Senin, 22 April 2013

HABIS GELAP BELUM TERBIT TERANG




Tidak disangsikan bahwa Kartini merupakan simbol pergerakan perempuan di Indonesia. Dulu, Kartini melawan sistem ketidak adilan melalui tulisan surat-suratnya. Surat-surat itu dikirim ke teman-temannya lalu menyebar mendunia. Tulisan Kartini itu bertema “habis gelap terbitlah terang”.  
Saat ini tatkala kita memeriksa bacaan putra putri kita dirumah atau melihat judul buku yang mereka hafal, kita kadang terkejut, karena yang mereka gemari bukannya kisah tentang perjuangan Raden Ajeng Kartini, melainkan sederet buku tentang kisah petualangan Cinderella karya Cristian Anderson, Asterix karangan Goscinny atau Lucky luke  karya Morris  Fauchei. Tampaknya bagi anak-anak sekarang, kisah kepahlawanan tokoh nasional telah tergeser oleh ketenaran Demi more, Mc Hammer, Eric Clapton atau Madonna. Dan kalau masih ada yang berbau nasional hanyalah tentang Wiro Sableng atau si Buta dari gua hantu. Itu masih mendingan ketimbang novelnya Fredy.   Film-film nasional yang bernuansa perjuangan dan kepahlawanan semacam Naga Bonar dan Cut Nya’ Dein  ternyata kalah menarik dibanding film Barat seperti  Restless, Orginal Sin atau juga Titanic . Ibu ibu muda juga tidak lagi menyanyikan dendang  Lir sa’ alir, Neleng neng gung, tombu ati dsb, karena dianggap kalah ngetren dengan lagu Nowhere, Sweet Dreams, atau juga humko humisi curalo dari negri Bahadur. Kalau  toh masih ada lagu nasional yang kadang masih dinyanyikan, itu  adalah tentang  “Indonesia   Sejak dulu Kala”(Kalah).
Apa artinya ini semua kalau bila dikaitkan dengan konteks refleksi peringatan hari Kartini ?  ternyata habis gelap, terang belum terbit. Emansipasi yang seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya.Wanita telah menjadi komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir.  Kita saksikan beberapa jenis industri mutakhir seperti : mode, kosmitik dan hiburan hampir seluruhnya memanfaatkan wanita. Mobil mewah tidak laku kalau wanita telanjang tidak tidur diatasnya, rokok baru memuaskan bila diselipkan disela sela bibir bibir wanita yang seronok, Hiburan malam akan sepi bila tanpa wanita sensual yang bermanja manja merayu konsumen. Dalam  realitas seperti  ini benarkan perjuangan Kartini sudah tercapai ?
Kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kaum perempuan, namun secara  defacto masih ditemukan berbagai kenyataan  tentang kaum perempuan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Dalam prakteknya perempuan masih diposisikan minor dan dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai aktivitas organisasi sosial keagamaan.
Dalam kurun waktu yang sangat lama, dunia kita adalah dunia laki-laki, kamus ilmiyah menyebutnya patriarkhi. Budaya kita sejak dulu hingga kini selalu didominasi oleh para pejantan, sehingga jadilah kaum laki-laki sebagai “penguasa” di kehidupan ini. Budaya telah sedemikian rupa di setting untuk membuktikan suprioritas laki-laki atas wanita, dan hingga kini spisies wanita masih diposisikan  sebagai subordinat di bawah kaum laki-laki. Jadi stigma nigatif terhadap kaum perempuan sesungguhnya merupakan korban dari  tafsir budaya, kuasa dan agama  yang tidak adil.
Hingga kini, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan peran bagi kaum perempuan jauh dari harapan. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah domestik dan public, mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Indikator lain dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2) Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam berbagai bentuknya. Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali  konstruk kedudukan perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum perempuan,  tugas dan tanggung jawab perempuan dalam konstalasi publik serta  peranan perempuan dalam pembangunan.

Tidak ada komentar: