Kamis, 27 September 2012

PENGUASA & MANZHAB KEMEWAHAN



 Ust. Hefni Zain
Ratusan tahun yang lampau, jauh sebelum filosof Inggris, John Edward, terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely,” Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib, dalam peringatannya kepada salah seorang gubernurnya, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif kekuasaan. Ketika khalifah Ali mendapat laporan bahwa seorang gubernurnya bernama Usman bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang penguasaha kaya di Basrah, sang khalifah segera menyampaikan pesan peringatan :
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai kepadaku sebuah kabar, bahwa seorang konglomerat kota Basrah mengundangmu ke sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian… Sungguh aku tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.”
Fenomena penguasa menghadiri undangan konglomerat, bagi banyak orang adalah wajar dan mungkin dianggap sepele,  tetapi tidak bagi khalifah Ali bin Abi Tholib ra.  Dalam konteks ini yang menjadi fokus Ali bukan soal seseorang menghadiri undangan orang lain, tetapi soal penguasa yang berdekat-dekat dengan kemewahan. Bagi Ali penguasa yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai  kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar bagi terjadinya praktek korupsi. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan bersinggungan dengan kemewahan maka potensi korupsi akan semakin besar.
Karena kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka penganutnya pasti menderita maniak rakus, dengan kata lain, dalam pelukan kemewahan, kekuasaan pasti mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”, dan bila kerakusan menguasai seseorang, maka yang bersangkutan akan memburunya kemanapun dan dengan cara apapun. Itulah sebabnya bagi penganut manzhab kemewahan, prinsip yang dipegang hanya satu, yakni “kutahu yang kumau bukan kutahu yang kubutuhkan”. Akibatnya kemewahan mengaburkan pandangannya dari segala sesuatu yang ada disekelilingnya, ia akan menelan habis kesadaran si penguasa atau membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran, kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan adalah "tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang"?  Lalu apa yang bisa diharapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke dermaga kemewahan?, Inilah hal substansial yang dikhawatirkan Ali Bin Abi Tholib.
Sesungguhnya penganut manzhab kemewahan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa banyak kepemilikan rumbai-rumbai harta benda. Maka, bila para pecandu narkoba harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para penguasa, pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Dari penguasa penghamba kemewahan ini lalu kita dipertontokan pada hal-hal yang ganjil,  pertama, kebijakan simplistik yang mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini sejatinya merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan bergerak dalam kecepatan tinggi, akibatnya, mereka benar-benar lumpuh -terutama secara paradigmatik- untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan solutif yang berpihak pada rakyat,  Mereka miskin alternatif dan seringkali terjebak dalam kebijakan-kebijakan reduktif, misalnya sekedar mengikuti prosedur yang normatif.  Biasanya, penguasa jenis ini menganggap bahwa segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘simbolik’ (misalnya peresmian proyek, atau pencanangan program) telah selesai dilaksanakan, padahal, pekerjaan-pekerjaan seremonial semacam itu minim sekali menyentuh hajat rakyat banyak.  
Kedua adalah hiper-kriminalitas, yakni ketika kebejatan perilaku justru dilakukan oleh mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Nalar kita, misalnya, seakan-akan tak kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi bisa melakukan tindakan pencucian uang ?  bagaimana mungkin anggota DPR yang terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak terhormat ?, bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang notabene berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?.  Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan, baik dalam logika hukum ataupun moral, kecuali logika hasratlah yang mencabik-cabik kesadaran dan moralitas mereka karena berlomba dalam kemewahan, simbol dan status.
Ketiga adalah ketidak berpihakan kepada rakyat dan kebenaran. Para penguasa yang telah mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari (tidak berpihak kepada) kebenaran dan keadilan, sebab untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi mereka terlalu getir, pahit, dan berat untuk dihadapi, diperlukan keringat, air mata, dan bahkan darah untuk memperjuangkannya. Karenanya, mereka lebih memilih menikmati beragam ilusi yang disajikan kemewahan, mereka lebih mementingkan kepuasan kaum elit ketimbang rakyat kebanyakan, mereka lebih suka memanipulasi realitas melalui iklan, retorika, seremoni-seremoni, dan lain sebagainya, bahkan mereka  menutup diri terhadap rakyat kebanyakan dengan cara menetapkan protokoler yang njelimet yang tak akan pernah terraih oleh tangan-tangan layu rakyat jelata.
Maka, jangan pernah berharap mereka melakukan perubahan-perubahan yang radikal bagi kepentingan orang-orang lemah karena bukankah, “Pohon-pohon di padang tandus lebih kuat batangnya sedangkan yang hijau menawan jauh lebih lunak. Demikian pula kayu pepohonan di tempat-tempat gersang lebih kuat nyala apinya dan lebih lambat padamnya,” atau “Bukankah. unta akan hidup tenang beristirahat bila telah penuh perutnya? Demikian pula domba bila merasa kenyang setelah makan rerumputan?” demikian ungkap sayyidina Ali, sang  putra ka’bah.
Jelaslah bahwa yang dikecam Ali bukanlah dunia fisik atau jasad tempat ruh kita bersemayam, bumi tempat kita berpijak, dan lingkungan sosial tempat kita berinteraksi, tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri.
“Dunia kemilau” inilah yang dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, mahasiswa, pelajar, guru besar, kyai, tokoh agama dan aktivis pro demokrasi, maka kini, masyarakat semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum, politikus dengan prilaku tikus,  guru besar dengan pelacur intelektual,  mahasiswa dengan preman pasar,  agamawan dengan penghasut, aktivis pro-demokrasi dengan penyuap, dan bahkan antara “manusia dengan monster”.
Kini tampaknya kita harus mulai berhati-hati dan merasa kasihan terhadap mereka semua, namun tentu saja, kita tak mungkin memaksa para “bapak-bapak” kita itu untuk melakukan self-denial  ala sayyidina Ali yang “Tiada secuil emas atau perak dari dunia kalian ini pernah kusimpan. Tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh. Tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki. Tiada kuambil bagi diriku lebih daripada makanan seekor keledai yang renta.”
Yang kita minta mungkin hanyalah hal-hal sepele misalnya dapatkah Bapak keluar dari istana Bapak yang megah itu lalu memperhatikan adakah di sekitarnya gubuk-gubuk liar yang setiap saat diliputi kecemasan dan ketakutan atas ancaman penggusuran dan pengusiran terhadap tempatnya berteduh dari hujan dan terik, makanan yang habis, uang yang menipis, anak yang meringis dan menangis karena sibapak gagal mengemis, atau sesekali relakah Bapak meninggalkan mobil-mobil mewah Bapak lalu menaiki bus-bus umum atau kereta-kereta api yang penuh sesak dan sumpek, yang para penumpangnya seringkali harus cemas apakah ongkos mereka cukup atau jika cukup, masihkah ada pada tempatnya, yang kondekturnya menghitung keping demi keping uang recehan sembari bertanya dalam hati adakah ini cukup untuk membayar setoran, seraya berharap semoga tidak ada pungli atau tidak kena tilang yang berbuntut ‘uang damai’.  Hal-hal di atas mungkin sesuatu yang remeh, yang tidak akan berbuah kompensasi seperti jika anggota parlemen “berstudi banding” ke luar negeri. #

Tidak ada komentar: