Hefni Zain
Lagi-lagi
seperti tahun-tahun sebelumnya penyelenggaraan ujian nasional kembali diwarnai sengkurat
dan persoalan, mulai dari kebocoran soal dan kunci jawaban, contek massal, naskah
soal tertukar hingga
penundaan pelaksanaannya di berbagai wilayah tanah air. Dan tahun ini sengkurat ujian nasional (UN) benar-benar mencapai puncaknya. Bukan
saja tertundanya UN untuk tingkat SMA/SMK dan sederajat di 11 provinsi, penjadwalan
ulang UN di 11 provinsi itupun berlangsung sporadis. Di Kalimantan Timur
misalnya dari 333 sekolah hanya 155 sekolah yang mendapatkan naskah soal UN. Atas berulang-ulangnya
kejadian ini, publik meminta pelaksanaan
UN dievaluasi kembali untuk melihat baik buruknya bagi pendidikan di Indonesia.
Bahkan, Presiden SBY dan Wapres Budiono meminta pihak terkait untuk mencari ide-ide
baru, cara-cara baru, contoh-contoh baru, dan belajar dari negara-negara lain
yang sudah lebih maju (RRI, 20/4/2013).
Persoalan mendasar dan terbesar
dari UN ialah masih dijadikannya UN sebagai indikator yang menentukan kelulusan
siswa. Itulah yang menyebabkan UN menjadi hantu yang sangat menakutkan. Tidak mengherankan
bila banyak siswa melakoni perbuatan irasional demi lulus UN. Mengunjungi dan
meminta restu ke makam hanyalah satu contoh perbuatan yang dilakukan sejumlah
siswa menjelang UN. Sungguh ironis, pendidikan yang semestinya
memupuk rasionalitas sebagai manusia justru memicu lahirnya irasionalitas
lantaran ketakutan berlebihan terhadap UN. Menyontek juga merupakan efek buruk dari
ketakutan tidak lulus UN. Itulah bentuk penjungkirbalikan esensi pendidikan
yang semestinya menciptakan manusia jujur, tetapi justru menghasilkan manusia
curang.
UN telah membuat sistem
pendidikan kita berorientasi kepada hasil, bukan proses. UN telah menciptakan
sistem pendidikan yang lebih menekankan nilai kelulusan ketimbang kecerdasan
rasio, kejujuran, dan kerja keras.Itulah sebabnya beberpa waktu lalu masyarakat
melalui citizen lawsuit melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung
atas pelaksanaan UN. Mahkamah Agung mengabulkan gugatan itu dan memerintahkan
UN dihentikan sampai pemerintah memperbaiki pelaksanaannya di lapangan. Tetapi
pemerintah tetap saja bandel, meskipun diprotes berbagai kalangan, pemerintah
tetap melaksanakan UN, mereka berkilah dengan berbagai dalih dan
dalil disertai setumpuk ulasan dan
alasan. Bahkan, alokasi anggaran pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
tiap tahun bertambah.
Penempatan
ujian nasional sebagai ujian kelulusan sejatinya hanya akan menyempitkan
kurikulum, melanggengkan pengajaran berbasis soal ujian, dan pembelajaran
bersifat hafalan. Sudah saatnya mengembalikan fungsi UN sebagai uji diagnostik
pemetaan kualitas layanan pendidikan, itulah inti dari tuntutan para guru besar
di perguruan tinggi dan pengamat pendidikan yang tergabung dalam Koalisi Damai
Reformasi Pendidikan itu tertuang dalam Petisi Reformasi Pendidikan di Jakarta.
Mestinya
pemerintah konsisten bahwa UN hanya sebagai
alat pemetaan. Dan ketika UN berfungsi sebagai pemetaan, pelaksanaannya tidak
harus tiap tahun, tetapi secara periodik 3-5 tahun dengan pengambilan sampel.
Jika menjadi ujian kelulusan, ujian nasional (UN) justru mematikan kreativitas
siswa dan membuat siswa jenuh belajar. ”Untuk ujian kelulusan, lakukan saja
ujian sekolah karena guru dan sekolah yang mengetahui secara persis kondisi
siswanya.
Publik
khawatir bahwa fokus berlebihan pada UN sebagai ujian kelulusan berisiko
menghilangkan keinginan belajar siswa. Menurut Prof Dr. H. Babun Suharto, MM. ketua STAIN Jember,
mahasiswa sekarang makin sulit diajak berdialog karena tidak memahami
persoalan. Ini berawal dari kebiasaan guru yang hanya mengajarkan materi atau
soal-soal UN saja. ”Akibatnya,
siswa hanya meng- hafalkan materi pelajaran tanpa memahami konsep. Pemerintah memang selalu
mengatakan UN dilakukan oleh pendidik, dengan menunjuk sejumlah anggota BSNP
(Badan Standar Nasional Pendidikan) yang direkrut dari kalangan pendidik. Tapi dalam hal ini konteksnya beda, karena pendidik
yang dimaksud dalam UU Sisdiknas adalah pelaku otonom di sekolah bersangkutan,
bukan pendidik yang dianggap mewakili guru di BSNP. Menurut
Prof Dr. H. Babun Suharto, yang dimaksud dengan pendidik yang
berwenang melakukan evaluasi hasil belajar sekaligus menentukan kelulusan
peserta didik sebagaimana dimaksud Pasal 58 ayat 1 adalah pendidik pada satuan
pendidikan atau di sekolah tempat guru tersebut melakukan kegiatan
pembelajarannya dan bukan pendidik yang ditunjuk oleh pemerintah atau pihak
lain yang tidak melakukan pembelajaran pada satuan pendidikannya.
Memang di
sejumlah negara lain, kendali mutu pendidikan nasional sangat bergantung pada
kemandirian dan profesionalisme badan standardisasi atau lembaga pengujiannya, ini
berbeda dengan keberadaan BSNP di Indonesia. Lembaga
semacam ini di Malaysia bernama Lembaga Peperiksaan Malaysia (Malaysian
Examinations Syndicate/MES), di Inggris disebut Cambridge Local
Examinations Syndicate atau Oxford Delegacy of Local Examinations, di
Hongkong disebut Hong Kong Examinations and Assessment Authority, di
Selandia Baru bernama New Zealand Qualifications Authority.
Pengamat pendidikan Mudji Sutrisno
juga menilai, UN menjadi tembok besar yang menghalangi anak untuk mampu
berpikir logis, tidak hafalan, dan kritis bertanya. ”Dengan bentuk UN yang
sekarang, hilang semua itu. Kini sejumlah pihak mendesak pemerintah agar mengembalikan
UN sebagai pemetaan pendidikan, bukan seperti saat ini, yakni sebagai penentu
kelulusan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar