Selama ini unas cenderung dikemas sebagai sistem evaluasi yang menggunakan
asumsi pendidikan behavioristik. Dalam tradisi behaviorisme, evaluasi prestasi
siswa dilakukan dengan melihat level hierarki prestasi, dan menekankan benar
atau salah (lihat Gardner, 2006: 55). Pertanyaan-pertanyaan
yang diajukan dalam bentuk objective test dengan lebih sering menggunakan
sistem tertutup, seperti multiple choice, pencocokan (matching),
menyempurnakan (completion), dan salah atau benar (true or false).
Tes objektif dijadikan pilihan karena praktisi pendidikan behavioris memandang
kekuatan menghafal siswa adalah sesuatu yang dipandang sangat penting.
Dalam melihat hierarki prestasi siswa, mereka yang berada di bawah standar
karena banyak kesalahan dalam jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan,
dinyatakan tidak lulus. Mereka diberi kesempatan memperbaiki pada mapel yang kurang
atau tidak lulus tes formatif maupun sumatif, melalui program remedial.
Pemerintah menyiapkan paket C, semacam remedial bagi mereka yang tidak lulus
unas.
Dari Dimensi Kognitif ke Metakognitif
Unas tak dapat dimungkiri bukan hanya memakan ongkos material yang besar,
tetapi juga biaya immaterial. Hampir bisa dipastikan, peningkatan standar
kelulusan ujian nasional akan mendorong peningkatan kecemasan banyak pihak.
Ancaman tidak lulus kian jadi momok. Siswa, orang tua, guru, kepala sekolah,
bahkan penyelenggara unas itu sendiri, akan mengalami tekanan psikologis yang
semakin besar.
Seharusnya tekanan psikologis seperti itu dihadapi dengan semakin
meningkatkan proses dan motivasi belajar. Namun, praktiknya tekanan psikologis
itu justru dihadapi dengan sejumlah praktik perilaku menyimpang. Setiap tahun
selalu muncul kasus pencurian soal, perjokian, kepala sekolah membuat tim
sukses, mengajari anak-anak didiknya sendiri bekerja sama, bukan dalam
kebaikan, tetapi ketika mengerjakan soal unas. Dengan ongkos sebesar itu, unas
faktanya hanya mengukur satu dimensi kecerdasan, yaitu dimensi kognitif saja
dari sekian multidimensi intelegensia siswa. Walaupun unas masih mensyaratkan
siswa harus lulus di ujian sekolah, betapapun bagusnya nilai ujian sekolah
tidak bisa dijadikan kompensasi terhadap nilai unas yang berada di bawah
standar kelulusan.
Para ahli pendidikan konstruktivistik memandang dimensi kognitif belum
cukup dijadikan dasar untuk menghadapi kehidupan yang kompleks. Dimensi
kognitif memang menjadikan siswa cerdas dan pintar. Namun, seperti yang digagas
penganut pendidikan konstruktivistik, untuk dapat menghadapi kehidupan yang
kompleks ini, siswa harus memiliki kecerdasan metakognitif, meliputi kecerdasan
kognitif, afektif maupun motorik. Kehidupan yang kompleks ini tidak bisa
dihadapi dengan kecerdasan tunggal, dalam hal ini kognitif saja.
Kehidupan yang kompleks membutuhkan respons berpikir secara divergent.
Logika Jawa mengatakan, “pinter” saja tidak cukup, tetapi dalam menghadapi
kehidupan ini orang harus “pinter-pinter”. Menggunakan istilah Mary James,
cerdas kognitif saja tidak cukup, tetapi hidup ini memerlukan kecerdasan
metacognitive, yakni perpaduan antara kecerdasan afektif, kognitif, maupun
motorik. Kecerdasan itulah yang memungkinkan lahirnya resilience behavior,
yakni perilaku cerdas siswa dalam membangun keseimbangan menghadapi hidup dan
kehidupan.
Dengan resilience behavior yang baik, siswa dapat menentukan arah hidupnya
sendiri (self-directing) dalam membangun masa depan. Siswa juga dapat memonitor
sendiri (self-monitoring) dengan senantiasa bersikap kritis terhadap apa yang
selama ini dia lakukan. Siswa juga bisa melakukan penataan dan antisipasi
sendiri (self-regulation) dalam memecahkan masalah.
Bandingkan dengan model evaluasi yang diterapkan dalam unas yang memilih
memakai sistem tes objektif. Pemerintah sebagai penyelenggara unas memang
diuntungkan karena pekerjaan evaluasi terhadap siswa dapat dilakukan dengan
gampang. Mereka dapat menggunakan komputer untuk melakukan skoring hasil tes
objektif siswa dengan cepat. Namun, siswa hanya diuntungkan dalam menguasai dan
menghafal pengetahuan yang dirancang kurikulum dan silabus.
Dalam sistem tes objektif kemampuan siswa menggunakan kecerdasan kreatif
mengantisipasi kehidupan nyata yang kompleks ini tidak termonitor secara pasti.
Masalahnya, siswa hanya belajar apa yang ada dalam kurikulum dan silabus, tidak
belajar apa yang ada dalam hidup dan kehidupan. Padahal, apa yang ada dalam
hidup dan kehidupan sungguh lebih kompleks daripada apa yang ditulis dalam
kurikulum, silabus maupun bahan-bahan ajar.
Perlu Penilaian Otentik
Hanya dengan mengajari siswa tentang hidup dan kehidupanlah, output dan
outcome pendidikan kita akan menghasilkan sumber daya manusia yang kompeten
sehingga menjadikan ilmu pengetahuannya bermakna. Sistem evaluasi yang
menggunakan objective test seperti yang dipakai unas sangat tidak memadai untuk
dapat mengantarkan siswa menjadi manusia yang berkompeten, yang dapat
menjadikan ilmu pengetahuan yang diperoleh bermakna untuk dirinya dan sesama.
Seperti yang dikatakan Wiggins (1998), sistem evaluasi akan efektif jika
didasarkan prinsip-prinsip penilaian otentik. Penilaian dalam hal ini dilakukan
dalam konteks pembelajaran yang nyata. Lantas di dalamnya disusun model
evaluasi yang mendorong siswa mampu melakukan konstruk dan rekonstruksi
pengetahuan secara otentik, menumbuhkan disiplin mencari informasi,
pengetahuan, dan nilai-nilai untuk memecahkan masalah. Bukan hanya memecahkan
masalah di sekolah, tetapi dalam kehidupan nyata di luar sekolah.
Model penilaian otentik ini tidak mengandalkan pemberian tanda dan skoring,
salah atau benar, melainkan menilai kondisi mentalitas kepribadian yang
dilakukan dalam setting yang nyata, seperti penyelesaian tugas tertentu. Misalnya,
dalam menyelesaikan tugas membuat desain arsitektural, pemahaman dan
pemanfaatan sumber daya alam tertentu, membaca perilaku anak jalanan, membaca
akar kekerasan berikut pemecahannya, perilaku ekonomi politik komunitas
tertentu, dan sebagainya.
Strategi penilaian otentik tidak mengedepankan tes objektif, melainkan
lebih mengedepankan model evaluasi terfokus sehingga diketahui intensitas
perkembangan pembelajaran siswa dalam periode tertentu, melihat profil siswa,
membuat jurnal dan portfolio pembelajaran siswa, contoh-contoh penyelesaian
tugas, penilaian kawan baya dan sekaligus self-evaluation siswa itu sendiri. Jika
strategi evaluasi menggunakan model penilaian otentik seperti itu, lebih bisa
diharapkan pendidikan menghasilkan manusia yang benar-benar kompeten, baik
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun dalam membangun kehidupan bermakna
bagi dirinya serta sesama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar