Senin, 24 September 2012

MARKAS MARKUS




Ust. Ach.Hefni Zain, S.Ag,MM
A.   Muqoddimah.
Ibarat kangker ganas, penyakit bangsa ini sudah betul-betul kronis, sudah stadium 99 yang hingga kini belum ditemukan cara yang efektif untuk menyembuhkannya. Yang lebih menyedihkan, virus penyakit ganas itu telah menyebar luas menjangkiti hampir seluruh komponen tubuh bangsa ini, mulai dari tingkat yang paling atas hingga yang paling bawah, mulai yang paling besar hingga yang paling sepele. Jangankan soal pajak, hukum, bank century atau kasus-kasus besar lainnya yang bernilai trilyunan rupiah, kasus ngurusi surat keterangan domisili ke ketua  RT saja yang nilainya lima ribu perak tak luput dari praktek markus ini. Modusnyapun bermacam-macam, termasuk juga sebutannya, ada yang menyebut  biaya administrasi, biaya transport, ganti pulsa hingga yang tidak bernama. Kalau kemarin Indonesia disebut sarang kuruptor, Kini juga menjadi sarang “mafia kasus” bahkan yang lebih dahsyat “Maha”fia kasus. Hampir disemua lembaga, orang-orangnya telah mengidap gejala kangker psikologis akibat persaiangan dan perburuan atas mahluk paling sexy yang bernama harta dan tahta, persaingan itu kemudian secara evolutif membentuk gaya hidup bahkan menjadi budaya yang dilumrahkan.
B.   Budaya tidak waras.
Bertolak dari gaya hidup yang membudaya seperti diatas mengakibatkan budaya kita menjadi tidak waras. Jujur saja, kita ini adalah masyarakat yang melarang siapapun melakukan markus atau korupsi, kecuali kita ikut kecipratan, kita selalu tidak iklas terhadap semua praktek KKN  kecuali bila kita dilibatkan didalamnya, Korupsi menjadi tidak haram bila yang melakukan adalah kroni kita sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita. Meniduri pembantu rumah tangga itu zalim dan dosa besar, tetapi kalau yang melakukan adalah tokoh kita sendiri, maka wajib kita tutupi, kalau perlu anak jadah hasil perzinahan itu kita upayakan penanganan dan penampungannya.
Yang dimaksud dengan tokoh adalah orang yang kita dukung, kita dorong, kita perjuangkan dan kita bela untuk menjadi pemimpin formal atau non formal, karena kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini itu.  Calon pemimpin adalah orang yang kalau ia berhasil, kita harapkan dapat memberi keuntungan kepada kita, sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada kelompok kita, ormas atau orpol kita, kalau terpaksa tidak maksimal, ya.yang penting dapat memberi keuntugan bagi kita pribadi. Calon pemimpin itu boleh pelawak, boleh preman, boleh orang dungu, boleh syetan atau boleh siapa saja dan apa saja asalkan menguntungkan kita. Dengan atmosfir nilai semacam ini fenomena mafia kasus atau mafia apa saja, bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Kita ini sesungguhnya berprofesi sebagai perampok dan pengemis, Artinya kalau ada penguasa korup, kita akan memperjuangkan satu diantara tiga kemungkinan, Pertama, kita tumbangkan rezim itu agar kita dapat menggantikannya melakukan korupsi. Kita turunkan Suharto untuk disuhartoi sendiri, kita bunuh macan untuk dimacani sendiri”. Kita ganyang Gayus untuk di Gayusi sendiri, begitu seterusnya. Kedua, kita tekan rezim korup itu pada level yang kita mampu agar mereka tidak terlalu egois sehingga dapat berkoordinasi, berkolusi dan berbagi dengan kita. Atau kemungkinan Ketiga, kalau kita tidak memiliki posisi bargaining untuk melakukan negoisasi, maka kita upayakan cara-cara mengemis, tentu saja dengan cara yang tidak tampak seperti pengemis, misalnya dihiasai atau ditutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme dan  kemanusiaan. Jadi kalau sedang berkuasa, profesi kita adalah merampok, tetapi kalau tidak berkuasa berganti profesi menjadi pengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah dukungan, pindah kometmen dan semacamnya, yang semua itu dibungkus atas nama dinamika demokrasi.
Aneh bin ajaib, dulu kita mengutuk keras prilaku Sumanto yang kanibal, padahal Sumanto hanya kanibal kelas teri, Ia beraninya hanya makan mayat, itupun mayat nenek-nenek, itupun sesudah si mayat ada di kuburan. Sumanto tidak pernah berani makan daging segar, daging rakyat sebagaimana banyak penggede-penggede kita. Sumanto hanyalah rakyat jelata yang tidak mengerti hukum, itu spele, yang tidak spele adalah mereka yang mengerti hukum tetapi melanggarnya, mengerti moral namun menghianatinya, menjadi wakil rakyat tetapi sibuk mewakili kepentingan diri dan golongannya. Maka prilaku Sumanto secara kwalitatif sesungguhnya adalah wajah kita semua.
C.   Salah logika.
Kita ini biasanya lebih suka hal-hal besar meskipun berdampak kecil daripada hal kecil yang berdampak besar. Dalam menentukan syarat pemimpin misalnya, kita lebih suka yang ideal, harus begini harus begitu dan hal yang melangit lainnya. Padahal  tidak usah muluk muluk, yang sederhana saja. Yang paling penting dan ada diurutan pertama syarat pemimpin itu harus seorang manusia,  syarat ini banyak kurang diperhatikan orang, padahal tidak sedikit pemimpin yang berlaku seperti ia bukan manusia. Bahkan ratusan juta orang dimuka bumi ini sengsara dan menderita gara-gara pemimpinnya berprilaku tidak seperti manusia, ia berprilaku seperi binatang. Jujur saja, bukankan prilaku kebinatangan seperti itu sebenarnya merupakan peristiwa yang telah lama wajar dan rutin dalam dunia politik dan kekuasaan kita. Fakta ini yang oleh sebagian pihak disebut Political animal, economical animal dan  cultural animal.
Karena syarat ini diabaikan, maka tidak sedikit pemimpin yang ”maaf” berprilaku seperti anjing, hemar, tikus, macan, kancil dan sejenisnya. Pemimpin yang selalu berusaha memenuhi interes biologisnya, yang mengumpulkan kekayaan membabi buta, yang mati-matian memburu sesuatu yang tidak dapat dibawa mati, yang tidak merasa malu dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara kotor, dan setelah harta itu diperoleh, ia akan mempertahankannya sampai mati, Ia akan menggonggong “setiap ada anjing lain berusaha menggerogoti makanannya”. Maka jangan pernah berharap keadilan dari pemimpin yang seperti itu,  sebab  bukankah  keinginan anjing itu hanya untuk mengeyangkan perutnya sendiri, dan tak  peduli dengan  anjing-anjing lain yang kelaparan ? dan bila ada anjing lain yang mendekati, ia akan mengusirnya dengan sekuat tenaga, Al-Qur’an menegaskan, perumpamaan mereka seperti anjing, jika kamu menghalaunya, diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya  dia mengulurkan lidahnya juga. (Qs. 7 : 175-176).
Begitu juga, bila pemimpin selalu menuntut kenaikan gaji dan anggaran, berteriak super kritis terhadap sesuatu, kalau perlu terhadap isu yang mengada-ada “hanya karena dirinya tidak mendapat bagian”, maka bukankah hemar adalah binatang yang suka ngomel kesana-kemari bila perutnya lapar ?, dan diam seribu bahasa, tak peduli terhadap apapun disekelilingnya bila kenyang ?. Bekerja keras bila dhberi honor tinggi, tetapi malas jika honornya sedikit ?, Ada uang abang sayang, tak ada uang abang ditendang. Maka menurut Al-Qur’an “Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara hemar” (Qs. 31 : 19). Demikian pula, jika pemimpin  punya hobbi memusuhi orang lain, memfitnah, suka mencari kelemahan orang lain, suka berfikir nigatif, di otaknya hanya ada Win and Los, dan merasa puas bila berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Maka jelas pemimpin tersebut berprilaku seperti binatang buas atau macan, kendati berbentuk tubuh manusia.
Maka biarlah kita tidak menjadi apa-apa asal masih menjadi manusia, apa gunanya menjadi ini dan itu kalau yang bersangkutan berubah status menjadi binatang. Biarlah kita tidak mempunyai apa-apa, asal masih punya  harga diri. Banyak diantara kita yang telah memiliki barang  mahal, tetapi harga dirinya sangat murah. Tidak sedikit diantara kita yang telah memiliki segalanya, tetapi malah tidak punya harga diri dan rasa malu, Sekaya apapun seseorang, setinggi apapun jabatannya, bila ia kehilangan harga diri dan rasa malu, maka tidak akan ada artinya dihadapan manusia, dan lebih lebih dihadapan Allah swt. 

D.   Catatan Penutup.
Fakta yang sulit dibantah bahwa saat ini disiplin epistimologis tengah mengalami kerusakan yang sangat parah, kalau ada seseorang dari peradaban ini mengatakan sesuatu, maka jangan langsung difahami secara normatif sesuai arti epistimologisnya, tetapi mesti dicari dulu tafsir interesnya. Manusia belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu, berprilaku sebagai hewan, kanibal, monster, setan atau iblis. Saat ini kita mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa besar, sebab sebagai rakyat dan bangsa Indonesia, kita telah dikecewakan bertubi-tubi oleh penggede-penggede kita. Rasanya, air mata dan darah orang lain tidak mempan melunakkan hati dan mendidik mereka, mungkin mereka harus dididik oleh air mata dan darah mereka sendiri.
Pemimpim belum tentu peminpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, panutan belum tentu panutan, bisa juga ia seorang penunggang dan kita dijadikan kudanya. Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual. Astaghfirulloh, negeri elok ini  telah terjangkiti kangker ganas stadium 99, hampir seluruh sendi-sendinya kropos, lambat laun orang-orangnya mulai kehilangan identitas kemanusiaan, sebagai gantinya berkembanglah karakter kebinatangan, sikap kasar, egois dan agresif, otot-otot mereka setiap hari siap menerkam siapa saja sebagai mangsa demi mempertahankan sahwatnya, sebagian telah menjadi drakula berdarah dingin, arogan dan materialistis serta siap mengorbankan perasaan kemanusiaan yang paling luhung sekalipun untuk mengapai ambisinya.  Negeri sejuta pulau yang bernama Indonesia kini telah berubah menjadi “rumah sakit jiwa” yang besar, dimana sebagian besar orang didalamnya  telah terinveksi kangker dehumanisasi,  maka yang diperlukan bukan lagi penyembuhan individual, melainkan penyembuhan massal. Terapi yang diberikan haruslah membuat mereka menjadi manusia kembali dan memperlakukan mereka secara manusiawi pula. Mereka harus diajari berubah dari semangat memiliki yang material kepada kekeluargaan yang spiritual, dari  kebiasan mengambil kepada kebiasaan memberi. Duh..Gusti, ampuni kami

Tidak ada komentar: