Selasa, 25 September 2012

PENDIDIKAN PEMBEBASAN BERBASIS KEADILAN




Oleh : Ach. Hefni Zain

Dalam salah satu tulisannya kyai mbeling, Emha Ainun Najib berkisah, pagi itu seorang miskin tapi cerdas dari pelosok dusun terpencil datang ke salah satu lembaga pendidikan Islam ternama di Jogjakarta untuk menyekolahkan anaknya, setelah didaftar, petugas administrasi bilang “Alhamdulillah, semuanya sudah beres,  putra bapak bisa masuk sekolah mulai senin besok”.  Ketika orang dusun itu pamit pulang, seperti biasa ia diminta membayar biaya  pendaftaran dan biaya lainnya. Membayar apa ?, kata orang dusun itu kaget, ya bayar uang pendaftaran, memangnya bapak mau bayar apa ? namanya mendaftar sekolah ya harus membayar uang pendaftaran, jawab si petugas menerangkan.
Anda ini punya otak atau tidak sih ? kata orang miskin itu tampak marah, kalau minta  bayaran itu ya kepada orang kaya yang punya uang,  bukan kepada orang miskin seperti saya yang sepeserpun tidak punya uang ?.  Si petugas gedek gedek, bapak ini mahluk dari mana tho, kalau tidak punya uang ya jangan mendaftar ke sekolah, goblok, disini tidak ada yang gratis !!!,  .. Yang goblok itu  saya apa situ ? sergah si miskin tak mau kalah,  bagi saya namanya daftar sekolah  ya ke lembaga pendidikan masak saya daftar sekolah ke kuburan, kata orang miskin itu sambil menahan tawa.
Iya…tapi jika daftar ke lembaga pendidikan harus bawa uang, kata si petugas dengan nada tinggi. Lho, apa hubungannya daftar sekolah dengan uang ?, memangnya anak orang kaya saja yang boleh sekolah ? apa di negeri ini ada undang undang atau peraturan pemerintah yang menetapkan anak orang miskin dilarang sekolah ? tanya si miskin nyerocos, wong saya bicara soal sekolah, kok situ bicara tentang uang ? kalau mau ngurusi uang ya sana di bank, jangan dicampur-campur dengan pendaftaran anak saya, pokoknya saya sekarang mau pulang…masak orang miskin dilarang sekolah ???,  kata orang dusun itu sambil nyelonong pergi.
***
Kisah diatas, kendati berbentuk parodi, tetapi sungguh merupakan kritik telak atas realitas ketidak adilan yang menimpa sebagian besar rakyat Indonesia, terutama kaum alit yang semakin kehilangan hak-haknya, karena terus dirampas oleh pembangunan yang tunduk pada pasar, kian hari jumlah mereka kian bertambah, sedang kekuasaan makin menjauh dari mereka. Akibatnya kaum alit semakin tak mungkin menikmati hasil kemerdekaan seperti layanan pendidikan, layanan kesehatan, tempat tinggal yang memadai dan pekerjaan yang layak, fenomena kapitalisme telah meluluh lantakkan pertahanan hidup kaum alit yang termiskinkan oleh sistem global sehingga terlantar dan bahkan terjajah di negeri sendiri yang konon “kaya”.
Sesungguhnya tidak ada satu negarapun yang bertugas menyengsarakan rakyatnya, tugas semua negara dimanapun adalah mensejahterakan, melindungi dan mencerdaskan rakyatnya, namun  ajaib di negeri ini, laksana sulapan, tiba- tiba saja hampir sebagian besar kebijakan pemerintah tidak memihak kepada kaum alit kendati mereka selalu mengatas namakannya. 
Mahalnya biaya pendidikan yang tak mungkin diakses oleh seluruh rakyat di Indonesia bukan lagi rahasia umum, kendati telah banyak lembaga pendidikan yang berlabel Islam, misalnya bernama yayasan pendidikan Islam Abu Bakar, tetapi biayanya tetap Abu Jahal.  Fungsi pendidikan yang semestinya membebaskan kini malah menjajah, lembaga-lembaga pendidikan terus berlomba menempelkan tarif  pada berbagai bentuk layanannya, para konsumen hanya dilayani sesuai dengan kemampuan membayarnya. Fenomena ini tentu sulit dimaknai lain kecuali lembaga pendidikan telah menjadi pembiakan dari gelombang kapitalisme, dan seluruh publikasi pendidikan dalam konteks ini sejatinya hanyalah corong dari kepentingan komersialisasi dan ekspansionis pasar.  Belum lagi praktek mafia bisnis buku, media pembelajaran dan sarana pendidikan yang menjanjikan laba besar, omzet industri ini di Indonesia mencapai angka  Rp 14 trilyun perbulan. Inilah yang menyebabkan komuditas dan praktek mafia pendidikan semakin subur di negeri ini.
Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan. Sejatinya kemerdekaan bukan saja hak segala bangsa tetapi juga hak semua manusia, baik yang punya bangsa atau tidak, bahkan juga merupakan hak semua mahluk Tuhan di makrokosmos ini. Maka setiap bentuk distorsi atas kemerdekaan mahluk Tuhan, mutlak harus dilawan karena bukan saja bertentangan dengan prikemanusiaan dan prikeadilan  tetapi juga bertentangan dengan hak dasar penciptaan semua mahluk, bertentangan dengan pri dan pro kemakhlukan.
Apa makna proklamasi kemerdekaan kalau sebagian besar rakyat Indonesia masih tetap menderita? Ketika si mbah ditanya enak mana hidup di zaman londo dan saat ini ? secara deplomatis mereka menjawab : Lihatlah  jembatan yang dibangun londo meski berpuluh puluh tahun ternyata masih kokoh, coba bandingkan dengan saat ini ! banyak sekali pemerintah membangun jembatan, tapi baru beberapa bulan sudah tak terhitung yang jebol dan ambruk. Maka lebih londo mana antara londo yang sesungguhnya dengan londo londoan, ucap si mbah.    
Jujur saja, rakyat kita hingga detik ini belum sepenuhnya memperoleh hak haknya dalam arti yang sesungguhnya, betapa banyak bocah-bocah cerdas dan potensial yang putus sekolah karena kekurangan biaya ? betapa tak terhitung tubuh-tubuh layu berpenyakit yang menggelepar menunggu maut karena tak mampu berobat ? dan bahkan tidak sedikit rakyat kita yang  terpaksa melacur, bahkan menjual iman demi sesuap nasi ? Belum lagi pola hidup para elit yang gila-gilaan, dulu  berjanji  membela  wong cilik  kini  mengorbankan wong cilik,  dulu maju tak gentar membela yang benar, kini  maju tak malu  membela yang bayar.
Saya kira sudah saatnya semua pihak di negeri ini harus mulai berjuang merobah pola lakunya yang biasa memakan hari depan anak anaknya sendiri. Ketahuilah semua kejahatan bermula dari yang sedikit, kemudian tiap orang sesudah itu menambahnya sehingga akhirnya menjadi sangat besar. Jika peminpin makan sebutir jeruk dari kebun rakyatnya, anak buah peminpin itu akan berlomba mencabuti seluruh pohonnya. Saatnya para penguasa  belajar banyak, sebab rakyat telah mengalami banyak. Bagi  Prayogi, di zaman merdeka, penguasa adalah rakyat, tetapi di zaman pembangunan, penguasa menipu dan memukuli rakyat . di zaman edan seperti sekarang ini penguasa malah memakan rakyat dan masa depannya, sedangkan di zaman kiamat nanti, penguasa  akan mengemis pengampunan rakyat.
Terakhir, marilah kita  lupakan penggede yang gila gilaan, kita terus bersabar menyaksikan korupsi, tahan hidup susah dan bangga menjadi miskin. Harga boleh kian menggila, orang miskin diam saja, jangan protes,  bukankah kita hidup disebuah negara yang paling ajaib di dunia, dimana makan atau tidak makan hanyalah persoalan biasa.   Kita musti sabar, biar kita miskin asal hati kita kaya, tahan lapar teruuus dan tetap kalem, sabar, sabar ...cool...cool, hingga semuanya wassalam, ketemu diakherat, pada pengadilan  yang bebas sogok.

Tidak ada komentar: