Oleh : Ust. Hefni
Zain, S.Ag, MM
Dalam leteratur ilmu sosial, ada teori yang disebut Drama Turki, yakni
sebuah teori yang menjelaskan bahwa sangat jauh berbeda antara lakon yang
diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik
panggung. Hari-hari ini kita tengah hidup di sebuah peradaban yang teorinya
mirip drama Turki, maka jangan heran kalau pendgak hukum malah melanggar hukum, pemberantas
korupsi malah melakukan korupsi, pejuang
moral malah bertindak amoral. Dipanggung-panggung publik mereka berteriak agar
keadilan ditegakkan padahal sesungguhnya mereka sendiri yang mesti
diadili. Mereka selalu meneriakkan pengentasan kemiskinan tapi pada waktu yang
sama mereka sendiri melakukan pemiskinan terhadap orang-miskin.
Saat ini, pemimpim belum tentu peminpin, bisa juga ia seorang pendendam,
pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator
yang penuh nafsu, panutan belum tentu panutan, bisa juga ia seorang penunggang
dan kita dijadikan kudanya. Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia
pelacur intelektual.
Dalam peradaban yang demikian, orde reformasi sangat tidak kalah
pembohongnya dibanding orde lama atau orde baru, otoda tidak dijamin merupakan
wujud distribusi kekuasaan dan perluasan pemerataan otoritas hidup, bisa jadi
malah berarti memperbanyak kuantitas dan kualitas pencoleng, penyamun dan koruptor. Menurut rumus normal, kehidupan
manusia seperti roda berputar, silih berganti, kadang diatas dan kadang
dibawah, tetapi realitas yang terjadi tidak selalu demikian, bukan tidak
mungkin seseorang bisa dibawah terus-menerus dan tidak pernah diatas sampai
datang saat sekaratnya. Dalam konteks yang lebih luas, manusiapun belum tentu instiqomah berprilaku
sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis
tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu,
berprilaku seperti hewan atau monster.
Ada sebuah kisah yang cukup menarik, terkait dengan wacana ini, pernah
suatu hari sang penguasa secara resmi
berbicara dihadapan rakyatnya “Wahai rakyatku !, kalian semua mesti bersyukur
kepada Tuhan karena sejak aku menjadi penguasa, negeri ini bebas dari wabah
penyakit tha’un, akunya tak tahu diri.
Tiba-tiba di tengah halayak, seorang rakyat jelata memberanikan diri intrupsi,
maaf paduka, Tuhan kasihan kepada kami sehingga tidak mungkin memberi kami dua
bencana sekaligus,. Apa yang kamu maksud dengan dua bencana ? Tanya si penguasa
itu penasaran, yaa wabah penyakit tha’un dan anda sendiri, jawabnya lirih.
Emha Ainun Najdib dalam salah satu tulisannya menyebutkan bahwa, misalkan
suatu hari ada seorang yang mengenakan kostum lengkap, dari sepatu, topi,
celana hingga baju dengan segala lambang
dan tumpukan bintang tanda jasa persis seperti yang dikenakan panglima TNI,
padahal dia sama sekali bukan anggota militer, lalu dia masuk kantor atau jalan-jalan
di mall atau pasar sambil teriak-teriak ”merdeka, hidup Gayus, berjaya koruptor, damai rakyat jelata”, maka
yang akan terjadi pada dirinya adalah dua kemungkinan : pertama, semua
orang menyimpulkan bahwa beberapa saluran saraf di otak yang bersangkutan telah
mengalami disorganisasi gara-gara tidak mampu mengatasi stres berat akibat realita
ketidak beresan di hampir semua komponen bangsa ini. Kedua, aparat satpol
PP akan segera mencurigai, menghampiri dan mengamankan orang itu untuk jangka
waktu yang tidak ditentukan dengan tuduhan yang macam-macam.
Tetapi tidak ada resiko seperti itu kalau yang dia kenakan adalah kostum
ulama lengkap dengan gamis, sorban, tasbih dan minyak arabnya meskipun dia sama
sekali bukan seorang ustadz apalagi
ulama. Seseorang sangat merdeka dan dijamin aman untuk pada suatu sore memakai
kostum para habib, malamnya ganti celana jeen dan kaos oblong, lalu esok paginya
ganti dengan kostum superman, siangnya seperti sunan kalijogo, sorenya lagi
ganti seperti abu jahal, fir’un, hitler dan sejenisnya.
Yang ingin disampaikan Cak Nun adalah bahwa Negara punya kekuasaan hampir
mutlak atas diri seseorang, sementara Tuhan tidak punya negara, Tuhan tidak
diperkenankan oleh hamba-hambaNya untuk secara formal mengatur kehidupan
manusia. Tuhan dilarang menerapkan menerapkan nilai dan hukumNya pada
sistem nilai negara. Tuhan di cekal memanefestasikan aspirasiNya ke dalam
pasal-pasal hukum formal negara.
Jika peraturan negara di langgar, pelanggarnya pasti di hukum, kalau
peraturan Tuhan di langgar, secara resmi manusia dilarang menghukum
pelanggarnya. Dengan kata lain Tuhan di lokalisir ke dalam wilayah pribadi dan
political willNya dianggap sangat berbahaya jika diterapkan dalam formalisme kehidupan manusia. Bahkan kebanyakan pemimpin
umat beragama yang menyembahNya pun amat menghawatirkan kalau-kalau ada
diantara manusia yang punya gagasan
untuk menerapkan hukum Tuhan dalam konteks negara.
Simbol kekuasaan negara sangat baku, disakralkan dan dipertahankan dengan berbagai legitimasi, dan semua itu
tidak boleh di langgar oleh siapapun,
sementara lambang Tuhan, misalnya yang dicitrakan melalui tanda-tanda kealiman,
kesolehan, kekhusu’an dan kejujuran sangat boleh di langgar oleh siapapun.
Artinya, bendera merah, garuda pancasila dan simbol negara yang lain tidak
boleh dilecehkan, tetapi -berbanding terbalik-, simbol kemusliman dan kesolehan
yang pada periode sejarah tertentu
diwakili oleh surban, gamis, sajadah dan sejenisnya boleh diremehkan oleh
siapun saja. Seseorang boleh mengenakan pakaian yang biasa dikenakan para habib
dan ulama kendati yang bersangkutan seorang bandit atau non muslim sekalipun.
Jilbab juga tidak boleh dibatasi untuk hanya dipakai seorang muslimah. Jilbab
bebas di pakai oleh seorang germo atau hostes sekalipun. Seseorang boleh pakai
sorban meskipun sehari-harinya pekerjaannya nyopet, seseorang boleh menyelempangkan
sajadah atau sorban di tubuhnya meskipun yang bersangkutan seorang koruptor
kakap atau ”mahafia” (baca : diatasnya mafia) pajak.
Karena itu, jangan tertipu oleh kostum, jika ada seseorang dalam
kesehariannya selalu mengenakan baju panjang sebagaimana dulu dipakai sayyidina
Ali, maka silakan jangan sekali-kali menghubungkannya dengan nilai akhlaq,
istiqomah zuhud atau apapun sebagaimana selama berabad-abad nilai-nilai itu
ditandai oleh kostum-kostum tertentu. Kostum orang sekarang sama sakali tidak
mewakili keperibadiannya dan tidak memiliki relevansi dengan keyataan hati dan
realitas prilakunya. Sekali lagi,
hati-hati, jangan tertipu oleh kostum, model atau penampilan seseorang, apalagi
diatas panggung, sebab sejatinya terkadang berbeda jauh antara lakon yang
diperankan seseorang diatas panggung dengan realitas yang sebenarnya di balik
panggung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar