teologis yang kering dan hampa, ditangan mereka agama kini sama sekali tidak menyentuh realitas, ia hanya menjadi berhala yang menina bobokkan rakyat tak berdaya, agama semakin berdiri di pentas megah dan menjadi fetishisme, ritual agama juga digencarkan seakan akan menjadi tempat singgah Tuhan untuk memberikan solusi  atas semua masalah publik  sehingga membuat banyak orang terbius.
Nah untuk menyudahi peran naif agama kita perlu mendekatkannya pada sengketa sosial. Ibadah agama tidak sekedar sholat, tetapi juga perlu melakukan ibadah advokasi, pembelaan serta ibadah melawan ketidak adilan. Tuhan rasanya setuju jika agama tidak diparkir hanya untuk memuji-mujiNya, tetapi juga bertindak untuk membela umatnya yang lemah.
Maka agama madani menjadi relevan dikembangkan di Indonesia, sebab model ini dapat menyatukan bangsa yang sudah lama tercabik-cabik oleh paham keagamaan. ”Kita bisa tingkatkan toleransi itu dari saling menghakimi, menjadi memahami, dan kemudian saling mengalami. Pada tingkat paling tinggi, kita menikmati kehadiran orang lain dalam kehidupan kita,” dari sini Agama diharapkan dapat mewujudkan masyarakat madani dan bukan meddeni masyarakat

Tidak ada komentar: