Rabu, 24 April 2013

CARUT MARUT UJIAN NASIONAL


                                                                      Hefni Zain
Lagi-lagi seperti tahun-tahun sebelumnya penyelenggaraan ujian nasional kembali diwarnai sengkurat dan persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, naskah soal tertukar hingga penundaan pelaksanaannya di berbagai wilayah tanah air. Dan tahun ini sengkurat ujian nasional (UN) benar-benar mencapai puncaknya. Bukan saja tertundanya UN untuk tingkat SMA/SMK dan sederajat di 11 provinsi, penjadwalan ulang UN di 11 provinsi itupun berlangsung sporadis. Di Kalimantan Timur misalnya dari 333 sekolah hanya 155 sekolah yang mendapatkan naskah soal UN.  Atas berulang-ulangnya kejadian  ini, publik meminta pelaksanaan UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia. Bahkan, Presiden SBY dan Wapres Budiono meminta pihak terkait untuk mencari ide-ide baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).
Persoalan mendasar dan terbesar dari UN ialah masih dijadikannya UN sebagai indikator yang menentukan kelulusan siswa. Itulah yang menyebabkan UN menjadi hantu yang sangat menakutkan. Tidak mengherankan bila banyak siswa melakoni perbuatan irasional demi lulus UN. Mengunjungi dan meminta restu ke makam hanyalah satu contoh perbuatan yang dilakukan sejumlah siswa menjelang UN. Sungguh ironis, pendidikan yang semestinya memupuk rasionalitas sebagai manusia justru memicu lahirnya irasionalitas lantaran ketakutan berlebihan terhadap UN. Menyontek juga merupakan efek buruk dari ketakutan tidak lulus UN. Itulah bentuk penjungkirbalikan esensi pendidikan yang semestinya menciptakan manusia jujur, tetapi justru menghasilkan manusia curang.
UN telah membuat sistem pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan rasio, kejujuran, dan kerja keras.Itulah sebabnya beberpa waktu lalu masyarakat melalui citizen lawsuit melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung atas pelaksanaan UN. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan UN dihentikan sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. Tetapi pemerintah tetap saja bandel, meskipun diprotes berbagai kalangan, pemerintah tetap melaksanakan UN, mereka  berkilah dengan berbagai dalih dan dalil disertai setumpuk ulasan dan alasan. Bahkan, alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tiap tahun bertambah.
Penempatan ujian nasional sebagai ujian kelulusan sejatinya hanya akan menyempitkan kurikulum, melanggengkan pengajaran berbasis soal ujian, dan pembelajaran bersifat hafalan. Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji diagnostik pemetaan kualitas layanan pendidikan, itulah inti dari tuntutan para guru besar di perguruan tinggi dan pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Damai Reformasi Pendidikan itu tertuang dalam Petisi Reformasi Pendidikan di Jakarta.
Mestinya pemerintah konsisten bahwa UN  hanya sebagai alat pemetaan. Dan ketika UN berfungsi sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel. Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas siswa dan membuat siswa jenuh belajar. ”Untuk ujian kelulusan, lakukan saja ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi siswanya.
Publik khawatir bahwa fokus berlebihan pada UN sebagai ujian kelulusan berisiko menghilangkan keinginan belajar siswa. Menurut  Prof Dr. H. Babun Suharto, MM. ketua STAIN Jember, mahasiswa sekarang makin sulit diajak berdialog karena tidak memahami persoalan. Ini berawal dari kebiasaan guru yang hanya mengajarkan materi atau soal-soal UN saja. ”Akibatnya, siswa hanya meng- hafalkan materi pelajaran tanpa memahami konsep.  Pemerintah memang selalu mengatakan UN dilakukan oleh pendidik, dengan menunjuk sejumlah anggota BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan) yang direkrut dari kalangan pendidik. Tapi dalam hal ini konteksnya beda, karena pendidik yang dimaksud dalam UU Sisdiknas adalah pelaku otonom di sekolah bersangkutan, bukan pendidik yang dianggap mewakili guru di BSNP. Menurut  Prof  Dr. H. Babun Suharto, yang dimaksud dengan pendidik yang berwenang melakukan evaluasi hasil belajar sekaligus menentukan kelulusan peserta didik sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat 1 adalah pendidik pada satuan pendidikan atau di sekolah tempat guru tersebut melakukan kegiatan pembelajarannya dan bukan pendidik yang ditunjuk oleh pemerintah atau pihak lain yang tidak melakukan pembelajaran pada satuan pendidikannya.
Memang di sejumlah negara lain, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada kemandirian dan profesionalisme badan standardisasi atau lembaga pengujiannya, ini berbeda dengan keberadaan BSNP di Indonesia.   Lembaga semacam ini di Malaysia bernama Lembaga Peperiksaan Malaysia (Malaysian Examinations Syndicate/MES), di Inggris disebut Cambridge Local Examinations Syndicate atau Oxford Delegacy of Local Examinations, di Hongkong disebut Hong Kong Examinations and Assessment Authority, di Selandia Baru bernama New Zealand Qualifications Authority.
Pengamat pendidikan Mudji Sutrisno juga menilai, UN menjadi tembok besar yang menghalangi anak untuk mampu berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. ”Dengan bentuk UN yang sekarang, hilang semua itu. Kini sejumlah pihak mendesak pemerintah agar mengembalikan UN sebagai pemetaan pendidikan, bukan seperti saat ini, yakni sebagai penentu kelulusan.

Tidak ada komentar: