Senin, 24 September 2012

DAKWAH BIL QOLAM




Ust.Ach.Hefni Zain

Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu
ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya (maqolah)


Pendahuluan
Banyak media yang bisa digunakan dalam berdakwah, antara lain lisan dan tulisan. Artinya dunia tulis sesungguhnya merupakan aspek tak terpisahkan dari dakwah, namun faktanya, dakwah bil qolam selama ini menjadi dimensi yang paling langka dijumpai, penyebabnya para aktivis dakwah kurang memiliki kemampuan atau tepatnya kemauan untuk menulis, karena itu perlu ada komunitas juru dakwah yang khusus berkonsentrasi dalam karya tulis, hal ini penting mengingat begitu timpangnya antara komposisi jumlah da’i penulis dengan da’i non penulis (terutama da’i politis).
Tradisi menulis dikalangan umat Islam sejatinya telah dirintis dan dilakukan sejak abad pertengahan oleh para ulama, mubaligh dan mujtahid besar, misalnya As-Syuyuti dalam ilmu tafsir, Al-Gazali  dalam ilmu filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam sosiologi. Ini semua merupakan bukti otentik bahwa dikalangan ulama terdahulu telah berkembang tradisi menulis yang sangat kuat.
            Para aktivis dakwah seyogyanya terus berupaya menghidupkan kembali tradisi menulis yang telah dirintis oleh para ulama terdahulu, lalu dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan zaman. Tetapi ironis, betapa sering kita takjub dengan tokoh-tokoh Islam masa lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka yang produktif dalam dakwah bil Qolam, padahal kita tahu Verba valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan akan  lestari).
Lebih-lebih tatkala gelombang informasi komunikasi memasuki wilayah terdalam dari ranah kehidupan umat, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam pola hidup mereka, salah satu bentuknya adalah kehausan mereka terhadap nilai-nilai agama tidak lagi harus dipenuhi dengan mendatangi lembaga-lembaga agama, mereka cukup membaca buku-buku agama, atau mengakses dakwah di berbagai media, bahkan mereka dapat berdialog langsung lewat rubrik yang disediakan oleh berbagai media tersebut. Perubahan ini harus disikapi oleh para aktivis dakwah dengan cara  menyiapkan dirinya tidak saja dengan kemampuan retorika yang baik, tapi juga kemampuan menulis dan berkarya serta kolaborasi yang kuat dengan berbagai pusat informasi, terutama media massa.
Ini penting karena karya tulis juru dakwah selain dapat menjawab tuntutan perubahan masyarakat, juga dapat memberi kontribusi signifikan kepada generasi mendatang sebagai rujukan bagi dirinya sehingga dapat memotivasi yang bersangkutan untuk membaca dirinya sendiri, minimal diposisikan sebagai sarana yang dapat memberikan inspirasi kepada pembaca untuk menemukan gagasannya sendiri yang lebih cemerlang.  Dengan tulisan, materi dan pesan dakwah yang disampaikan tidak saja dapat diakses oleh orang-orang yang berdekatan dengannya dalam ruang dan waktu, melainkan dapat diakses juga oleh orang yang paling jauh sekalipun, pesan-pesan dakwah lewat tulisan dapat melintasi ruang dan waktu.

Tantangan Baru
Diakui atau tidak di era tehnologi informasi ini, model dakwah bil Qolam telah menggeser model dakwah bil lisan yang bersifat tradisional-konvensional. Dakwah lewat tulisan akan dibaca dan ditelaah oleh jamaah yang jauh lebih besar dari jamaah konvensional, hal ini jalas merupakan tantangan baru bagi para aktivis dakwah. Artinya, para aktivis dakwah mau tidak mau harus berkompetisi dengan perubahan, sebab kalau tidak, ia akan kehilangan jamaahnya dan terpinggirkan. Kompleksitas  tantangan yang dihadapi  para aktivis dakwah kedepan menuntut mereka berbenah, cepat atau lambat mereka akan dihadapkan pada sebuah kompetisi yang sangat  ketat. Siapa yang aktif akan terus survive, sebaliknya bagi yang pasif, siap siaplah untuk tergilas.
Bagi Juru dakwah kegiatan menulis menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya, karena itu juru dakwah harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai penulis. Mereka tidak boleh ketinggalan dalam mencermati perkembangan umat dan teori-teori baru yang berkaitan dengan profesinya. Dengan profesi itu yang paling ditunggu oleh umat seorang da’i adalah karya tulis ilmiah mereka.
          Sebagai juru dakwah,  seorang da’i betindak sebagai penjual ide dan konsep kepada pasar, mampukah ide-ide itu menghasilkan bangunan wacana ilmiah yang akan dibedah diberbagai wilayah komunitas ? Inilah tantangan yang mesti direspon juru dakwah. Berdasarkan tuntutan-tuntutan tersebut, parameter untuk menilai kualitas seorang juru dakwah, setidaknya melalui dua kreteria secara berkelanjutan, pertama dari produktivitas karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau teori baru. Maka kehadiran karya tulis dalam segala jenisnya bagi juru dakwah merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar lagi.
          Kelemahan juru dakwah kita selama ini adalah kecendeungan mereka yang masih berada pada level budaya mendengarkan dan bebicara (listening speaking society) belum pada level membaca dan menulis (reading-writing society), akibatnya peran mereka sebagai agent of change, agent of innovation, dan agent of modernization hanyalah jargon kosong yang tidak akuntable, padahal sejak awal mereka memahami tausiah  “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan”.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada sejumlah juru dakwah mutakhir yang produktif menulis, misalnya KH.Sahal Mahfudz, Gus Dur, Gus Mus, Aa Gym dan lain-lain, tetapi boleh kita teliti  seberapa banyak juru dakwah penulis bila di bandingkan dengan jumlah juru dakwah yang lebih gemar di kancah politik praktis, padahal bukan rahasia lagi bahwa ranah politik praktis adalah wilayah yang abu-abu (grey area) yang lebih elok bila dihindari. Sejarah ulama salaf mengajarkan kepada kita bagaimana mereka khusu’ berkhidmah di bidang keilmuan dan produktif menghasilkan banyak sekali karya tulis antara lain dengan mengambil jarak yang tegas dengan wilayah politik praktis dan tahta kekuasaan. Yang lebih ironis adalah banyak juru dakwah yang tidak bersedia menulis tetapi justru suka menjadi juru vonis dan berkomentar miring terhadap tulisan orang lain, sungguh sebuah taktik cantik untuk bersembunyi dibalik kelemahan diri.
Saat ini tidak banyak yang peduli terhadap kian punahnya dakwah bil qolam sebagai media paling efektif dalam transformasi keilmuan Islam. Karena itu kita begitu rindu akan kehadiran sosok seperti KH Hasyim As’ary, KH Nawani al-Bantani, dan KH Mahfudz At Tarmasy yang mampu menampilkan jati diri melalui karya tulis mereka yang diakui dunia. Sejatinya, kendati terbatas, telah tumbuh dikalangan da’i muda budaya menulis, dan kita berharap banyak pada mereka, misalnya, KH Ishom Hadzik (Jombang) dan KH Mujab Mahalli (Bantul) yang memiliki retorika dakwah yang unik serta bertalenta dalam menulis buku dan artikel di berbagai media massa, namun keduanya keburu meninggalkan kita dalam usia yang masih muda.

Tidak Ada Alasan Untuk Tidak Menulis
KH. Bisri Mustofa (Rembang) adalah seorang mubaligh kondang yang berdakwah tidak saja dipelbagai pelosok tanah air seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jabotabek, Cirebon, Majalengka, Kalimantan, Sulawesi, Lampung, Irian Jaya, Maluku, Bali, dsb, Tetapi Juga merambah hingga Malaysia, Brunai, India, Australia, Mesir dan Arab Saudi. Meski demikian, ditengah aktifitasnya yang super padat itu beliau tak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus menulis. Dan selama hidupnya lebih dari 200 buku dan kitab beliau hasilkan, termasuk tafsif Al-Ibriz yang sangat fenomenal. Contoh lain, KH Mujab Mahalli (Bantul), ditengah kesibukannya sebagai da’i dan penggiat dzikir yang biasa menghabiskan sepertiga malam-malamnya untuk vis to vis dengan al-ilah al-mahbubah, beliau masih sempat menghasilkan 142 kitab dan buku hingga ajal menjempunya. Jadi kesibukan dan padatnya aktifitas sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak menulis.
Bila kendalanya berupa keterbatasan sarana dan piranti metodologis, kedengarannya malah tidak logis, sebab dizaman serbadigital ini sulit ditemukan orang yang masih gagap teknologi, saat ini laptop, handphone, internet dan sistem komputerisasi telah merasuk ke semua sudut geografis termasuk yang paling pelosok sekalipun. Karena itu tidak pada tempatnya kita berlindung dibalik kendala, sebab asketisme untuk berkarya dan menulis akan mengalahkan segalanya, bukankah As-Syarakhsy mampu merampungkan belasan jilid kitab Al-Mabsuuth dari ruang bawah tanah tempat beliau ditawan?, Juga Buya Hamka mampu menghasilkan tafsir Al-Azhar dari balik jeruji tatkala beliau di penjara. Dari Ibn Taimiyah, Ibnul Qoyyim Jauziyah, Yusuf Qordawi sampai Muhammad Qutb tak pernah berhenti menulis kendati dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan dan bahkan dalam keadaan menderita sekalipun, Mereka tahu betul bahwa manfaat tulisan sangat signifikan bagi masa depan agama dan kemanusiaan.
Memang saat ini bukan lagi era ensiklopedis (’ashr al-mausu’ien), yang memunculkan ulama-ulama serba bisa sebagaimana abad pertengahan Islam yang melahirkan ulama seperti Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, namun sebagai nahkoda umat (mundzir al-qoum) sejauh kita bisa dan mau berusaha, sepatutnya kita tidak melalaikan tugas menulis sebagai bagian integral dari intelektualisme Islam. Bukankah kita sangat hafal dan paham bahwa ”Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu qayduhu” (ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya).
Dengan aktif menulis berarti kita tidak membiarkan khazanah ilmu hilang terkikis waktu.  Maka sekali lagi “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan” sebab Verba valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan akan  lestari). 

Tidak ada komentar: