Ust. Hefni Zain
Dalam
beberapa dekade terakhir, tampak terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang agama,
dari yang dahulu terbatas pada “identitas kearah historitas”. Dari yang hanya
berputar-putar pada doktrin kearah entitas sosiologis. Dari diskursus
“essensi” kearah “eksistensi”.
Dalam pergaulan dunia yang kian transparan, orang tidak dapat dipersalahkan untuk
melihat fenomena “agama” secara
aspektual, dimensional dan bahkan multi dimensional. Selain agama memang
mempunyai doktrin teologis normatif, dan memang disitulah letak “hard core”
dari keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai “tradisi”.
Sedang tradisi, sebagaimana maklum adalah sulit dipisahkan dari faktor “human
construction” yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sejarah sosial,
ekonomi, politik dan budaya yang amat panjang.
Agama, lebih-lebih teologi, tidak lagi terbatas hanya sekedar menerangkan
hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi secara tidak terelekkan juga melibatkan kesadaran berkelompok
(sosiologis), kesadaran pencarian asal-usul agama (antropologis), pemenuhan
kebutuhan guna membentuk kepribadian yang kuat dan ketenangan jiwa (psikologis)
bahkan ajaran agama dapat diteliti sejauhmana keterkaitan ajaran etiknya dengan
corak pandangan hidup yang optimal (ekonomi).
Salah satu faktor yang mendorong munculnya kesadaran baru dalam
keberagamaan seseorang adalah terjadinya kesenjangan yang cukup parah
antara konsep ajaran agama dengan
realitas konkrit keseharian pengikut agama. Artinya ketika secara konseptual
ajaran agama diyakini dapat membawa
manusia kearah kesempurnaan, sedangkan realitas objektif umat beragama tidak
demikian atau bahkan menunjukkan yang sebaliknya, maka berarti telah ada
sesuatu yang salah, faktor inilah yang
memicu keinginan manusia untuk semakin intensif mengkaji dan meneliti agama,
baik sebagai doktrin maupun sebagai produk sejarah. Sebab kalau hanya ajaran
agama yang sempurna, tetapi realitas
masyarakat beragama masih tertinggal di banyak bidang, maka keberagamaan itu
sesungguhnya mirip tripping yang melayang-layang di alam
otopistik. Karena sesungguhnya ketinggian ajaran agama pada aras konsepsional
tanpa didukung oleh eksplorasi metodologis dan aplikasi yang riil, hanya akan
berputar-putar pada domaian yang unthinkable. Mestinya ajaran yang terbaik
pasti melahirkan umat terbaik pula.
Faktor lain yang juga ikut memberikan kontribusi signifikan bagi munculnya
kesadaran baru dalam keberagamaan seseorang adalah tatkala sains dan teknologi
mengalami kegagalan dalam memberikan pemecahan dan jawaban terhadap persoalan-persoalan
yang dihadapi manusia, dan bahkan sebaliknya pada sisi-sisi
tertentu sains dan teknologi justru banyak menciptakan berbagai persoalan baru.
Sungguh ironi, dibalik keberhasilan manusia modern –dengan IPTEK-menembus
tata surya, membuat pemetaan planet, membuat generator, turbin, supersonik,
dll, ternyata disisi lain juga menyembulkan embrio ancaman baru bagi masa depan
harkat, martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan kata lain, ketika perkembangan
iptek itu kurang diimbangi oleh pengembangan afeksi dan spirirtualitas yang
memadai, maka manusia modern tidak dapat menikmati nilai kemajuan yang
dicapainya, bahkan yang terjadi adalah “kegersangan psikologis”, krisis
identitas dan krisis kepercayaan, yang ujung-ujungnya tak
ayal muncullah nistapa umat manusia berupa ketegangan emosional, frustasi, kehilangan
pegangan dan bahkan pemberontakan psikologis .
Dari sini lalu muncul arus balik besar-besaran dalam orientasi dan wacana intelektualitas
manusia, yakni munculnya kerinduan yang begitu mendalam akan nilai-nilai
spiritual dan agama yang diharapkan dapat
menyirami kegersangan psikologi mereka dan mengobati penyakit sindrom
alienasi yang dideritanya.
Dari uraian diatas, kita dapat memahami mengapa kajian agama yang intensif
justru labih banyak dilakukan oleh komunitas masyarakat
yang dulunya menganggap agama hanyalah hayalan manusia terasing atau
sublimasi dari keinginan manusia yang tak sampai. Apalagi di era postmodernisme seperti
sekarang ini –yang menurut Gellner (1998:78)– ditandai dengan fundamentalisme,
revitalisme dan dekonstruksiisme, ternyata
kajian agama secara akademik ilmiyah semakin dibutuhkan manusia. Meski cepat-cepat harus dikatakan bahwa
kajian dan penelitian agama
secara akademik bukan dimaksudkan untuk
membedah hal-hal yang berada diluar
jangkauan kapasitas nalar, tetapi lebih dimaksudkan untuk memahami dan
menerangkan implikasi dan konsekwensi pemilikan pemikiran teologis secara
khusus dan realitas keberagamaan manusia secara umum. Disamping yang fundamental dimaksudkan agar agama tidak saja relevan dengan tuntutan
perkembangan zaman, tetapi juga untuk mengefektifkan fungsinya sebagai rujukan,
way of live, weltanschauung, dan falsafah al hayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar