Ust.Ach.Hefni Zain
Al-’ilmu shaydun wa
al-kitabu qayduhu
ilmu itu bagai
hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya (maqolah)
Pendahuluan
Banyak
media yang bisa digunakan dalam berdakwah, antara lain lisan dan tulisan. Artinya
dunia tulis sesungguhnya merupakan aspek tak terpisahkan dari dakwah, namun
faktanya, dakwah bil qolam selama ini menjadi dimensi yang paling langka
dijumpai, penyebabnya para aktivis dakwah kurang memiliki kemampuan atau tepatnya
kemauan untuk menulis, karena itu perlu ada komunitas juru dakwah yang khusus
berkonsentrasi dalam karya tulis, hal ini penting mengingat begitu timpangnya
antara komposisi jumlah da’i penulis dengan da’i non penulis (terutama da’i
politis).
Tradisi menulis
dikalangan umat Islam sejatinya telah dirintis dan dilakukan sejak abad
pertengahan oleh para ulama, mubaligh dan mujtahid besar, misalnya As-Syuyuti
dalam ilmu tafsir, Al-Gazali dalam ilmu
filsafat dan tasawuf, Ibnu Khaldun dalam sosiologi. Ini semua merupakan bukti
otentik bahwa dikalangan ulama terdahulu telah berkembang tradisi menulis yang
sangat kuat.
Para
aktivis dakwah seyogyanya terus berupaya menghidupkan kembali tradisi menulis
yang telah dirintis oleh para ulama terdahulu, lalu dikembangkan sesuai dengan
konteks perkembangan zaman. Tetapi ironis, betapa sering kita takjub dengan
tokoh-tokoh Islam masa lalu, tapi sedikit sekali yang meniru kiprah mereka yang
produktif dalam dakwah bil Qolam, padahal kita tahu Verba valent scripta manent (ucapan gampang hilang tetapi tulisan
akan lestari).
Lebih-lebih
tatkala gelombang informasi komunikasi memasuki wilayah terdalam dari ranah
kehidupan umat, yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan mendasar dalam
pola hidup mereka, salah satu bentuknya adalah kehausan mereka terhadap nilai-nilai
agama tidak lagi harus dipenuhi dengan mendatangi lembaga-lembaga agama, mereka
cukup membaca buku-buku agama, atau mengakses dakwah di berbagai media, bahkan
mereka dapat berdialog langsung lewat rubrik yang disediakan oleh berbagai
media tersebut. Perubahan ini harus disikapi oleh para aktivis dakwah dengan
cara menyiapkan dirinya tidak saja
dengan kemampuan retorika yang baik, tapi juga kemampuan menulis dan berkarya
serta kolaborasi yang kuat dengan berbagai pusat informasi, terutama media massa.
Ini
penting karena karya tulis juru dakwah selain dapat menjawab tuntutan perubahan
masyarakat, juga dapat memberi kontribusi signifikan kepada generasi mendatang
sebagai rujukan bagi dirinya sehingga dapat memotivasi yang bersangkutan untuk membaca
dirinya sendiri, minimal diposisikan sebagai sarana yang dapat memberikan inspirasi
kepada pembaca untuk menemukan gagasannya sendiri yang lebih cemerlang. Dengan tulisan, materi dan pesan dakwah yang
disampaikan tidak saja dapat diakses oleh orang-orang yang berdekatan dengannya
dalam ruang dan waktu, melainkan dapat diakses juga oleh orang yang paling jauh
sekalipun, pesan-pesan dakwah lewat tulisan dapat melintasi ruang dan waktu.
Tantangan Baru
Diakui
atau tidak di era tehnologi informasi ini, model dakwah bil Qolam telah
menggeser model dakwah bil lisan yang bersifat tradisional-konvensional. Dakwah
lewat tulisan akan dibaca dan ditelaah oleh jamaah yang jauh lebih besar dari
jamaah konvensional, hal ini jalas merupakan tantangan baru bagi para aktivis dakwah.
Artinya, para aktivis dakwah mau tidak mau harus berkompetisi dengan perubahan,
sebab kalau tidak, ia akan kehilangan jamaahnya dan terpinggirkan. Kompleksitas tantangan yang dihadapi para aktivis dakwah kedepan menuntut mereka
berbenah, cepat atau lambat mereka akan dihadapkan pada sebuah kompetisi yang
sangat ketat. Siapa yang aktif akan
terus survive, sebaliknya bagi yang pasif, siap siaplah untuk tergilas.
Bagi Juru
dakwah kegiatan menulis menjadi konsentrasi utama dalam mengembangkan kariernya,
karena itu juru dakwah harus memiliki komitmen bahkan karakter sebagai penulis.
Mereka tidak boleh ketinggalan dalam mencermati perkembangan umat dan
teori-teori baru yang berkaitan dengan profesinya. Dengan profesi itu yang
paling ditunggu oleh umat seorang da’i adalah karya tulis ilmiah mereka.
Sebagai
juru dakwah, seorang da’i betindak
sebagai penjual ide dan konsep kepada pasar, mampukah ide-ide itu menghasilkan
bangunan wacana ilmiah yang akan dibedah diberbagai wilayah komunitas ? Inilah
tantangan yang mesti direspon juru dakwah. Berdasarkan tuntutan-tuntutan
tersebut, parameter untuk menilai kualitas seorang juru dakwah, setidaknya
melalui dua kreteria secara berkelanjutan, pertama dari produktivitas
karya-karya ilmiahnya, dan kedua apakah karya-karya itu mampu memberi
pencerahan pada masyarakat luas, yang memuat ide energik, konsep cemerlang atau
teori baru. Maka kehadiran karya tulis dalam segala jenisnya bagi juru dakwah
merupakan suatu keniscayaan atau semacam wajib ain yang tidak bisa ditawar
lagi.
Kelemahan
juru dakwah kita selama ini adalah kecendeungan mereka yang masih berada pada
level budaya mendengarkan dan bebicara (listening speaking society)
belum pada level membaca dan menulis (reading-writing society),
akibatnya peran mereka sebagai agent of change, agent of
innovation, dan agent of modernization hanyalah jargon kosong yang
tidak akuntable, padahal sejak awal mereka memahami tausiah “kerjakan apa yang anda tulis, dan tulislah
apa yang anda kerjakan”.
Memang tidak
dapat dipungkiri bahwa masih ada sejumlah juru dakwah mutakhir yang produktif
menulis, misalnya KH.Sahal Mahfudz, Gus Dur, Gus Mus, Aa Gym dan lain-lain,
tetapi boleh kita teliti seberapa banyak
juru dakwah penulis bila di bandingkan dengan jumlah juru dakwah yang lebih
gemar di kancah politik praktis, padahal bukan rahasia lagi bahwa ranah politik
praktis adalah wilayah yang abu-abu (grey area) yang lebih elok bila
dihindari. Sejarah ulama salaf mengajarkan kepada kita bagaimana mereka khusu’
berkhidmah di bidang keilmuan dan produktif menghasilkan banyak sekali karya
tulis antara lain dengan mengambil jarak yang tegas dengan wilayah politik praktis
dan tahta kekuasaan. Yang lebih ironis adalah banyak juru dakwah yang tidak
bersedia menulis tetapi justru suka menjadi juru vonis dan berkomentar miring
terhadap tulisan orang lain, sungguh sebuah taktik cantik untuk bersembunyi
dibalik kelemahan diri.
Saat ini
tidak banyak yang peduli terhadap kian punahnya dakwah bil qolam sebagai media
paling efektif dalam transformasi keilmuan Islam. Karena itu kita begitu rindu akan
kehadiran sosok seperti KH Hasyim As’ary, KH Nawani al-Bantani, dan KH Mahfudz
At Tarmasy yang mampu menampilkan jati diri melalui karya tulis mereka yang
diakui dunia. Sejatinya, kendati terbatas, telah tumbuh dikalangan da’i muda
budaya menulis, dan kita berharap banyak pada mereka, misalnya, KH Ishom Hadzik
(Jombang) dan KH Mujab Mahalli (Bantul) yang memiliki retorika dakwah yang unik
serta bertalenta dalam menulis buku dan artikel di berbagai media massa, namun
keduanya keburu meninggalkan kita dalam usia yang masih muda.
Tidak Ada
Alasan Untuk Tidak Menulis
KH. Bisri
Mustofa (Rembang) adalah seorang mubaligh kondang yang berdakwah tidak saja
dipelbagai pelosok tanah air seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat,
Jabotabek, Cirebon, Majalengka, Kalimantan, Sulawesi, Lampung, Irian Jaya,
Maluku, Bali, dsb, Tetapi Juga merambah hingga Malaysia, Brunai, India,
Australia, Mesir dan Arab Saudi. Meski demikian, ditengah aktifitasnya yang
super padat itu beliau tak pernah menyurutkan semangatnya untuk terus menulis. Dan
selama hidupnya lebih dari 200 buku dan kitab beliau hasilkan, termasuk tafsif
Al-Ibriz yang sangat fenomenal. Contoh lain, KH Mujab Mahalli (Bantul),
ditengah kesibukannya sebagai da’i dan penggiat dzikir yang biasa menghabiskan
sepertiga malam-malamnya untuk vis to vis dengan al-ilah al-mahbubah, beliau
masih sempat menghasilkan 142 kitab dan buku hingga ajal menjempunya. Jadi
kesibukan dan padatnya aktifitas sama sekali tidak dapat dijadikan alasan untuk
tidak menulis.
Bila
kendalanya berupa keterbatasan sarana dan piranti metodologis, kedengarannya
malah tidak logis, sebab dizaman serbadigital ini sulit ditemukan orang yang
masih gagap teknologi, saat ini laptop, handphone, internet dan sistem komputerisasi
telah merasuk ke semua sudut geografis termasuk yang paling pelosok sekalipun.
Karena itu tidak pada tempatnya kita berlindung dibalik kendala, sebab
asketisme untuk berkarya dan menulis akan mengalahkan segalanya, bukankah
As-Syarakhsy mampu merampungkan belasan jilid kitab Al-Mabsuuth dari ruang
bawah tanah tempat beliau ditawan?, Juga Buya Hamka mampu menghasilkan tafsir
Al-Azhar dari balik jeruji tatkala beliau di penjara. Dari Ibn Taimiyah, Ibnul
Qoyyim Jauziyah, Yusuf Qordawi sampai Muhammad Qutb tak pernah berhenti menulis
kendati dalam keadaan sakit, di tengah perjalanan dan bahkan dalam keadaan
menderita sekalipun, Mereka tahu betul bahwa manfaat tulisan sangat signifikan bagi
masa depan agama dan kemanusiaan.
Memang
saat ini bukan lagi era ensiklopedis (’ashr al-mausu’ien), yang memunculkan
ulama-ulama serba bisa sebagaimana abad pertengahan Islam yang melahirkan ulama
seperti Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, namun sebagai nahkoda umat
(mundzir al-qoum) sejauh kita bisa dan mau berusaha, sepatutnya kita tidak
melalaikan tugas menulis sebagai bagian integral dari intelektualisme Islam.
Bukankah kita sangat hafal dan paham bahwa ”Al-’ilmu shaydun wa al-kitabu
qayduhu” (ilmu itu bagai hewan liar dan tulisanlah tali kekangnya).
Dengan
aktif menulis berarti kita tidak membiarkan khazanah ilmu hilang terkikis
waktu. Maka sekali lagi “kerjakan
apa yang anda tulis, dan tulislah apa yang anda kerjakan” sebab Verba valent scripta manent (ucapan
gampang hilang tetapi tulisan akan
lestari).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar