Rabu, 24 April 2013

AGAR PARA KORUPTOR JERA



Ust.Hefni Zain

Pernyataan perang terhadap korupsi yang dikobarkan termasuk oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sama sekali tak menakutkan para koruptor. Bak pepatah mati satu tumbuh seribu, selalu saja ada pejabat negara yang ditangkap karena menilap duit rakyat. Penjara ternyata tidak efektif membuat para koruptor jera ...dan sepertinya  mereka semakin berani dan  nekad atau bahkan kehilangan akal sehat.   Walau KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) hampir  setiap pekan menangkap pejabat negara yang diduga terlibat korupsi, tetap saja mereka tak berhenti meniti buih dan bermain api.
Kita tak habis pikir karena, meski semakin banyak pejabat negara yang ditangkap KPK, hal itu tidak juga membuat penyelenggara negara jera. Penjara ternyata tak cukup membuat mereka jera. Jumlah pejabat negara yang diringkus terus bertambah. Buktinya, kemarin KPK menangkap tangan Ketua DPRD Kabupaten Bogor Iyus Djuher. Selain politikus Partai Demokrat itu, KPK juga menangkap seorang stafnya.Penangkapan Iyus merupakan kelanjutan operasi tangkap tangan pada Selasa (16/4) malam. Bertempat di rest area Sentul, Bogor, KPK menangkap 7 orang. Mereka ialah pengusaha, staf Pemerintah Kabupaten Bogor, serta calo tanah. Di lokasi penangkapan, KPK juga menyita uang dalam kantong sebesar Rp 850 juta serta dua mobil. Kini 9 orang dalam genggaman KPK. Mereka diduga terlibat kasus pembebasan tanah di Tanjungsari, Bogor untuk lokasi pemakaman mewah.
Penangkapan Ketua DPRD Kabupaten Bogor menambah panjang daftar pejabat negara yang tersandung korupsi. Penangkapan itu mestinya mendorong pemerintah dan DPR agar kian kreatif membuat peraturan untuk menebas tabiat para pejabat yang suka mengeruk uang rakyat. Bukan malah mengebiri KPK dengan menanggalkan senjata pamungkas yakni hak menyadap. Kita prihatin karena gelora memberantas korupsi justru mendapat perlawanan dari dalam pemerintah sendiri. Pejabat negara seolah berlomba menyiasati peraturan dengan melakukan transaksi ilegal semata untuk mengeruk uang rakyat. Karena itu hukuman yang efektif agar para koruptor jera harus segera dicari secara radikal dan serius.
Sejatinya telah banyak yang mengusulkan mengenai model hukuman yang dapat membuat jera para koruptor, mulai dari hukuman gantung, hukum pancung,
pemiskinan koruptor dan keluarganya sampai ada yang mengusulkan perubahan nama dari koruptor menjadi maling tengik.
Kenapa korupsi di Republik ini begitu sulit diberangus? Banyak jawaban yang bisa dikemukakan. Namun, yang paling pokok ialah minimnya ketegasan para penegak hukum. Memang, di era reformasi amat banyak perampok uang negara bertopeng pejabat yang dijebloskan ke penjara. Yang jadi soal, kebanyakan cuma dihukum ringan. Hukuman ringan itu bukan saja tidak efektif menimbulkan efek jera bagi koruptor tetapi juga merangsang munculnya embrio baru bagi pembiakan calon koruptor.
Penegak hukum masih suka berbaik hati kepada pelaku korupsi. Mereka lebih suka menggunakan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi untuk menjerat mereka yang muaranya cuma menghasilkan vonis enteng dan berhenti pada pelaku utama. Padahal, negara ini sudah memiliki perangkat hukum untuk menebas kanker korupsi sampai ke akar-akarnya, yakni Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan undang-undang itu, jaksa dan hakim bisa menelikung koruptor dan pihak lain yang terlibat dengan hukuman berat. Lebih dari itu, negara dapat leluasa menelusuri, mengusut, dan menyita aset hasil korupsi sekaligus memiskinkan mereka.
UU Pencucian Uang yang berprinsip follow the money ialah senjata ampuh untuk melibas koruptor. Sayangnya, senjata itu jarang digunakan. Baru segelintir koruptor dibidik dengan UU itu. Sebut saja Gayus Tambunan, Bahasyim Assifie, dan Dhana Widyatmika dalam kasus pajak. Dari tangan terpidana Gayus, misalnya, negara menyita Rp74 miliar, sementara harta Bahasyim senilai Rp60,9 miliar dan US$681.146 dirampas untuk negara. Ada pula M Nazaruddin dan Wa Ode Nurhayati.
Kita mendukung sepenuhnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang kian rajin menggunakan UU Pencucian Uang. Publik pun tercengang ketika KPK membeberkan aset yang disita dari mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Irjen Djoko Susilo senilai lebih dari Rp100 miliar. Terakhir, UU Pencucian Uang diterapkan ke mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq dalam perkara suap impor daging sapi.
Selain Undang-Undang Pencucian Uang yang semakin sering diterapkan KPK, juga perlu segera direalisasikan Undang-Undang Pembuktian Terbalik serta Undang-Undang Perampasan Aset Tindak Pidana. Jika semua perangkat undang-undang itu ada, ruang gerak koruptor kian sempit. Para penyelenggara negara pun akan berpikir seribu kali sebelum menggerogoti uang negara.
Kalau semua itu belum membuat mereka jera, Seorang teman bernama Chotib menawarkan  bagaimana kalau dicoba model petrus seperti jaman pak harto atau model eksekusi seperti yang dilakukan anggota kopasus di LP anggota Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Tapi motifnya bukan balas dendam, solidaritas teman atau korp, tapi betul-betul solidaritas rakyat jelata. Teman yang satunya bernama Hafidz nyeletuk, itu kan menegakkan hukum sambil melanggar hukum, itu model hukum rimba boy.... Menurut saya sebaiknya tatkala koruptor tega hidup mewah dengan memiskinkan dan menyengsarakan rakyat, negara harus menjawabnya dengan memiskinkan mereka. Itulah hukuman yang pas agar para penggasak uang rakyat jera.  Tetapi Chotib ngotot, itu belum cukup.... Korupsi di negeri ini sudah betul-betul meraja laila....(maksudnya : meraja lela)

Tidak ada komentar: