Senin, 24 September 2012

MENUJU FAJAR KETERBUKAAN




Ust. Hefni Zain

Khudzil hikmah wa la yadhurruka min ayyi wia-in kharajat.(Ambillah hikmah
dan jangan kamu risaukan dari mana hikmah itu keluar) (Al-Hadits).

Cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guru,
ujar  Aristoteles  ketika berbeda pendapat dengan gurunya.


Muqoddimah.
Islam adalah agama yang mengajarkan keterbukaan, khususnya dalam mengambil hikmah, Ambillah hikmah dan hendaknya tidak merisaukan kamu “wadah” yang mengeluarkan hikmah itu”. Anjuran inilah yang menyebabkan uamat Islam terdahulu tidak ragu menghirup ilmu dari Yunani, Cina, Persia dan India.
Hadits Nabi saw diatas menegaskan bahwa tantangan psikologis yang paling awal dari keterbukaan adalah kerisauan karena “wadah”. Artinya kita cenderung mendahulukan apa saja yang kerkaitan langsung dengan diri kita. Ketika ada foto kerumunan orang, kita pasti mendahulukan mencari gambar kita, keluarga kita atau komunitas kita. Ketika ada kumpulan bendera berbagai bangsa, hampir bisa dipastikan kita mesti mencari terlebih dahulu bendera Indonesia. Ketika ada data tentang pemimpin dunia, terlebih dahulu kita akan mencari pemimpin kita. Dan begitu seterusnya.
Karena perhatian kita terbatas, kita juga cenderung melihat sifat– sifat yang baik pada objek perhatian kita. Mungkin kita merasa gambar kita yang peling tampan, keluarga kita yang paling bagus dan bendera kita yang paling indah. Ini yang dalam ilmu  psikologi disebut “lingkaran terbatas”. Ketika konsep lingkaran terbatas digunakan, maka sulit sekali menemukan kebaikan dan kebenaran diluar lingkaran itu. Nah lingkaran semacam ini yang oleh baginda Nabi saw disebut “wadah”. Kita merasa tidak enak dengan wadah lain diluar kita, lebih tidak enak lagi untuk mengakui bahwa ada wadah baru yang lebih prospek  dari pada kita. Karena itu, secara psikologis, adalah wajar jika seseorang bereaksi kalau ada lingkaran atau wadah baru yang mencoba menandingi eksistensi lingkaran atau wadah kita.
Bagi Nabi saw, untuk tujuan yang lebih fundamental dan lebih universal. Setiap lingkaran terbatas, harus membuka ruang dan berani melihat yang tidak indah pada diri kita, dan ini tentu menyakitkan, tetapi sakit yang dialami hanyalah sementara untuk kesembuhan jangka panjang, ibarat orang merasakan pahitnya jamu atau nyerinya jarum suntik, demi kesembuhan dan kesehatan jangka panjang. Memang tidak banyak orang yang mampu dan berani menerapkan keterbukaan dalam arti yang sebenarnya, sebab bisa jadi memerlukan biaya mahal. Benturan dan gejolak sosial, keresahan, kekhawatiran dan bahkan mungkin klese fisik adalah sederet ongkos yang harus dibayarkan demi sebuah keterbukaan yang di cita –citakan. Tetapi semua orang harus mulai memahami bahwa kesehatan masa depan jauh lebih berharga ketimbang pahitnya obat sosial yang harus ditelan, selamanya kita tidak akan pernah sehat kalau tidak berani menghadapi pahitnya obat dan mahalnya ongkos yang harus dibayar. Yang pasti, semakin lama kita menunda minum obat, maka semakin kronis pula penyakit yang diderita, dan jika itu terjadi, maka semakin mahal pula biaya penyembuhan dan semakin pahit obat yang harus kia telan.
Bukankah telah cukup menjadi pelajaran bagi kita bahwa salah satu penyebab masa kegelapan Islam adalah terperosoknya umat Islam pada kotak-kotak sektarian yang sempit. Pikiran kritis dibungkam, paham baru dianggap bid’ah, perbedaan paham dianggap tabu, paham yang berbeda dari maenstrem dianggap berbahaya dan sesat. Yang benar dan masuk sorga hanyalah paham saya, paham yang lain salah semua dan masuk neraka.

Terpenjara oleh group think.
Dalam buku metefor Goa Plato (Plato’s Cave) digambarkan tentang sejumlah orang yang terjebak dalam goa, mereka tidak dapat melihat apa-apa kecuali dinding goa yang tertimpa cahaya yang masuk dari mulut goa. Cahaya itu memantulkan bayangan ke berbagai sudut goa. Karena cukup lama berada dalam goa, bayangan (shadow) tersebut oleh mereka dianggap sebagai realitas atau bahkan kebenaran (the truth) dan secara konsensus dijadikan pedoman dalam bertindak hanya kerena mereka tidak memiliki pengetahuan lain tentang dunia diluar dirinya.
Tatkala salah seorang dari mereka berhasil keluar goa, ia melihat dunia yang jauh lebih kompleks, ia menyadari bahwa bayangan di dinding goa itu tidak lebih dari sebuah refleksi kegelapan, sehingga persepsi dan pengetahuan rekan-rekannya di dalam goa itu sebenarnya merupakan sesuatu yang terdistorsi. Orang itu lalu kembali ke dalam goa, untuk menjelaskan realitas yang sebenarnya,  ia merasa prihatin atas pikiran rekan-rekannya yang masih terperangkap oleh realitas semu dan sempit, namun penjelasan itu tidak serta merta diterima oleh mereka yang belum melihat realitas diluar goa.
Bagi rekan-rekannya yang masih terperangkap dalam goa, bayangan yang mereka lihat di dinding goa jauh lebih meyakinkan ketimbang imformasi baru yang dibawa dari luar. Bahkan informasi baru itu mereka anggap sebagai sesuatu yang berbahaya yang dapat mengancam konsensus kelompok, karena itu mereka berusaha acuh dan menghindar ketimbang menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam berfikir. Pengetahuan baru yang dibawa rekannya akan dunia luar justru dijadikan alat motivasi untuk memantapkan kohesi dan metal perkawanan diantara mereka guna menghadapi rekannya yang dianggap membawa informasi dan keyakinan membahayakan. Tampaklah bahwa para penghuni goa itu telah terpenjara bukan saja secara fisik, tetapi juga kejiwaan. Inilah yang oleh Plato disebut “Pyshic Prison”. Memang pikiran atau pemahaman sebaik apapun yang dipasarkan ditengah komunitas yang tidak sehat, bukan saja menemukan hasil yang tidak efektif, tetapi justru akan menjadi serangan balik yang tajam bagi pembawanya. Hal ini sama persis ketika seorang waras  berbicara dengan beberapa orang gila di rumah sakit jiwa, maka dalam konteks itu pasti seorang yang waras dianggap gila dan mereka yang gila menganggap diri mereka waras.
Dalam konteks sosial keagamaan, begitu banyak dijumpai fenomena tindakan yang didasarkan pada kondisi jiwa seperti digambarkan diatas. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh pikiran populer, yakni pikiran yang memang hampir semua orang menerimanya sebagai suatu kebenaran, ini yang dalam ilmu psikologi disebut Group Think (pikiran kelompok).  Ini pulalah yang menyebabkan kita merasa tidak perlu lagi melihat dan belajar dari orang lain, lalu hilanglah daya kritis dan semangat perubahan. Bahayanya, perasaan yang kuat untuk mempertahankah pentingnya konsensus tidak saja mengabaikan kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita, tetapi lebih jauh kita selalu berupaya mencegah munculnya pikiran baru yang kritis. Siapapaun yang berani keluar dari konsensus, akan dianggap membahayakan sehingga perlu diupayakan penyingkiran dan pemusnahannya. Kita hanya dekat dengan orang yang sepaham dengan kita. Dan seringkali kita menghindari orang yang tidak sepaham dengan kita, padahal dari  orang yang tidak sepaham itulah kita akan mengenal sudut pandang yang baru.

Kesadaran Baru.
Konon, Socrates dikenal sebagai dukun pemikiran yang melahirkan banyak gagasan, dia disenangi anak-anak muda, setiap kali dia memberi ceramah, puluhan anak muda berhasil tercerahkan. Seocrates mengajak mereka berfikir kritis dan mendorong mereka untuk membuka diri terhadap gagasan-gagasan baru, lalu mata mereka terbuka melihat dunia, persis seperti bayi yang baru lahir. Karena aktivitasnya tersebut dia harus mati muda, dia dijebloskan ke penjara karena dianggap meresahkan masyarakat.
Beberapa abad kemudian ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates, dia jelajahi berbagai sudut ilmu, dia telusuri pelosok-pelosok hikmah, dia tekun belajar filsafat dan pada saat yang sama tekun juga mensucikan hatinya dengan tasawuf, ia mengajak umat memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah tak peduli dari manapun, segera anak-anak muda menyukainya, tetapi tidak dengan para kelompok status que, mereka menuduh pemuda ini meresahkan masyarakat, merusak aqidah dan menyesatkan ummat, dia adalah Sihabuddin Suhrawardi. Seperti Socrates anak muda ini wafat di dalam penjara, dosanya sama dengan Socrates dia menganjurkan keterbukaan, berwawasan nonsektarian dan mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat manzhab yang sempit. Karena menganjurkan keterbukaan Socrates mati muda, demikian juga dengan Suhrawardi, boleh jadi ratusan orang yang berwawasan keterbukaan juga mati atau dimatikan, tetapi yang pasti keterbukaan akan selalu dirindukan orang khususnya kaum muda yang tercerahkan.
Memang masih tak terhitung pihak-pihak yang mempertahankan ketertutupan, yang mengkafirkan pihak yang berbeda paham, yang mengisi forum dan podium dengan kecaman dan caci maki, tetapi kata Toffler, mereka adalah sisa-sisa dari peradaban yang sedang sekarat ”smells of a dying civilization”.
Kini mulai muncul kesadaran baru dikalangan muda kaum muslimin, sebuah gelombang peradaban Islam yang terbuka, yang mau belajar dari manapun, yang tidak fanatik buta. Leteratur Islam dari berbagai manzab pemikiran mulai dikaji, fajar keterbukaan mulai terbit, matahari  kekuatan logika perlahan mulai orbit. Tetapi yang masih menghawatirkan kita adalah logika kekuatan. Kaum yang sudah mapan dalam sistem lama akan merasa terancam. Memang untuk mata yang terbiasa dalam kegelapan, sinar matahari sangat menyilaukan dan menyakitkan. Lewat kekuatan bisa saja mereka berupaya membungkam jiwa-jiwa muda yang mulai tercerahkan ini, haruskah jiwa-jiwa muda ini kembali akan mati muda ? hanya masa depan yang akan menjawab

Tidak ada komentar: