Aldous Huxley, dalam
bukunya, The Perennial Philosophy, menjelaskan, bahwa yang pertama kali
menggunakan frase ‘perennial philosophy’ adalah Leibniz. Dari karya
Huxley itulah, kemudian istilah ‘filsafat perennial’ menjadi
terkenal di Barat. Tetapi, perlu dicatat, sebagai mazhab filsafat dan mistisisme
serta worldview istilah ‘filsafat perenial’ mulai terkenal berkat kerja
keras para pionirnya yang oleh Seyyed Hossen Nasr disebut sebagai ‘The Masters’
(para guru), yakni Rene Guenon, Ananda Coomaraswamy dan Fritjof Schuon.
Tentang filsafat
perenial atau Hikmah Abadi, Huxley menjelaskan: “Prinsip-prinsip dasar Hikmah
Abadi dapat ditemukan diantara legenda dan mitos kuno yang berkembang dalam
masyarakat primitif di seluruh penjuru dunia. Suatu versi dari Kesamaan
Tertinggi dalam teologi-teologi, dulu dan kini, ini pertama kali ditulis lebih
dari 25
abad yang lalu, dan sejak itu tema yang tak pernah bisa tuntas ini dibahas
terus-menerus, dari sudut pandang setiap tradisi agama dan dalam semua bahasan
utama Asia dan Eropa. Jadi, jelas,
bahwa tema utama Hikmah Abadi adalah ‘hakikat esoterik’ yang abadi yang
merupakan asas dan esensi segala sesuatu yang wujud dan yang terekspresikan
dalam bentuk ‘hakikat-hakikat eksoterik’ dengan bahasa yang berbeda-beda. Secara lebih rinci,
gagasan filsafat perenial ini dijabarkan oleh Fritjof Schuon, melalui buku
terkenalnya ‘The Trancendent Unity of Religion’.
Azyumardi
Azra, dalam kolom resonansinya di Harian Republika pernah
mengangkat gagasan tentang ‘filsafat perenial’, sebagaimana diusulkan oleh
Karen Armstrong melalui bukunya, The Great Transformation: The Beginning of Our
Religious Traditions (New York: Knoff, 2006). Menurut Azra
ada keberlanjutan dan afinitas di antara berbagai agama di dunia, yang biasa disebut
sebagai 'kebijaksanaan' atau 'filsafat' perenial atau perenial wisdom yang
dalam terminologi bahasa Arab disebut al-hikmah al-atiqah. Kebijaksanaan
perenial yang tumbuh sejak kemunculan agama, menurut Azra, mengandung banyak
kebajikan. Para penganjur agama-agama kuno 'zaman kapak' (Axial Age) misalnya
selain mementingkan ritual, tetapi sekaligus sangat menekankan signifikansi
etis dan menempatkan moralitas pada jantung kehidupan spiritual. Mereka
mengajarkan, apa yang penting bukan sekadar agama, tetapi bagaimana Anda
berbuat kebaikan; bahwa spiritualitas harus berpusat pada empati dan kasih
sayang; bahwa manusia harus meninggalkan egoisme, kerakusan, kekerasan, dan
ketidak santunan.
Kutipan tentang
ajaran agama-agama zaman kapak ini kedengarannya tidak asing. Mereka juga
tercakup dalam agama-agama yang muncul lebih belakangan; Yahudi, Kristiani, dan
Islam,’’ tulis Azra, yang kemudian menutup tulisannya: Seluruh tradisi besar
keagamaan sama-sama mengakui sangat pentingnya kedermawanan dan kebajikan satu
sama lain. Menemukan bahwa agama kita masing-masing memiliki afinitas dan
kesamaan dengan agama-agama lain merupakan pengalaman yang menguatkan. Jadi,
tanpa meninggalkan tradisi sendiri, kita dapat belajar dari yang lain-lain tentang
kehidupan kemanusiaan dan peradaban yang lebih baik dan lebih mencerahkan.
Terdapat benang merah antara
pemikiran para tokoh filsafat perenial dengan ide-ide gerakan Theosofi. Pada tahun 1906, Rene Guénon
menghidupkan kembali nilai-nilai, hikmah, kebenaran abadi yang ada pada Tradisi
dan agama. Guénon menyebutnya sebagai Primordial Tradition (Tradisi
Primordial). Guénon, yang awalnya Katolik, selanjutnya “memeluk” Islam pada
tahun 1912. (nama Islamnya Abdul Wahid Yahya). Selama kehidupannya di Perancis,
Guénon berpendapat bahwa ilmu yang utama
sebenarnya adalah ilmu tentang spiritual. Ilmu yang lain harus dicapai juga,
namun ia hanya akan bermakna dan bermanfaat jika dikaitkan dengan ilmu
spiritual. Menurut Guénon, substansi dari ilmu spiritual bersumber dari
supranatural dan transenden. Ilmu tersebut adalah universal. Oleh sebab itu,
ilmu tersebut tidak dibatasi oleh suatu kelompok agama tertentu. Ia adalah
milik bersama semua Tradisi Primordial (Primordial Tradition). Perbedaan teknis
yang terjadi merupakan jalan dan cara yang berbeda untuk merealisasikan
Kebenaran. Perbedaan tersebut sah-sah saja karena setiap agama memiliki
kontribusinya yang unik untuk memahami Realitas Akhir.
Pengalaman spiritual
Rene Guénon dalam gerakan theosofi
mendorongnya untuk menyimpulkan bahwa semua agama memiliki kebenaran dan
bersatu pada pada level Kebenaran. (Robin Waterfield, Rene Guénon and the
Future of the West: The life and writings of a 20 th-century
metaphysician). Salah seorang tokoh penerus pemikiran Guénon adalah Frithjof
Schuon (1907-1998). Sejak berusia 16 tahun, ia telah membaca karya Guénon,
Orient et Occident.
Kagum dengan
pemikiran Guénon, Schuon saling berkirim surat dengan Guénon selama 20 tahun.
Setelah berkorespodensi sekian lama, akhirnya, untuk pertama kalinya Schuon
bertemu dengan Guénon di Mesir pada tahun 1938.
Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili Al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia bisa dikatakan sebagai seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Schuon “memeluk” Islam dan dikenal sebagai Isa Nuruddin Ahmad al-Shadhili Al-Darquwi al-Alawi al-Maryami. Ia bisa dikatakan sebagai seorang tokoh terkemuka dalam religio perennis (Agama Abadi). Ia menegaskan prinsip-prinsip metafisika tradisional, mengeksplorasi dimensi-dimensi esoteris agama, menembus bentuk-bentuk mitologis dan agama serta mengkritik modernitas. Ia mengangkat perbedaan antara dimensi-dimensi tradisi agama eksoteris dan esoteris sekaligus menyingkap titik temu metafisik antar semua agama-agama ortodoks. Ia mengungkap Satu-satunya Realitas Akhir, Yang Mutlak, Yang Tidak Terbatas dan Maha Sempurna. Ia menyeru supaya manusia dekat kepada-Nya.
Dalam pandangan
Schuon, sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama adalah berbeda, namun nun
jauh di kedalaman masing-masing agama, ada ‘a common ground’. Ia berpendapat
agama-agama mengandung dimensi eksoterik dan esoterik. Menurut Schuon,
pandangan eksoteris, bukan saja benar dan sah bahkan juga keharusan mutlak bagi
keselamatan (salvation) individu. Bagaimanapun, kebenaran eksoteris adalah
relatif. Inti dari eksoteris adalah ‘kepercayaan’ kepada dogma esklusifistik
(formalistik)--dan kepatuhan terhadap hukum ritual dan moral.
Schuon juga
berpendapat esoteris adalah aspek metafisis dan dimensi internal agama. Tanpa
esoterisme, agama akan teredusir menjadi sekedar aspek-aspek eksternal dan
dogmatis-formalistik. Esoterisme dan eksoterisme saling melengkapi. Esoteris
bagaikan “hati” dan eksoteris bagaikan ‘badan’ agama. Menurut
Schuon, titik-temu agama-agama bukan berada pada level eksoteris, tetapi pada
level esoteris. Sekalipun agama hidup di dalam dunia bentuk (a world of forms),
namun ia bersumber dari Esensi yang Tak Berbentuk (the formless Essence). Agama
memiliki dimensi esoteris yang berada di atas dimensi eksoteris. Esoterisme
menembus simbol-simbol eksoterisme.
Benang
merah antara filsafat perenial dengan ide-ide Theosofi juga bisa dilihat dari
isi Majalah Theosofi Indonesia edisi ke-3, yang diterbitkan oleh Persatuan
Warga Theosofi Indonesia (Perwathin). Misi Theosofi untuk berdiri di atas semua
agama, dengan jelas digambarkan oleh tokohnya, HP Blavatsky, dalam wawancara
yang dimuat di Majalah ini. Kata Blavatsky, moto Theosofi ialah : ‘’Tidak ada
agama yang lebih tinggi dari kebenaran.’’ Tujuan utama para pendiri Mazhab
Theosofi Eklektik, yakni mendamaikan semua agama-agama, aliran-aliran dan
bangsa-bangsa di bawah sebuah sistem etika umum, berdasarkan pada
kebenaran-kebenaran abadi. Blavatsky juga mengklaim, bahwa Theosofi sudah setua
dunia itu sendiri, dalam ajaran dan etika-etikanya, karena Theosofi adalah
sistem yang paling universal dan luas diantara semuanya.
Arti kata
‘Theosofi’, dijelaskan oleh Blavatsky sebagai berikut: ‘’Kearifan ilahi
(Theosophia) atau kearifan para dewa, sebagai theogonia, asal-usul para dewa.
Kata theos berarti seorang dewa dalam bahasa Yunani, salah satu dari
makhluk-makhluk ilahi, yang pasti bukan ‘’Tuhan’’ dalam arti yang kita pakai
sekarang. Karena itu, Teosofi bukanlah ‘Kebijaksanaan Tuhan’, seperti yang
diterjemahkan sebagian orang, tetapi ‘Kebijaksanaan ilahi’ seperti yang
dimiliki oleh para dewa.’’
Dengan
pandangan dan misi seperti itu, Theosofi tampak bermaksud menjadi pelebur
agama-agama atau menjadi kelompok ‘super-agama’ yang berada di atas atau di
luar agama-agama yang ada. Hal ini sangat sejalan dengan gagasan Pluralisme
Agama. Sebagai misal, Blavatsky juga menyinggung masalah aspek esoterik (batin)
dan eksoterik (luar), yang berasal dari ajaran Ammonius.
Istilah
eksoterik dan esoterik ini kemudian juga digunakan dalam pemikiran filsafat
perenial, seperti dikatakan Nurcholish Madjid :”… bahwa setiap agama sebenarnya
merupakan ekspresi keimanan terhadap Tuhan yang sama. Ibarat
roda, pusat roda itu adalah Tuhan, dan jari-jari itu adalah jalan dari berbagai
Agama. Filsafat perenial juga membagi agama pada level esoterik (batin) dan
eksoterik (lahir). Satu Agama berbeda dengan agama lain dalam level eksoterik,
tetapi relatif sama dalam level esoteriknya. Oleh karena itu ada istilah
"Satu Tuhan Banyak Jalan".”
Namun
demikian banyak juga cendekiawan,sebut saja misalnya William C. Chittick yang mengkritik gagasan ‘hikmah abadi’ ini. Menurut
Chittick gagasan
‘filsafat perenial’ jangan sampai berujuang pada paham
kesetaraan agama-agama. Sebab masing-masing agama telah memiliki konsep yang
jelas tentang masalah Tuhan, Kebenaran, dan kemanusiaan. Umat Islam misalnya telah meyakini,
bahwa ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw adalah membawa misi rahmatan
lil alamin, bukan seperti ajaran Ammonius atau
Blavatsky.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar