Ujian Nasional tingkat
Sekolah Menengah Atas, Sekolah Menengah Kejuruan dan Sekolah menengah pertama,
berikuit pernik-perniknya telah berakhir.
Sebagaimana dirilis oleh beberapa media, dibanding tahun-tahun sebelumnya,
pelaksanaan ujian kali ini juah lebih buruk.
Unas bukan
hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial, berupa
kecemasan, kecurangan, mental nigatif dan ketidak jujuran. Dari sisi
biaya ujian ini menelan dana hingga trilyun rupiah lebih. Dari sisi pihak
yang terlibat, selain perguruan tinggi juga ada aparat keamanan dari kepolisian
di seluruh Indonesia. Belum lagi beban psikis para pengelola di sekolah. Ada
guru yang teledor tidak mengisi berita acara kecurangan harus berurusan dengan
pihak keamanan, bahkan diancam pidana. Andai saja pihak penyelenggara di
sekolah bisa dipercaya sehingga ujian benar-benar memberikan hasil yang
objektif, maka keterlibatan perguruan tinggi dan lebih-lebih aparat kepolisian,
sama sekali tidak diperlukan. Kenyataannya, kendati pengawasn sudah
begitu ketat semangat guru untuk ‘membantu’ siswanya masih saja terjadi. Di
benak guru mungkin terlintas beban yang berat jika sampai ada anak didiknya
yang tidak lulus, apalagi penyebabnya adalah mata pelajaran yang dia ajarkan.
Secara psikologis, ini akan menjadi beban berat.
Kegiatan yang murni
akademik ini kemudian menjadi polemik berkepanjangan di kalangan para praktisi,
pakar, dan pengelola pendidikan sejak beberapa tahun terakhir. Pasalnya,
kendati banyak pihak menghendaki ujian nasional ditiadakan, pemerintah tetap
berpendirian menyelenggarakan ujian nasional dengan beberapa alasan. Salah
satunya adalah untuk mengukur tingkat kemampuan rata-rata anak secara nasional
sebagai bahan kebijakan pembangunan nasional lebih lanjut. Yang kontra
beranggapan bahwa ujian nasional tidak memberi kesempatan kepada para pengelola
pendidikan, terutama guru untuk mengevaluasi sendiri hasil didikannya.
Selain itu, dengan ujian nasional sepertinya guru tidak begitu dipercaya
oleh pemerintah, lebih-lebih ketika pemerintah meminta perguruan tinggi
negeri di seluruh Indonesia untuk terlibat dalam pengawasan ujian dan
distribusi sosial.
Dampak langsung dari ujian
nasional adalah banyak sekolah yang tidak siap menyelenggarakan ujian nasional
sehingga angka ketidaklulusan tinggi. Akibatnya, sekolah yang demikian tidak
memperoleh kepercayaan masyarakat, sehingga dari tahun ke tahun jumlah muridnya
berkurang, hingga akhirnya tutup. Tidak sedikit sekolah yang mengalami
nasib harus tutup karena tidak ada murid yang mendaftar, terutama
sekolah-sekolah yang dikelola masyarakat. Masyarakat sendiri yang akan
menilai kelayakan apakah sebuah satuan pendidikan bermutu atau tidak. Karena
itu, ujian nasional menjadi peringatan bagi setiap pengelola satuan pendidikan
untuk selalu berupaya meningkatkan mutu pendidikannya, tidak melalui praktik
kecurangan saat ujian dengan memberikan jawaban soal kepada siswa dan
membocorkan naskah ujian, tetapi melalui proses belajar mengajar yang baik.
Sayangnya, ujian nasional
dua tahun terakhir semangat ‘curang’ tersebut masih tampak, sehingga
keterlibatan perguruan tinggi dan aparat kemananan masih diperlukan. Saya
berharap suatu saat ujian nasional tidak diperlukan lagi, sehingga para
penyelenggara pendidikan merasa hak-haknya dihargai. Mereka bisa mengajar dan
menilai sendiri hasil pengajarannya. Dengan ujian sendiri, keterlibatan
perguruan tinggi dan aparat keamanan tidak diperlukan lagi. Namun, syaratnya
adalah semua penyelenggara pendidikan berlaku jujur dalam menilai anak didik,
sehingga diperoleh hasil seobjektif mungkin yang bisa dipakai untuk mengukur
standar hasil belajar secara nasional.
Sekolah harus menjadi
institusi pengembang nilai-nilai kejujuran, kebenaran dan kearifan. Ini semua
dimulai dari perilaku para pendidiknya. Bagaimana mungkin sekolah berharap anak
didiknya menjadi pribadi jujur, sementara pendidiknya sendiri tidak memberikan
tauladan kejujuran?. Karena itu, selama kejujuran belum bisa didapatkan di
sekolah, selama itu pula kepercayaan masyarakat belum diperoleh. Dan,
untuk itu harus dibayar mahal. Saya kira perguruan tinggi perlu membuka
fakultas ketaqwaan jurusan kejujuran.....