Ust. Hefni Zain
Ratusan tahun yang lampau, jauh
sebelum filosof Inggris, John Edward,
terkenal dengan pernyataannya, “Power tends to corrupt, absolute power
corrupts absolutely,” Amirul mukminin Ali bin Abi Tholib, dalam peringatannya kepada salah
seorang gubernurnya, telah menyatakan kekhawatirannya akan potensi koruptif
kekuasaan. Ketika khalifah Ali mendapat laporan bahwa seorang gubernurnya bernama Usman
bin Hunaif al-Ansyari, menghadiri pesta seorang penguasaha kaya di Basrah, sang
khalifah segera menyampaikan pesan peringatan :
Dengan Nama Allah
Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai Ibnu Hunaif! Telah sampai
kepadaku sebuah kabar, bahwa seorang konglomerat kota Basrah mengundangmu ke
sebuah pesta makan, dan Anda telah bergegas ke sana untuk menikmati aneka
hidangan yang lezat di atas nampan-nampan yang datang bergantian… Sungguh aku
tak mengira bahwa Anda akan memenuhi undangan seperti itu, lalu makan di suatu
tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang kayanya diundang.”
Fenomena penguasa
menghadiri undangan konglomerat, bagi banyak orang adalah wajar dan mungkin
dianggap sepele, tetapi tidak bagi
khalifah Ali bin Abi Tholib ra. Dalam konteks
ini yang menjadi fokus Ali bukan soal seseorang menghadiri undangan orang lain,
tetapi soal penguasa yang berdekat-dekat dengan kemewahan. Bagi Ali penguasa
yang dekat dengan kemewahan selain secara etik dapat mencederai kepercayaan rakyat, juga berpotensi besar
bagi terjadinya praktek korupsi. Adalah rumus umum bahwa tatkala kekuasaan
bersinggungan dengan kemewahan maka potensi korupsi akan semakin besar.
Karena
kemewahan hanya dikendalikan oleh logika hasrat (logic of desire), maka penganutnya
pasti menderita maniak rakus, dengan kata lain, dalam pelukan kemewahan,
kekuasaan pasti mengalami proses transformasi yang supercepat menjadi “kerakusan”,
dan bila kerakusan menguasai seseorang, maka yang bersangkutan akan memburunya
kemanapun dan dengan cara apapun. Itulah sebabnya bagi
penganut manzhab kemewahan, prinsip yang dipegang hanya satu, yakni “kutahu
yang kumau bukan kutahu yang kubutuhkan”. Akibatnya kemewahan mengaburkan
pandangannya dari segala sesuatu yang ada disekelilingnya, ia akan menelan
habis kesadaran si penguasa atau membuatnya buta dan tuli terhadap kegetiran,
kepahitan, dan kekerasan hidup rakyat yang memberinya kuasa. Bukankah kemewahan
adalah "tempat yang orang-orang miskinnya dilupakan, dan orang-orang
kayanya diundang"? Lalu apa yang
bisa diharapkan dari para pemegang “amanah” kekuasaan yang telah merapat ke
dermaga kemewahan?, Inilah hal substansial yang dikhawatirkan Ali Bin Abi
Tholib.
Sesungguhnya penganut
manzhab kemewahan, adalah para pecandu citra, simbol, ilusi, fantasi, dan
halusinasi. Eksistensi dan kualitas mereka amatlah bergantung kepada seberapa
banyak kepemilikan rumbai-rumbai harta benda. Maka, bila para pecandu narkoba
harus direhabilitasi karena mengalami perasaan tidak percaya diri, tidak
berguna dan tidak berdaya jika tidak mengonsumsi zat adiktif itu, tentu para
penguasa, pejabat, politisi, atau siapa pun yang tidak percaya diri karena
penghasilan yang lebih rendah atau kepemilikan yang lebih sedikit adalah sama
buruknya dengan pecandu narkoba yang juga harus menjalani rehabilitasi mental.
Dari penguasa
penghamba kemewahan ini lalu kita dipertontokan pada hal-hal yang ganjil, pertama, kebijakan simplistik yang
mengarah kepada pengabdian yang minimalis. Para penguasa jenis ini sejatinya
merupakan korban dari lalu-lintas perburuan hasrat yang tak kunjung henti dan
bergerak dalam kecepatan tinggi, akibatnya, mereka benar-benar lumpuh -terutama
secara paradigmatik- untuk menetapkan kebijakan yang radikal, revolutif, dan
solutif yang berpihak pada rakyat, Mereka
miskin alternatif dan seringkali terjebak dalam kebijakan-kebijakan reduktif,
misalnya sekedar mengikuti prosedur yang normatif. Biasanya, penguasa jenis ini menganggap bahwa
segala sesuatu telah selesai ketika suatu pekerjaan ‘simbolik’ (misalnya peresmian
proyek, atau pencanangan program) telah selesai dilaksanakan, padahal,
pekerjaan-pekerjaan seremonial semacam itu minim sekali menyentuh hajat rakyat
banyak.
Kedua adalah
hiper-kriminalitas, yakni ketika kebejatan perilaku justru dilakukan oleh
mereka yang berkuasa untuk mencegahnya. Nalar kita, misalnya, seakan-akan tak
kunjung mengerti bagaimana mungkin belasan perwira polisi bisa melakukan
tindakan pencucian uang ? bagaimana
mungkin anggota DPR yang terhormat berulangkali melakukan perbuatan tidak
terhormat ?, bagaimana mungkin para gebenur, bupati, wali kota yang notabene
berpenghasilan lebih dari cukup masih melakukan tindak korupsi ?. Sungguh, jawaban itu tidak akan kita temukan,
baik dalam logika hukum ataupun moral, kecuali logika hasratlah yang
mencabik-cabik kesadaran dan moralitas mereka karena berlomba dalam kemewahan,
simbol dan status.
Ketiga adalah
ketidak berpihakan kepada rakyat dan kebenaran. Para penguasa yang telah
mempersembahkan martabat dan kehormatan dirinya kepada buaian kemewahan adalah
mereka yang bukan saja abai tetapi berupaya lari dari (tidak berpihak kepada) kebenaran
dan keadilan, sebab untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi mereka terlalu
getir, pahit, dan berat untuk dihadapi, diperlukan keringat, air mata, dan bahkan
darah untuk memperjuangkannya. Karenanya, mereka lebih memilih menikmati
beragam ilusi yang disajikan kemewahan, mereka lebih mementingkan kepuasan kaum
elit ketimbang rakyat kebanyakan, mereka lebih suka memanipulasi realitas
melalui iklan, retorika, seremoni-seremoni, dan lain sebagainya, bahkan mereka menutup diri terhadap rakyat kebanyakan dengan
cara menetapkan protokoler yang njelimet yang tak akan pernah terraih oleh
tangan-tangan layu rakyat jelata.
Maka, jangan
pernah berharap mereka melakukan perubahan-perubahan yang radikal bagi
kepentingan orang-orang lemah karena bukankah, “Pohon-pohon di padang tandus
lebih kuat batangnya sedangkan yang hijau menawan jauh lebih lunak. Demikian
pula kayu pepohonan di tempat-tempat gersang lebih kuat nyala apinya dan lebih
lambat padamnya,” atau “Bukankah. unta akan hidup tenang beristirahat bila
telah penuh perutnya? Demikian pula domba bila merasa kenyang setelah makan
rerumputan?” demikian ungkap sayyidina Ali, sang putra ka’bah.
Jelaslah bahwa
yang dikecam Ali bukanlah dunia fisik atau jasad tempat ruh kita bersemayam,
bumi tempat kita berpijak, dan lingkungan sosial tempat kita berinteraksi,
tetapi dunia hasrat yang kemilaunya mampu memarjinalkan manusia bukan saja dari
persoalan-persoalan masyarakatnya tetapi juga dari kesadaran diri.
“Dunia kemilau”
inilah yang dalam realitas kita, telah mampu mengalienasi seseorang dari
perannya sebagai penegak hukum, pengemban amanah rakyat, mahasiswa, pelajar,
guru besar, kyai, tokoh agama dan aktivis pro demokrasi, maka kini, masyarakat
semakin sulit membedakan antara penegak hukum dengan pelanggar hukum, politikus
dengan prilaku tikus, guru besar dengan
pelacur intelektual, mahasiswa dengan preman
pasar, agamawan dengan penghasut,
aktivis pro-demokrasi dengan penyuap, dan bahkan antara “manusia dengan
monster”.
Kini tampaknya
kita harus mulai berhati-hati dan merasa kasihan terhadap mereka semua, namun
tentu saja, kita tak mungkin memaksa para “bapak-bapak” kita itu untuk
melakukan self-denial ala sayyidina
Ali yang “Tiada secuil emas atau perak dari dunia kalian ini pernah kusimpan.
Tiada sepotong baju pun telah kusiapkan sebagai pengganti pakaianku yang lusuh.
Tiada sejengkal tanah pun yang kumiliki. Tiada kuambil bagi diriku lebih
daripada makanan seekor keledai yang renta.”
Yang kita minta
mungkin hanyalah hal-hal sepele misalnya dapatkah Bapak keluar dari istana
Bapak yang megah itu lalu memperhatikan adakah di sekitarnya gubuk-gubuk liar
yang setiap saat diliputi kecemasan dan ketakutan atas ancaman penggusuran dan
pengusiran terhadap tempatnya berteduh dari hujan dan terik, makanan yang
habis, uang yang menipis, anak yang meringis dan menangis karena sibapak gagal
mengemis, atau sesekali relakah Bapak meninggalkan mobil-mobil mewah Bapak lalu
menaiki bus-bus umum atau kereta-kereta api yang penuh sesak dan sumpek, yang
para penumpangnya seringkali harus cemas apakah ongkos mereka cukup atau jika
cukup, masihkah ada pada tempatnya, yang kondekturnya menghitung keping demi
keping uang recehan sembari bertanya dalam hati adakah ini cukup untuk membayar
setoran, seraya berharap semoga tidak ada pungli atau tidak kena tilang yang
berbuntut ‘uang damai’. Hal-hal di atas
mungkin sesuatu yang remeh, yang tidak akan berbuah kompensasi seperti jika
anggota parlemen “berstudi banding” ke luar negeri. #
Tidak ada komentar:
Posting Komentar