Ust. Hefni Zain
Khudzil hikmah wa la yadhurruka min ayyi
wia-in kharajat.(Ambillah hikmah
dan jangan kamu risaukan dari mana
hikmah itu keluar) (Al-Hadits).
Cintaku pada kebenaran melebihi cintaku pada guru,
ujar Aristoteles ketika berbeda pendapat dengan gurunya.
Muqoddimah.
Islam adalah agama
yang mengajarkan keterbukaan, khususnya dalam mengambil hikmah, Ambillah hikmah
dan hendaknya tidak merisaukan kamu “wadah” yang mengeluarkan hikmah itu”.
Anjuran inilah yang menyebabkan uamat Islam terdahulu tidak ragu menghirup ilmu
dari Yunani, Cina, Persia
dan India.
Hadits Nabi saw diatas
menegaskan bahwa tantangan psikologis yang paling awal dari keterbukaan adalah
kerisauan karena “wadah”. Artinya kita cenderung mendahulukan apa saja yang
kerkaitan langsung dengan diri kita. Ketika ada foto kerumunan orang, kita
pasti mendahulukan mencari gambar kita, keluarga kita atau komunitas kita.
Ketika ada kumpulan bendera berbagai bangsa, hampir bisa dipastikan kita mesti
mencari terlebih dahulu bendera Indonesia. Ketika ada data tentang pemimpin
dunia, terlebih dahulu kita akan mencari pemimpin kita. Dan begitu seterusnya.
Karena
perhatian kita terbatas, kita juga cenderung melihat sifat– sifat yang baik
pada objek perhatian kita. Mungkin kita merasa gambar kita yang peling tampan,
keluarga kita yang paling bagus dan bendera kita yang paling indah. Ini yang
dalam ilmu psikologi disebut “lingkaran
terbatas”. Ketika konsep lingkaran terbatas digunakan, maka sulit sekali
menemukan kebaikan dan kebenaran diluar lingkaran itu. Nah lingkaran semacam
ini yang oleh baginda Nabi saw disebut “wadah”. Kita merasa tidak enak dengan
wadah lain diluar kita, lebih tidak enak lagi untuk mengakui bahwa ada wadah baru
yang lebih prospek dari pada kita.
Karena itu, secara psikologis, adalah wajar jika seseorang bereaksi kalau ada lingkaran
atau wadah baru yang mencoba menandingi eksistensi lingkaran atau wadah kita.
Bagi Nabi
saw, untuk tujuan yang lebih fundamental dan lebih universal. Setiap lingkaran
terbatas, harus membuka ruang dan berani melihat yang tidak indah pada diri
kita, dan ini tentu menyakitkan, tetapi sakit yang dialami hanyalah sementara
untuk kesembuhan jangka panjang, ibarat orang merasakan pahitnya jamu atau nyerinya
jarum suntik, demi kesembuhan dan kesehatan jangka panjang. Memang tidak banyak
orang yang mampu dan berani menerapkan keterbukaan dalam arti yang sebenarnya,
sebab bisa jadi memerlukan biaya mahal. Benturan dan gejolak sosial, keresahan,
kekhawatiran dan bahkan mungkin klese fisik adalah sederet ongkos yang harus
dibayarkan demi sebuah keterbukaan yang di cita –citakan. Tetapi semua orang
harus mulai memahami bahwa kesehatan masa depan jauh lebih berharga ketimbang
pahitnya obat sosial yang harus ditelan, selamanya kita tidak akan pernah sehat
kalau tidak berani menghadapi pahitnya obat dan mahalnya ongkos yang harus
dibayar. Yang pasti, semakin lama kita menunda minum obat, maka semakin kronis
pula penyakit yang diderita, dan jika itu terjadi, maka semakin mahal pula biaya
penyembuhan dan semakin pahit obat yang harus kia telan.
Bukankah
telah cukup menjadi pelajaran bagi kita bahwa salah satu penyebab masa
kegelapan Islam adalah terperosoknya umat Islam pada kotak-kotak sektarian yang
sempit. Pikiran kritis dibungkam, paham baru dianggap bid’ah, perbedaan paham
dianggap tabu, paham yang berbeda dari maenstrem dianggap berbahaya dan sesat.
Yang benar dan masuk sorga hanyalah paham saya, paham yang lain salah semua dan
masuk neraka.
Terpenjara
oleh group think.
Dalam buku metefor Goa Plato (Plato’s Cave) digambarkan tentang
sejumlah orang yang terjebak dalam goa, mereka tidak dapat melihat apa-apa
kecuali dinding goa yang tertimpa cahaya yang masuk dari mulut goa. Cahaya
itu memantulkan bayangan ke berbagai sudut goa. Karena cukup lama berada dalam
goa, bayangan (shadow) tersebut oleh mereka dianggap sebagai realitas
atau bahkan kebenaran (the truth) dan secara konsensus dijadikan pedoman
dalam bertindak hanya kerena mereka tidak memiliki pengetahuan lain tentang
dunia diluar dirinya.
Tatkala
salah seorang dari mereka berhasil keluar goa, ia melihat dunia yang jauh lebih
kompleks, ia menyadari bahwa bayangan di dinding goa itu tidak lebih dari
sebuah refleksi kegelapan, sehingga persepsi dan pengetahuan rekan-rekannya di
dalam goa itu sebenarnya merupakan sesuatu yang terdistorsi. Orang itu lalu
kembali ke dalam goa, untuk menjelaskan realitas yang sebenarnya, ia merasa prihatin atas pikiran
rekan-rekannya yang masih terperangkap oleh realitas semu dan sempit, namun
penjelasan itu tidak serta merta diterima oleh mereka yang belum melihat
realitas diluar goa.
Bagi rekan-rekannya
yang masih terperangkap dalam goa, bayangan yang mereka lihat di dinding goa
jauh lebih meyakinkan ketimbang imformasi baru yang dibawa dari luar. Bahkan
informasi baru itu mereka anggap sebagai sesuatu yang berbahaya yang dapat
mengancam konsensus kelompok, karena itu mereka berusaha acuh dan menghindar
ketimbang menjadikannya sebagai bahan pertimbangan dalam berfikir. Pengetahuan
baru yang dibawa rekannya akan dunia luar justru dijadikan alat motivasi untuk
memantapkan kohesi dan metal perkawanan diantara mereka guna menghadapi
rekannya yang dianggap membawa informasi dan keyakinan membahayakan. Tampaklah
bahwa para penghuni goa itu telah terpenjara bukan saja secara fisik, tetapi
juga kejiwaan. Inilah yang oleh Plato disebut “Pyshic Prison”. Memang
pikiran atau pemahaman sebaik apapun yang dipasarkan ditengah komunitas yang
tidak sehat, bukan saja menemukan hasil yang tidak efektif, tetapi justru akan
menjadi serangan balik yang tajam bagi pembawanya. Hal ini sama persis ketika
seorang waras berbicara dengan beberapa
orang gila di rumah sakit jiwa, maka dalam konteks itu pasti seorang yang waras
dianggap gila dan mereka yang gila menganggap diri mereka waras.
Dalam konteks sosial
keagamaan, begitu banyak dijumpai fenomena tindakan yang didasarkan pada
kondisi jiwa seperti digambarkan diatas. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh
pikiran populer, yakni pikiran yang memang hampir semua orang menerimanya
sebagai suatu kebenaran, ini yang dalam ilmu psikologi disebut Group Think
(pikiran kelompok). Ini pulalah yang
menyebabkan kita merasa tidak perlu lagi melihat dan belajar dari orang lain,
lalu hilanglah daya kritis dan semangat perubahan. Bahayanya, perasaan yang
kuat untuk mempertahankah pentingnya konsensus tidak saja mengabaikan
kelemahan-kelemahan yang ada pada diri kita, tetapi lebih jauh kita selalu
berupaya mencegah munculnya pikiran baru yang kritis. Siapapaun yang berani
keluar dari konsensus, akan dianggap membahayakan sehingga perlu diupayakan
penyingkiran dan pemusnahannya. Kita hanya dekat dengan orang yang sepaham dengan kita. Dan
seringkali kita menghindari orang yang tidak sepaham dengan kita, padahal
dari orang yang tidak sepaham itulah
kita akan mengenal sudut pandang yang baru.
Kesadaran
Baru.
Konon, Socrates dikenal
sebagai dukun pemikiran yang melahirkan banyak gagasan, dia disenangi anak-anak
muda, setiap kali dia memberi ceramah, puluhan anak muda berhasil tercerahkan.
Seocrates mengajak mereka berfikir kritis dan mendorong mereka untuk membuka
diri terhadap gagasan-gagasan baru, lalu mata mereka terbuka melihat dunia,
persis seperti bayi yang baru lahir. Karena aktivitasnya tersebut dia harus
mati muda, dia dijebloskan ke penjara karena dianggap meresahkan masyarakat.
Beberapa
abad kemudian ada anak muda Islam yang memilih hidup seperti Socrates, dia
jelajahi berbagai sudut ilmu, dia telusuri pelosok-pelosok hikmah, dia tekun
belajar filsafat dan pada saat yang sama tekun juga mensucikan hatinya dengan
tasawuf, ia mengajak umat memperkaya dirinya dengan berbagai hikmah tak peduli
dari manapun, segera anak-anak muda menyukainya, tetapi tidak dengan para
kelompok status que, mereka menuduh pemuda ini meresahkan masyarakat, merusak aqidah
dan menyesatkan ummat, dia adalah Sihabuddin Suhrawardi. Seperti Socrates anak
muda ini wafat di dalam penjara, dosanya sama dengan Socrates dia menganjurkan
keterbukaan, berwawasan nonsektarian dan mengajak orang melepaskan diri dari sekat-sekat
manzhab yang sempit. Karena menganjurkan keterbukaan Socrates mati muda,
demikian juga dengan Suhrawardi, boleh jadi ratusan orang yang berwawasan
keterbukaan juga mati atau dimatikan, tetapi yang pasti keterbukaan akan selalu
dirindukan orang khususnya kaum muda yang tercerahkan.
Memang
masih tak terhitung pihak-pihak yang mempertahankan ketertutupan, yang
mengkafirkan pihak yang berbeda paham, yang mengisi forum dan podium dengan
kecaman dan caci maki, tetapi kata Toffler, mereka adalah sisa-sisa dari peradaban
yang sedang sekarat ”smells of a dying civilization”.
Kini
mulai muncul kesadaran baru dikalangan muda kaum muslimin, sebuah gelombang
peradaban Islam yang terbuka, yang mau belajar dari manapun, yang tidak fanatik
buta. Leteratur Islam dari berbagai manzab pemikiran mulai dikaji, fajar
keterbukaan mulai terbit, matahari
kekuatan logika perlahan mulai orbit. Tetapi yang masih menghawatirkan
kita adalah logika kekuatan. Kaum yang sudah mapan dalam sistem lama akan
merasa terancam. Memang untuk mata yang terbiasa dalam kegelapan, sinar
matahari sangat menyilaukan dan menyakitkan. Lewat kekuatan bisa saja mereka berupaya
membungkam jiwa-jiwa muda yang mulai tercerahkan ini, haruskah jiwa-jiwa muda
ini kembali akan mati muda ? hanya masa depan yang akan menjawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar