Ust. Ach.Hefni Zain, S.Ag,MM
A. Muqoddimah.
Ibarat kangker
ganas, penyakit bangsa ini sudah betul-betul kronis, sudah stadium 99 yang hingga
kini belum ditemukan cara yang efektif untuk menyembuhkannya. Yang lebih
menyedihkan, virus penyakit ganas itu telah menyebar luas menjangkiti hampir
seluruh komponen tubuh bangsa ini, mulai dari tingkat yang paling atas hingga
yang paling bawah, mulai yang paling besar hingga yang paling sepele. Jangankan
soal pajak, hukum, bank century atau kasus-kasus besar lainnya yang bernilai
trilyunan rupiah, kasus ngurusi surat keterangan
domisili ke ketua RT saja yang nilainya lima ribu perak tak luput
dari praktek markus ini. Modusnyapun bermacam-macam, termasuk juga sebutannya,
ada yang menyebut biaya administrasi,
biaya transport, ganti pulsa hingga yang tidak bernama. Kalau kemarin Indonesia
disebut sarang kuruptor, Kini juga menjadi sarang “mafia kasus” bahkan yang
lebih dahsyat “Maha”fia kasus. Hampir disemua lembaga, orang-orangnya telah mengidap
gejala kangker psikologis akibat persaiangan dan perburuan atas mahluk
paling sexy yang bernama harta dan tahta, persaingan itu kemudian secara
evolutif membentuk gaya hidup bahkan menjadi budaya yang dilumrahkan.
B. Budaya tidak waras.
Bertolak dari gaya hidup yang membudaya
seperti diatas mengakibatkan budaya kita menjadi tidak waras. Jujur saja, kita ini
adalah masyarakat yang melarang siapapun melakukan markus atau korupsi, kecuali
kita ikut kecipratan, kita selalu tidak iklas terhadap semua praktek KKN kecuali bila kita dilibatkan didalamnya, Korupsi
menjadi tidak haram bila yang melakukan adalah kroni kita sendiri, bapak kita,
tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita. Meniduri pembantu rumah tangga itu
zalim dan dosa besar, tetapi kalau yang melakukan adalah tokoh kita sendiri,
maka wajib kita tutupi, kalau perlu anak jadah hasil perzinahan itu kita
upayakan penanganan dan penampungannya.
Yang dimaksud dengan
tokoh adalah orang yang kita dukung, kita dorong, kita perjuangkan dan kita
bela untuk menjadi pemimpin formal atau non formal, karena kalau berhasil, maka
kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa
makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini itu. Calon pemimpin adalah orang yang kalau ia
berhasil, kita harapkan dapat memberi keuntungan kepada kita,
sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada kelompok kita, ormas atau orpol
kita, kalau terpaksa tidak maksimal, ya.yang penting dapat memberi keuntugan
bagi kita pribadi. Calon pemimpin itu boleh pelawak, boleh preman, boleh orang
dungu, boleh syetan atau boleh siapa saja dan apa saja asalkan menguntungkan
kita. Dengan atmosfir nilai semacam ini fenomena mafia kasus atau mafia apa
saja, bukanlah sesuatu yang mengejutkan.
Kita ini
sesungguhnya berprofesi sebagai perampok dan pengemis, Artinya kalau ada penguasa
korup, kita akan memperjuangkan satu diantara tiga kemungkinan, Pertama,
kita tumbangkan rezim itu agar kita dapat menggantikannya melakukan korupsi. Kita
turunkan Suharto untuk disuhartoi sendiri, kita bunuh macan untuk dimacani
sendiri”. Kita ganyang Gayus untuk di Gayusi sendiri, begitu seterusnya. Kedua,
kita tekan rezim korup itu pada level yang kita mampu agar mereka tidak terlalu
egois sehingga dapat berkoordinasi, berkolusi dan berbagi dengan kita. Atau
kemungkinan Ketiga, kalau kita tidak memiliki posisi bargaining untuk
melakukan negoisasi, maka kita upayakan cara-cara mengemis, tentu saja dengan
cara yang tidak tampak seperti pengemis, misalnya dihiasai atau ditutupi dengan
retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme dan kemanusiaan. Jadi kalau sedang berkuasa,
profesi kita adalah merampok, tetapi kalau tidak berkuasa berganti profesi
menjadi pengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah dukungan, pindah
kometmen dan semacamnya, yang semua itu dibungkus atas nama dinamika demokrasi.
Aneh
bin ajaib, dulu kita mengutuk keras prilaku Sumanto yang kanibal, padahal Sumanto
hanya kanibal kelas teri, Ia beraninya hanya makan mayat, itupun mayat
nenek-nenek, itupun sesudah si mayat ada di kuburan. Sumanto tidak pernah berani
makan daging segar, daging rakyat sebagaimana banyak penggede-penggede kita. Sumanto
hanyalah rakyat jelata yang tidak mengerti hukum, itu spele, yang tidak spele
adalah mereka yang mengerti hukum tetapi melanggarnya, mengerti moral namun
menghianatinya, menjadi wakil rakyat tetapi sibuk mewakili kepentingan diri dan
golongannya. Maka prilaku Sumanto secara kwalitatif sesungguhnya adalah wajah
kita semua.
C. Salah logika.
Kita ini biasanya
lebih suka hal-hal besar meskipun berdampak kecil daripada hal kecil yang
berdampak besar. Dalam menentukan syarat pemimpin misalnya, kita lebih suka
yang ideal, harus begini harus begitu dan hal yang melangit lainnya.
Padahal tidak usah muluk muluk, yang
sederhana saja. Yang paling penting dan ada diurutan pertama syarat pemimpin
itu harus seorang manusia, syarat ini
banyak kurang diperhatikan orang, padahal tidak sedikit pemimpin yang berlaku
seperti ia bukan manusia. Bahkan ratusan juta orang dimuka bumi ini sengsara
dan menderita gara-gara pemimpinnya berprilaku tidak seperti manusia, ia
berprilaku seperi binatang. Jujur saja, bukankan prilaku kebinatangan seperti itu
sebenarnya merupakan peristiwa yang telah lama wajar dan rutin dalam dunia politik
dan kekuasaan kita. Fakta ini yang oleh sebagian pihak disebut Political
animal, economical animal dan cultural animal.
Karena syarat ini
diabaikan, maka tidak sedikit pemimpin yang ”maaf” berprilaku seperti anjing,
hemar, tikus, macan, kancil dan sejenisnya. Pemimpin yang selalu berusaha
memenuhi interes biologisnya, yang mengumpulkan kekayaan membabi buta, yang
mati-matian memburu sesuatu yang tidak dapat dibawa mati, yang tidak merasa
malu dengan kekayaan yang diperoleh dengan cara kotor, dan setelah harta itu
diperoleh, ia akan mempertahankannya sampai mati, Ia akan menggonggong “setiap
ada anjing lain berusaha menggerogoti makanannya”. Maka jangan pernah berharap
keadilan dari pemimpin yang seperti itu,
sebab bukankah keinginan anjing itu hanya untuk mengeyangkan
perutnya sendiri, dan tak peduli
dengan anjing-anjing lain yang kelaparan
? dan bila ada anjing lain yang mendekati, ia akan mengusirnya dengan sekuat
tenaga, Al-Qur’an menegaskan, perumpamaan mereka seperti anjing, jika kamu
menghalaunya, diulurkan lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya juga. (Qs. 7 :
175-176).
Begitu
juga, bila pemimpin selalu menuntut kenaikan gaji dan anggaran, berteriak super
kritis terhadap sesuatu, kalau perlu terhadap isu yang mengada-ada “hanya
karena dirinya tidak mendapat bagian”, maka bukankah hemar adalah binatang yang
suka ngomel kesana-kemari bila perutnya lapar ?, dan diam seribu bahasa, tak
peduli terhadap apapun disekelilingnya bila kenyang ?. Bekerja keras bila
dhberi honor tinggi, tetapi malas jika honornya sedikit ?, Ada uang abang sayang, tak ada uang abang
ditendang. Maka menurut Al-Qur’an “Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah
suara hemar” (Qs. 31 : 19). Demikian pula, jika pemimpin punya hobbi memusuhi orang lain, memfitnah,
suka mencari kelemahan orang lain, suka berfikir nigatif, di otaknya hanya ada Win
and Los, dan merasa puas bila berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Maka jelas
pemimpin tersebut berprilaku seperti binatang buas atau macan, kendati
berbentuk tubuh manusia.
Maka biarlah
kita tidak menjadi apa-apa asal masih menjadi manusia, apa gunanya menjadi ini
dan itu kalau yang bersangkutan berubah status menjadi binatang. Biarlah kita
tidak mempunyai apa-apa, asal masih punya
harga diri. Banyak diantara kita yang telah memiliki barang mahal, tetapi harga dirinya sangat murah.
Tidak sedikit diantara kita yang telah memiliki segalanya, tetapi malah tidak
punya harga diri dan rasa malu, Sekaya apapun seseorang, setinggi apapun
jabatannya, bila ia kehilangan harga diri dan rasa malu, maka tidak akan ada
artinya dihadapan manusia, dan lebih lebih dihadapan Allah swt.
D. Catatan Penutup.
Fakta yang sulit
dibantah bahwa saat ini disiplin epistimologis tengah mengalami kerusakan yang sangat
parah, kalau ada seseorang dari peradaban ini mengatakan sesuatu, maka jangan
langsung difahami secara normatif sesuai arti epistimologisnya, tetapi mesti
dicari dulu tafsir interesnya. Manusia belum tentu instiqomah berprilaku
sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis
tertentu, pada situasi soaial politik tertentu, pada peristiwa tertentu,
berprilaku sebagai hewan, kanibal, monster, setan atau iblis. Saat ini kita
mengalami krisis kepercayaan yang luar biasa besar, sebab sebagai rakyat dan
bangsa Indonesia,
kita telah dikecewakan bertubi-tubi oleh penggede-penggede kita. Rasanya, air
mata dan darah orang lain tidak mempan melunakkan hati dan mendidik mereka,
mungkin mereka harus dididik oleh air mata dan darah mereka sendiri.
Pemimpim
belum tentu peminpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh
belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, panutan
belum tentu panutan, bisa juga ia seorang penunggang dan kita dijadikan
kudanya. Cendekiawan belum tentu cendekiawan, bisa juga ia pelacur intelektual.
Astaghfirulloh, negeri elok ini telah
terjangkiti kangker ganas stadium 99, hampir seluruh sendi-sendinya kropos,
lambat laun orang-orangnya mulai kehilangan identitas kemanusiaan, sebagai
gantinya berkembanglah karakter kebinatangan, sikap kasar, egois dan agresif,
otot-otot mereka setiap hari siap menerkam siapa saja sebagai mangsa demi
mempertahankan sahwatnya, sebagian telah menjadi drakula berdarah dingin,
arogan dan materialistis serta siap mengorbankan perasaan kemanusiaan yang
paling luhung sekalipun untuk mengapai ambisinya. Negeri sejuta pulau yang bernama Indonesia
kini telah berubah menjadi “rumah sakit jiwa” yang besar, dimana sebagian besar
orang didalamnya telah terinveksi
kangker dehumanisasi, maka yang
diperlukan bukan lagi penyembuhan individual, melainkan penyembuhan massal.
Terapi yang diberikan haruslah membuat mereka menjadi manusia kembali dan
memperlakukan mereka secara manusiawi pula. Mereka harus diajari berubah dari
semangat memiliki yang material kepada kekeluargaan yang spiritual, dari kebiasan mengambil kepada kebiasaan memberi.
Duh..Gusti, ampuni kami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar