Selasa, 02 April 2013

IDEOLOGI ISLAM TRANSNASIONAL



Wacana "Ideologi Islam Transnasional" atau ideologi Islam antar-negara dimunculkan pertama kali oleh K.H. Hasyim Muzadi pada tahun 2007. Wacana ini semakin kontraversial ketika NU dan Muhammadiyah menerbitkan "Ilusi Negara Islam", sebuah buku yang menyerang kelompok-kelompok fundamentalis dalam Islam. Sejauh ini,  belum ada definisi yang cukup memuaskan mengenai istilah "Islam Transnasional". Namun berdasarkan penggunaan istilah ini dalam wacana keislaman di Indonesia, Islam Transnasional cenderung digunakan untuk mengkerangkai kelompok-kelompok Islam berhaluan keras (fundamentalisme dan turunannya) di satu sisi dan kelompok Islam berhaluan kebarat-baratan (liberal) di sisi lain.
Menurut Bassam Tibi, istilah Fundamentalisme Islam (Ushuliyyah al-Islamiyyah) acapkali digunakan sebagai sebutan bagi "Islam politik" (Political Islam). Di dunia Arab lebih dikenal dengan nama "al-Islam al-Siyasi". Kelompok ini memehami Islam bukan sebagai keimanan atau sistem etika, namun lebih sebagai ideologi politik.  Pada awalnya, kelompok Fundamentalisme memiliki semangat untuk mendirikan negara Islam yang berlandaskan syari'ah melalui organisasi-organisasi dan atau partai-partai politik Islam. Namun akibat Framework kelompok-kelompok Fundamentalisme Islam mengalami kegagalan dalam menyediakan blueprint negara Islam yang efektif, maka gerakan fundamentalisme Islam kemudian berevolusi menjadi neo-fundamentalisme Islam, yang lebih dekat, skriptualis, berpandangan konservatif, menolak negara dan lebih cenderung pada konsepsi komunitas Muslim universal (ummah), berlandaskan syari'ah (Islamic Law) Akibat lain dari kegagalan Islam politik ini juga mengakibatkan kelompok-kelompok neo-fundamentalis teralienasi dari kawasan politik Timur Tengah hingga mencari formulasi wacana dan gerakan yang melampau batas-batas teritorial dan negara
Sementara Syafi'i Ma'arif  mengemukakan tiga teori berkenaan dengan munculnya kelompok fundamentalis dalam Islam; pertama, kegagalan umat Islam dalam menghadapi arus modernitas yang dinilai menyudutkan Islam kemudian berbalik mengadakan perlawan terhadap modernitas dengan berbagai cara. Kedua, munculnya solidaritas Islam terhadap nasib yang menimpa saudara-saudara mereka di Palestina, Kashmir, Afganistan dan Irak. Ketiga, khusus untuk Indonesia, maraknya fundamentalisme di Nusantara lebih disebabkan oleh kegagalan negara mewujudkan cita-cita kemerdekaan berupa tegaknya keadilan sosial dan terciptanya kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat. 
Berdasarkan hasil penelitian yang di-release dan diedarkan oleh Badan Intelejen Nasional (BIN), ideologi Islam berhaluan neo-fundamentalis kini populer disebut dengan ideologi Islam transnasional tersebut dapat dicirikan sebagai berikut: (1) Bersifat antar-negara (Transnasional), (2) Konsep gerakan tidak lagi bertumpu pada nation-state, melainkan konsep ummah. (3) Didominasi oleh corak pemikiran skriptualis, fundamentalisme atau radikal, DAN (4) Secara parsial mengadaptasi gagasan dan instrumen modern.
Bererapa ideologi dan organisasi Islam yang  masuk dalam kelompok ini adalah Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jihadi, Salafi Dakwah dan Salafi Sururi, Jama'ah Tabligh serta Syi'ah.   Sementara ideologi Islam liberal merupakan trend baru yang muncul di dunia Islam. Menurut Muhammad Ali, kemunculan Islam Liberal bukan semata-mata bentuk resistensi terhadap ideologi Islam fundamentalis, karena benih ideologi ini telah muncul sejak dua abad yang lalu di dunia Islam. Dimulai dari tradisi pembaruan Islam pada abad XVII yang bertumpu pada perdebatan teologis mengenai ortodoksi dan heresi, atau legalisme dan mistisisme. Ideologi liberal ini berpandangan bahwa solusi kelompok liberal dan modernis terhadap problem agama dan masyarakat sangat penting dan mendapatkan dukungan publik luas. Hasil interpretasi kelompok liberal dan modernis Islam yang paling utama berkaitan dengan  demokrasi, feminisme, skularisme, penguatan dan hak-hak wanita dan sejumlah konsep serupa. Bahkan, mereka memmbela liberalisme, modernisme, dan humanisme. Lebih jauh, mereka mendorong Muslim dan non-Muslim dapat mendapat keuntungan dari pembaharuan pemikiran yang mereka lakukan demi masyarakat yang lebih terbuka. Mereka juga berpandangan bahwa Islam liberal atau modern Islam adalah otentik, bukan semata-mata ciptaan  Barat, akan tetapi murni merupakan refleksi tradisi Islam yang benar. Berdasarkan hasil kajian Badan Intelejen Indonesia, Ideologi Liberal ini disponsori oleh berbagai organisasi yang berada di bawah Pemerintah Amerika (seperti Nathan Associates Inc., BEDE) dan Perusahaan Multi-Nasional (Seperti UNDP, IMF, World Bank dan CGI).
Di Indonesia, banyak kalangan meng-claim bahwa kelompok radikal telah mempengaruhi umat Islam setempat dengan pahamnnya yang ekstrim untuk tujuan formalisasi Islam. Guna mencapai tujuan tersebut kelompok ini menggunakan cara kekrasan. Cara inilah yang banyak ditantang oleh sebagian kalangan, sebab dalam pandangan mereka tujuan tidak bisa membenarkan cara (al-ghayah la tubaari al-washilah atau man kana amruhu ma’rufan fal-yakun bi ma’rufin) artinya cara tidak akan menjadi baik karena tujuan baik, atau siapapun yang mempunyai tujuan baik hendaknya dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. Tujuan baik , jika diusahakan dengan cara-cara buruk, tentu akan menodai kebaikan itu sendiri.
Masuknya berbagai ideologi transnasional ini ke Indonesia sudah barang tentu menimbulkan benturan dengan organisasi-organisasi Islam Indonesia. Ini dapat dilihat dari  sikap keras yang ditunjukkan oleh  NU dan Muhammadiyah. Sikap NU dapat dilihat dalam Dokumen Penolakan PBNU terhadap Ideologi dan Gerakan Ekstremis Transnasional, dan sikap Muhammadiyah tertuang dalam Surat Keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Nomor 149/Kep/I.0/B/2006. 
Fenomena gerakan Islam transnasional yang terjadi di Indonesia bisa dikatakan unik,  gerakan yang dibangun yakni penguasaan terhadap tempat ibadah seperti masjid-masjid yang dalam sejarahnya tempat ibadah tersebut merupakan basis warga NU dan Muhammdiyah. Gerakan semacam itulah yang menjadi kegelisahan beberapa ormas Islam lokal sehingga pergulatan budaya atau kultur masyarakat kedepan akan mengalami  pergeseran.

Tidak ada komentar: