Jumat, 05 April 2013

MENDAMAIKAN AGAMA-AGAMA : (Dari Theosofi hingga Filsafat Perennial)



Aldous Huxley, dalam bukunya, The Perennial Philosophy, menjelaskan, bahwa yang pertama kali menggunakan frase ‘perennial philosophy’ adalah Leibniz. Dari karya Huxley itulah, kemudian istilah ‘filsafat perennial’ menjadi terkenal di Barat. Tetapi, perlu dicatat, sebagai mazhab filsafat dan mistisisme serta worldview istilah ‘filsafat perenial’ mulai terkenal berkat kerja keras para pionirnya yang oleh Seyyed Hossen Nasr disebut sebagai ‘The Masters’ (para guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Fritjof Schuon.
Tentang filsafat perenial atau Hikmah Abadi, Huxley menjelaskan: “Prinsip-prinsip dasar Hikmah Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari Kesamaan Tertinggi dalam teologi-teologi, dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih dari 25 abad yang lalu, dan sejak itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan utama Asia dan Eropa.  Jadi, jelas, bahwa tema utama Hikmah Abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan dalam bentuk ‘hakikat-hakikat eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda. Secara lebih rinci, gagasan filsafat perenial ini dijabarkan oleh Fritjof Schuon, melalui buku terkenalnya ‘The Trancendent Unity of Religion’.
Azyumardi Azra, dalam kolom resonansinya di Harian Republika pernah mengangkat gagasan tentang ‘filsafat perenial’, sebagaimana diusulkan oleh Karen Armstrong melalui bukunya, The Great Transformation: The Beginning of Our Religious Traditions (New York: Knoff, 2006). Menurut Azra ada keberlanjutan dan afinitas di antara berbagai agama di dunia, yang biasa disebut sebagai 'kebijaksanaan' atau 'filsafat' perenial atau perenial wisdom yang dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-atiqah. Kebijaksanaan perenial yang tumbuh sejak kemunculan agama, menurut Azra, mengandung banyak kebajikan. Para penganjur agama-agama kuno 'zaman kapak' (Axial Age) misalnya selain mementingkan ritual, tetapi sekaligus sangat menekankan signifikansi etis dan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritual. Mereka mengajarkan, apa yang penting bukan sekadar agama, tetapi bagaimana Anda berbuat kebaikan; bahwa spiritualitas harus berpusat pada empati dan kasih sayang; bahwa manusia harus meninggalkan egoisme, kerakusan, kekerasan, dan ketidak santunan.
Kutipan tentang ajaran agama-agama zaman kapak ini kedengarannya tidak asing. Mereka juga tercakup dalam agama-agama yang muncul lebih belakangan; Yahudi, Kristiani, dan Islam,’’ tulis Azra, yang kemudian menutup tulisannya: Seluruh tradisi besar keagamaan sama-sama mengakui sangat pentingnya kedermawanan dan kebajikan satu sama lain. Menemukan bahwa agama kita masing-masing memiliki afinitas dan kesamaan dengan agama-agama lain merupakan pengalaman yang menguatkan. Jadi, tanpa meninggalkan tradisi sendiri, kita dapat belajar dari yang lain-lain tentang kehidupan kemanusiaan dan peradaban yang lebih baik dan lebih mencerahkan.
Terdapat benang merah antara pemikiran para tokoh filsafat perenial dengan ide-ide gerakan Theosofi.  Pada tahun 1906, Rene Guénon menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi dan agama. Guénon menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Selama kehidupannya di Perancis, Guénon  berpendapat bahwa ilmu yang utama sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga, namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari supranatural dan transenden. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu, ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.
Pengalaman spiritual Rene Guénon dalam gerakan theosofi mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan bersatu pada pada level Kebenaran. (Robin Waterfield, Rene Guénon and the Future of the West: The life and writings of a 20 th-century metaphysician). Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof Schuon (1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon, Orient et Occident.
Kagum dengan pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun. Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.
Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili Al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia bisa dikatakan sebagai seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Dalam pandangan Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Ia berpendapat agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Menurut Schuon, pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada dogma esklusifistik (formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral.
Schuon juga berpendapat esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’ agama. Menurut Schuon, titik-temu agama-agama bukan berada pada level eksoteris, tetapi pada level esoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms), namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Esoterisme menembus simbol-simbol eksoterisme.
Benang merah antara filsafat perenial dengan ide-ide Theosofi juga bisa dilihat dari isi Majalah Theosofi Indonesia edisi ke-3, yang diterbitkan oleh Persatuan Warga Theosofi Indonesia (Perwathin). Misi Theosofi untuk berdiri di atas semua agama, dengan jelas digambarkan oleh tokohnya, HP Blavatsky, dalam wawancara yang dimuat di Majalah ini. Kata Blavatsky, moto Theosofi ialah : ‘’Tidak ada agama yang lebih tinggi dari kebenaran.’’ Tujuan utama para pendiri Mazhab Theosofi Eklektik, yakni mendamaikan semua agama-agama, aliran-aliran dan bangsa-bangsa di bawah sebuah sistem etika umum, berdasarkan pada kebenaran-kebenaran abadi. Blavatsky juga mengklaim, bahwa Theosofi sudah setua dunia itu sendiri, dalam ajaran dan etika-etikanya, karena Theosofi adalah sistem yang paling universal dan luas diantara semuanya.
Arti kata ‘Theosofi’, dijelaskan oleh Blavatsky sebagai berikut: ‘’Kearifan ilahi (Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para dewa. Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan’’ dalam arti yang kita pakai sekarang. Karena itu, Teosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang dimiliki oleh para dewa.’’
Dengan pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak bermaksud menjadi pelebur agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang berada di atas atau di luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan gagasan Pluralisme Agama. Sebagai misal, Blavatsky juga menyinggung masalah aspek esoterik (batin) dan eksoterik (luar), yang berasal dari ajaran Ammonius.
Istilah eksoterik dan esoterik ini kemudian juga digunakan dalam pemikiran filsafat perenial, seperti dikatakan Nurcholish Madjid :”… bahwa setiap agama sebenarnya merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik, tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah "Satu Tuhan Banyak Jalan".”
Namun demikian banyak juga cendekiawan,sebut saja misalnya William C. Chittick  yang mengkritik gagasan ‘hikmah abadi’ ini. Menurut Chittick  gagasan ‘filsafat perenial’ jangan sampai berujuang pada paham kesetaraan agama-agama. Sebab masing-masing agama telah memiliki konsep yang jelas tentang masalah Tuhan, Kebenaran, dan kemanusiaan.  Umat Islam misalnya telah meyakini, bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah membawa misi rahmatan lil alamin, bukan seperti ajaran Ammonius atau Blavatsky.

Tidak ada komentar: