Senin, 29 April 2013

MENGKRITISI KARAKTERISTIK UNAS




Selama ini unas cenderung dikemas sebagai sistem evaluasi yang menggunakan asumsi pendidikan behavioristik. Dalam tradisi behaviorisme, evaluasi prestasi siswa dilakukan dengan melihat level hierarki prestasi, dan menekankan benar atau salah (lihat Gardner, 2006: 55).  Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching), menyempurnakan (completion), dan salah atau benar (true or false). Tes objektif dijadikan pilihan karena praktisi pendidikan behavioris memandang kekuatan menghafal siswa adalah sesuatu yang dipandang sangat penting.
Dalam melihat hierarki prestasi siswa, mereka yang berada di bawah standar karena banyak kesalahan dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan, dinyatakan tidak lulus. Mereka diberi kesempatan memperbaiki pada mapel yang kurang atau tidak lulus tes formatif maupun sumatif, melalui program remedial. Pemerintah menyiapkan paket C, semacam remedial bagi mereka yang tidak lulus unas.
Dari Dimensi Kognitif ke Metakognitif
Unas tak dapat dimungkiri bukan hanya memakan ongkos material yang besar, tetapi juga biaya immaterial. Hampir bisa dipastikan, peningkatan standar kelulusan ujian nasional akan mendorong peningkatan kecemasan banyak pihak. Ancaman tidak lulus kian jadi momok. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah, bahkan penyelenggara unas itu sendiri, akan mengalami tekanan psikologis yang semakin besar.
Seharusnya tekanan psikologis seperti itu dihadapi dengan semakin meningkatkan proses dan motivasi belajar. Namun, praktiknya tekanan psikologis itu justru dihadapi dengan sejumlah praktik perilaku menyimpang. Setiap tahun selalu muncul kasus pencurian soal, perjokian, kepala sekolah membuat tim sukses, mengajari anak-anak didiknya sendiri bekerja sama, bukan dalam kebaikan, tetapi ketika mengerjakan soal unas. Dengan ongkos sebesar itu, unas faktanya hanya mengukur satu dimensi kecerdasan, yaitu dimensi kognitif saja dari sekian multidimensi intelegensia siswa. Walaupun unas masih mensyaratkan siswa harus lulus di ujian sekolah, betapapun bagusnya nilai ujian sekolah tidak bisa dijadikan kompensasi terhadap nilai unas yang berada di bawah standar kelulusan.
Para ahli pendidikan konstruktivistik memandang dimensi kognitif belum cukup dijadikan dasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks. Dimensi kognitif memang menjadikan siswa cerdas dan pintar. Namun, seperti yang digagas penganut pendidikan konstruktivistik, untuk dapat menghadapi kehidupan yang kompleks ini, siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan kognitif, afektif maupun motorik. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa dihadapi dengan kecerdasan tunggal, dalam hal ini kognitif saja.
Kehidupan yang kompleks membutuhkan respons berpikir secara divergent. Logika Jawa mengatakan, “pinter” saja tidak cukup, tetapi dalam menghadapi kehidupan ini orang harus “pinter-pinter”. Menggunakan istilah Mary James, cerdas kognitif saja tidak cukup, tetapi hidup ini memerlukan kecerdasan metacognitive, yakni perpaduan antara kecerdasan afektif, kognitif, maupun motorik. Kecerdasan itulah yang memungkinkan lahirnya resilience behavior, yakni perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan kehidupan.
Dengan resilience behavior yang baik, siswa dapat menentukan arah hidupnya sendiri (self-directing) dalam membangun masa depan. Siswa juga dapat memonitor sendiri (self-monitoring) dengan senantiasa bersikap kritis terhadap apa yang selama ini dia lakukan. Siswa juga bisa melakukan penataan dan antisipasi sendiri (self-regulation) dalam memecahkan masalah.
Bandingkan dengan model evaluasi yang diterapkan dalam unas yang memilih memakai sistem tes objektif. Pemerintah sebagai penyelenggara unas memang diuntungkan karena pekerjaan evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan dengan gampang. Mereka dapat menggunakan komputer untuk melakukan skoring hasil tes objektif siswa dengan cepat. Namun, siswa hanya diuntungkan dalam menguasai dan menghafal pengetahuan yang dirancang kurikulum dan silabus.
Dalam sistem tes objektif kemampuan siswa menggunakan kecerdasan kreatif mengantisipasi kehidupan nyata yang kompleks ini tidak termonitor secara pasti. Masalahnya, siswa hanya belajar apa yang ada dalam kurikulum dan silabus, tidak belajar apa yang ada dalam hidup dan kehidupan. Padahal, apa yang ada dalam hidup dan kehidupan sungguh lebih kompleks daripada apa yang ditulis dalam kurikulum, silabus maupun bahan-bahan ajar.
Perlu Penilaian Otentik
Hanya dengan mengajari siswa tentang hidup dan kehidupanlah, output dan outcome pendidikan kita akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten sehingga menjadikan ilmu pengetahuannya bermakna. Sistem evaluasi yang menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang dapat menjadikan ilmu pengetahuan yang diperoleh bermakna untuk dirinya dan sesama.
Seperti yang dikatakan Wiggins (1998), sistem evaluasi akan efektif jika didasarkan prinsip-prinsip penilaian otentik. Penilaian dalam hal ini dilakukan dalam konteks pembelajaran yang nyata. Lantas di dalamnya disusun model evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi pengetahuan secara otentik, menumbuhkan disiplin mencari informasi, pengetahuan, dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan masalah di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.
Model penilaian otentik ini tidak mengandalkan pemberian tanda dan skoring, salah atau benar, melainkan menilai kondisi mentalitas kepribadian yang dilakukan dalam setting yang nyata, seperti penyelesaian tugas tertentu. Misalnya, dalam menyelesaikan tugas membuat desain arsitektural, pemahaman dan pemanfaatan sumber daya alam tertentu, membaca perilaku anak jalanan, membaca akar kekerasan berikut pemecahannya, perilaku ekonomi politik komunitas tertentu, dan sebagainya.
Strategi penilaian otentik tidak mengedepankan tes objektif, melainkan lebih mengedepankan model evaluasi terfokus sehingga diketahui intensitas perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu, melihat profil siswa, membuat jurnal dan portfolio pembelajaran siswa, contoh-contoh penyelesaian tugas, penilaian kawan baya dan sekaligus self-evaluation siswa itu sendiri. Jika strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa diharapkan pendidikan menghasilkan manusia yang benar-benar kompeten, baik dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun dalam membangun kehidupan bermakna bagi dirinya serta sesama.

Tidak ada komentar: