Senin, 24 September 2012

JANGAN TERTIPU OLEH KOSTUM




Oleh : Ust. Hefni Zain, S.Ag, MM

Dalam leteratur ilmu sosial, ada teori yang disebut Drama Turki, yakni sebuah teori yang menjelaskan bahwa sangat jauh berbeda antara lakon yang diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik panggung. Hari-hari ini kita tengah hidup di sebuah peradaban yang teorinya mirip drama Turki, maka jangan heran kalau pendgak hukum malah melanggar hukum, pemberantas korupsi malah melakukan korupsi,  pejuang moral malah bertindak amoral. Dipanggung-panggung publik mereka berteriak agar keadilan ditegakkan padahal sesungguhnya mereka sendiri yang mesti diadili. Mereka selalu meneriakkan pengentasan kemiskinan tapi pada waktu yang sama mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.
Saat ini, pemimpim belum tentu peminpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, panutan belum tentu panutan, bisa juga ia seorang penunggang dan kita dijadikan kudanya. Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual.
Dalam peradaban yang demikian, orde reformasi sangat tidak kalah pembohongnya dibanding orde lama atau orde baru, otoda tidak dijamin merupakan wujud distribusi kekuasaan dan perluasan pemerataan otoritas hidup, bisa jadi malah berarti memperbanyak kuantitas dan kualitas pencoleng, penyamun  dan koruptor. Menurut rumus normal, kehidupan manusia seperti roda berputar, silih berganti, kadang diatas dan kadang dibawah, tetapi realitas yang terjadi tidak selalu demikian, bukan tidak mungkin seseorang bisa dibawah terus-menerus dan tidak pernah diatas sampai datang saat sekaratnya. Dalam konteks yang lebih luas,  manusiapun belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu, berprilaku seperti hewan atau monster.
Ada sebuah kisah yang cukup menarik, terkait dengan wacana ini, pernah suatu  hari sang penguasa secara resmi berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku !, kalian semua mesti bersyukur kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini bebas dari wabah penyakit  tha’un, akunya tak tahu diri. Tiba-tiba di tengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi, maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua bencana sekaligus,. Apa yang kamu maksud dengan dua bencana ? Tanya si penguasa itu  penasaran,  yaa wabah penyakit tha’un dan anda sendiri,  jawabnya lirih.
Emha Ainun Najdib dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa, misalkan suatu hari ada seorang yang mengenakan kostum lengkap, dari sepatu, topi, celana hingga baju  dengan segala lambang dan tumpukan bintang tanda jasa persis seperti yang dikenakan panglima TNI, padahal dia sama sekali bukan anggota militer, lalu dia masuk kantor atau jalan-jalan di mall atau pasar sambil teriak-teriak ”merdeka, hidup Gayus,  berjaya koruptor, damai rakyat jelata”, maka yang akan terjadi pada dirinya adalah dua kemungkinan : pertama, semua orang menyimpulkan bahwa beberapa saluran saraf di otak yang bersangkutan telah mengalami disorganisasi gara-gara tidak mampu mengatasi stres berat akibat realita ketidak beresan di hampir semua komponen bangsa ini. Kedua, aparat satpol PP akan segera mencurigai, menghampiri dan mengamankan orang itu untuk jangka waktu yang tidak ditentukan dengan tuduhan yang macam-macam.
Tetapi tidak ada resiko seperti itu kalau yang dia kenakan adalah kostum ulama lengkap dengan gamis, sorban, tasbih dan minyak arabnya meskipun dia sama sekali bukan seorang  ustadz apalagi ulama. Seseorang sangat merdeka dan dijamin aman untuk pada suatu sore memakai kostum para habib, malamnya ganti celana jeen dan kaos oblong, lalu esok paginya ganti dengan kostum superman, siangnya seperti sunan kalijogo, sorenya lagi ganti seperti abu jahal, fir’un, hitler dan sejenisnya.
Yang ingin disampaikan Cak Nun adalah bahwa Negara punya kekuasaan hampir mutlak atas diri seseorang, sementara Tuhan tidak punya negara, Tuhan tidak diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal mengatur kehidupan manusia. Tuhan dilarang menerapkan menerapkan nilai dan hukumNya pada sistem nilai negara. Tuhan di cekal memanefestasikan aspirasiNya ke dalam pasal-pasal hukum formal negara.
Jika peraturan negara di langgar, pelanggarnya pasti di hukum, kalau peraturan Tuhan di langgar, secara resmi manusia dilarang menghukum pelanggarnya. Dengan kata lain Tuhan di lokalisir ke dalam wilayah pribadi dan political willNya dianggap sangat berbahaya jika diterapkan dalam formalisme  kehidupan manusia. Bahkan kebanyakan pemimpin umat beragama yang menyembahNya pun amat menghawatirkan kalau-kalau ada diantara manusia  yang punya gagasan untuk menerapkan hukum Tuhan dalam konteks negara.
Simbol kekuasaan negara sangat baku, disakralkan dan dipertahankan  dengan berbagai legitimasi, dan semua itu tidak boleh di langgar  oleh siapapun, sementara lambang Tuhan, misalnya yang dicitrakan melalui tanda-tanda kealiman, kesolehan, kekhusu’an dan kejujuran sangat boleh di langgar oleh siapapun.
Artinya, bendera merah, garuda pancasila dan simbol negara yang lain tidak boleh dilecehkan, tetapi -berbanding terbalik-, simbol kemusliman dan kesolehan yang  pada periode sejarah tertentu diwakili oleh surban, gamis, sajadah dan sejenisnya boleh diremehkan oleh siapun saja. Seseorang boleh mengenakan pakaian yang biasa dikenakan para habib dan ulama kendati yang bersangkutan seorang bandit atau non muslim sekalipun. Jilbab juga tidak boleh dibatasi untuk hanya dipakai seorang muslimah. Jilbab bebas di pakai oleh seorang germo atau hostes sekalipun. Seseorang boleh pakai sorban meskipun sehari-harinya pekerjaannya nyopet, seseorang boleh menyelempangkan sajadah atau sorban di tubuhnya meskipun yang bersangkutan seorang koruptor kakap atau ”mahafia” (baca : diatasnya mafia) pajak.
Karena itu, jangan tertipu oleh kostum, jika ada seseorang dalam kesehariannya selalu mengenakan baju panjang sebagaimana dulu dipakai sayyidina Ali, maka silakan jangan sekali-kali menghubungkannya dengan nilai akhlaq, istiqomah zuhud atau apapun sebagaimana selama berabad-abad nilai-nilai itu ditandai oleh kostum-kostum tertentu. Kostum orang sekarang sama sakali tidak mewakili keperibadiannya dan tidak memiliki relevansi dengan keyataan hati dan realitas  prilakunya. Sekali lagi, hati-hati, jangan tertipu oleh kostum, model atau penampilan seseorang, apalagi diatas panggung, sebab sejatinya terkadang berbeda jauh antara lakon yang diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik panggung.

Tidak ada komentar: