Ust.Hefni Zain
Pernyataan perang terhadap korupsi yang dikobarkan
termasuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak menakutkan para
koruptor. Bak pepatah mati satu tumbuh seribu, selalu saja ada pejabat negara
yang ditangkap karena menilap duit rakyat. Penjara ternyata tidak efektif
membuat para koruptor jera ...dan sepertinya mereka semakin berani dan nekad atau bahkan kehilangan akal sehat. Walau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
hampir setiap pekan menangkap pejabat
negara yang diduga terlibat korupsi, tetap saja mereka tak berhenti meniti buih
dan bermain api.
Kita tak habis pikir karena, meski semakin banyak
pejabat negara yang ditangkap KPK, hal itu tidak juga membuat penyelenggara
negara jera. Penjara ternyata tak cukup membuat mereka jera. Jumlah pejabat
negara yang diringkus terus bertambah. Buktinya, kemarin KPK menangkap tangan
Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher. Selain politikus Partai Demokrat itu,
KPK juga menangkap seorang stafnya.Penangkapan Iyus merupakan kelanjutan
operasi tangkap tangan pada Selasa (16/4) malam. Bertempat di rest area Sentul,
Bogor, KPK menangkap 7 orang. Mereka ialah pengusaha, staf Pemerintah Kabupaten
Bogor, serta calo tanah. Di lokasi penangkapan, KPK juga menyita uang dalam
kantong sebesar Rp 850 juta serta dua mobil. Kini 9 orang dalam genggaman KPK.
Mereka diduga terlibat kasus pembebasan tanah di Tanjungsari, Bogor untuk
lokasi pemakaman mewah.
Penangkapan Ketua DPRD Kabupaten Bogor menambah
panjang daftar pejabat negara yang tersandung korupsi. Penangkapan itu mestinya
mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif membuat peraturan untuk menebas
tabiat para pejabat yang suka mengeruk uang rakyat. Bukan malah mengebiri KPK
dengan menanggalkan senjata pamungkas yakni hak menyadap. Kita prihatin karena
gelora memberantas korupsi justru mendapat perlawanan dari dalam pemerintah
sendiri. Pejabat negara seolah berlomba menyiasati peraturan dengan melakukan
transaksi ilegal semata untuk mengeruk uang rakyat. Karena itu hukuman yang
efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan serius.
Sejatinya telah banyak yang mengusulkan mengenai model
hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman gantung, hukum
pancung,
pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik.
pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik.
Kenapa korupsi di Republik ini begitu sulit diberangus?
Banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah minimnya
ketegasan para penegak hukum. Memang, di era reformasi amat banyak perampok
uang negara bertopeng pejabat yang dijebloskan ke penjara. Yang jadi soal,
kebanyakan cuma dihukum ringan. Hukuman ringan itu bukan saja tidak efektif menimbulkan
efek jera bagi koruptor tetapi juga merangsang munculnya embrio baru bagi
pembiakan calon koruptor.
Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku
korupsi. Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi
untuk menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti
pada pelaku utama. Padahal, negara ini sudah memiliki perangkat hukum untuk
menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang Nomor 8/2010
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan
undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang
terlibat dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri,
mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
UU Pencucian Uang yang berprinsip follow the
money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata
itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Sebut
saja Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika dalam kasus pajak. Dari
tangan terpidana Gayus, misalnya, negara menyita Rp74 miliar, sementara harta
Bahasyim senilai Rp60,9 miliar dan US$681.146 dirampas untuk negara. Ada pula M
Nazaruddin dan Wa Ode Nurhayati.
Kita mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) yang kian rajin menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang
ketika KPK membeberkan aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas
Polri Irjen Djoko Susilo senilai lebih dari Rp100 miliar. Terakhir, UU
Pencucian Uang diterapkan ke mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam
perkara suap impor daging sapi.
Selain Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin
sering diterapkan KPK, juga perlu segera direalisasikan Undang-Undang
Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika
semua perangkat undang-undang itu ada, ruang gerak koruptor kian sempit. Para
penyelenggara negara pun akan berpikir seribu kali sebelum menggerogoti uang
negara.
Kalau semua itu belum membuat mereka jera, Seorang
teman bernama Chotib menawarkan bagaimana kalau dicoba model petrus seperti
jaman pak harto atau model eksekusi seperti yang dilakukan anggota kopasus di
LP anggota Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Tapi motifnya bukan balas dendam, solidaritas
teman atau korp, tapi betul-betul solidaritas rakyat jelata. Teman yang satunya
bernama Hafidz nyeletuk, itu kan menegakkan hukum sambil melanggar hukum, itu
model hukum rimba boy.... Menurut saya sebaiknya tatkala koruptor tega hidup
mewah dengan memiskinkan dan menyengsarakan rakyat, negara harus menjawabnya
dengan memiskinkan mereka. Itulah hukuman yang pas agar para penggasak uang
rakyat jera. Tetapi Chotib ngotot, itu belum cukup.... Korupsi di negeri
ini sudah betul-betul meraja laila....(maksudnya : meraja lela)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar