Jumat, 05 April 2013

TREND BARU KEBERAGAMAAN MANUSIA



Ust. Hefni Zain
Dalam beberapa dekade terakhir, tampak terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama, dari yang dahulu terbatas pada “identitas kearah historitas”. Dari yang hanya berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus “essensi” kearah “eksistensi”.
Dalam pergaulan dunia yang kian transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk melihat fenomena “agama”  secara aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core” dari keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”. Sedang tradisi, sebagaimana maklum adalah sulit dipisahkan dari faktor “human construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial, ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga  melibatkan kesadaran berkelompok (sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan kebutuhan guna membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis) bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong munculnya kesadaran baru dalam keberagamaan seseorang adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah antara  konsep ajaran agama dengan realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual ajaran agama  diyakini dapat membawa manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada sesuatu yang salah,  faktor inilah yang memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama, baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran agama yang sempurna, tetapi  realitas masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Mestinya ajaran yang terbaik pasti melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga ikut memberikan kontribusi signifikan bagi munculnya kesadaran baru dalam keberagamaan seseorang adalah  tatkala sains dan teknologi mengalami kegagalan dalam memberikan pemecahan dan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru.
Sungguh ironi, dibalik keberhasilan manusia modern –dengan IPTEK-menembus tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik, dll, ternyata disisi lain juga menyembulkan embrio ancaman baru bagi masa depan harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, ketika perkembangan iptek itu kurang diimbangi oleh pengembangan afeksi dan spirirtualitas yang memadai, maka manusia modern tidak dapat menikmati nilai kemajuan yang dicapainya, bahkan yang terjadi adalah “kegersangan psikologis”, krisis identitas dan krisis kepercayaan, yang ujung-ujungnya tak ayal muncullah nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis .
Dari sini lalu muncul arus balik besar-besaran dalam orientasi dan wacana intelektualitas manusia, yakni munculnya kerinduan yang begitu mendalam akan nilai-nilai spiritual dan agama yang diharapkan dapat  menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom alienasi yang dideritanya.
Dari uraian diatas, kita dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat  yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai.  Apalagi di era postmodernisme seperti sekarang ini –yang menurut Gellner (1998:78)– ditandai dengan fundamentalisme, revitalisme dan dekonstruksiisme,  ternyata kajian agama secara akademik ilmiyah semakin dibutuhkan manusia. Meski  cepat-cepat harus dikatakan  bahwa  kajian  dan penelitian agama secara akademik  bukan dimaksudkan untuk membedah hal-hal  yang berada diluar jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan untuk memahami dan menerangkan implikasi dan konsekwensi pemilikan pemikiran teologis secara khusus dan realitas keberagamaan manusia secara umum.  Disamping yang fundamental dimaksudkan agar  agama tidak saja relevan dengan tuntutan perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan, way of  live, weltanschauung, dan  falsafah al hayah.

Tidak ada komentar: