Tidak
disangsikan bahwa Kartini merupakan
simbol pergerakan perempuan di Indonesia. Dulu, Kartini
melawan sistem ketidak adilan melalui tulisan
surat-suratnya. Surat-surat itu dikirim ke teman-temannya lalu menyebar mendunia. Tulisan Kartini itu
bertema “habis gelap terbitlah terang”.
Saat ini
tatkala kita
memeriksa bacaan putra putri kita dirumah atau melihat judul buku yang mereka
hafal, kita kadang terkejut, karena yang mereka gemari bukannya kisah tentang
perjuangan Raden Ajeng Kartini, melainkan sederet buku tentang kisah
petualangan Cinderella karya Cristian Anderson, Asterix karangan Goscinny atau
Lucky luke karya Morris Fauchei. Tampaknya bagi anak-anak sekarang,
kisah kepahlawanan tokoh nasional telah tergeser oleh ketenaran Demi more, Mc
Hammer, Eric Clapton atau Madonna. Dan kalau masih ada yang berbau nasional
hanyalah tentang Wiro Sableng atau si Buta dari gua hantu. Itu
masih mendingan ketimbang novelnya Fredy.
Film-film nasional yang
bernuansa perjuangan dan kepahlawanan semacam Naga Bonar dan Cut Nya’ Dein ternyata kalah menarik dibanding film Barat seperti Restless, Orginal Sin atau juga Titanic . Ibu ibu muda juga tidak lagi menyanyikan dendang Lir sa’ alir, Neleng neng gung, tombu ati
dsb, karena dianggap kalah ngetren dengan lagu Nowhere, Sweet Dreams, atau juga
humko humisi curalo dari negri Bahadur. Kalau toh masih ada lagu nasional yang
kadang masih dinyanyikan, itu adalah
tentang “Indonesia Sejak dulu Kala”(Kalah).
Apa artinya ini semua kalau bila dikaitkan dengan konteks refleksi peringatan hari Kartini ?
ternyata habis gelap, terang belum
terbit. Emansipasi yang
seharusnya membebaskan wanita dari berbagai bentuk eksploitasi sebagaimana
diperjuangkan Kartini, saat ini malah terjadi sebaliknya.Wanita telah menjadi
komoditas yang diperjual belikan dan dieksploitir. Kita
saksikan beberapa jenis industri mutakhir seperti : mode, kosmitik dan hiburan
hampir seluruhnya memanfaatkan wanita. Mobil mewah tidak laku kalau wanita
telanjang tidak tidur diatasnya, rokok baru memuaskan bila diselipkan disela
sela bibir bibir wanita yang seronok, Hiburan malam akan sepi bila tanpa wanita
sensual yang bermanja manja merayu konsumen. Dalam realitas seperti ini benarkan perjuangan Kartini sudah tercapai ?
Kendati secara dejure telah terdapat pengakuan akan vitalnya kaum
perempuan, namun secara defacto masih ditemukan berbagai
kenyataan tentang kaum perempuan yang kondisinya sangat
memprihatinkan. Dalam prakteknya perempuan masih diposisikan minor dan
dipandang nigatif oleh struktur budaya, politik dan peradaban. Mereka
didefinisikan sebagai mahluk lemah baik secara fisik maupun fsikis, citra
tersebut kemudian diwariskan secara turun-temurun kepada setiap generasi. Dari
proses budaya historis yang demikian, kemudian masyarakat memberikan lebel dan
perlakuan yang khusus bagi perempuan yang pada umumnya merugikan kaum
perempuan, stigma dan pencitraan perempuan dengan bebagai aspek negatifnya
tersebut akhirnya menghegemoni di masyarakat sejalan dengan langgam sejarah
manusia karena terus diperkokoh melalui tafsir budaya, kuasa dan agama.
Tak terkecuali dalam diskursus keislaman, kaum perempuan masih ditempatkan
sebagai second class, sehingga acapkali termarjinalkan, terutama untuk
memegang posisi sebagai penafsir agama. Hal ini pada gilirannya berimplikasi
pada pengakuan publik terhadap ketokohan mereka menjadi setengah hati. Padahal
secara empirik ditengah komunitas masyarakat terdapat sejumlah perempuan yang
dikenal keilmuan, ketokohan dan pengabdiannya serta diakui luas oleh publik
akan kontribusinya bagi pembangunan masyarakat, baik yang dilakukan secara
individu sebagai pendidik, penyuluh dan da’iyah maupun melalui berbagai
aktivitas organisasi sosial keagamaan.
Dalam kurun waktu yang sangat lama, dunia kita adalah dunia laki-laki,
kamus ilmiyah menyebutnya patriarkhi. Budaya kita sejak dulu hingga kini selalu
didominasi oleh para pejantan, sehingga jadilah kaum laki-laki sebagai “penguasa”
di kehidupan ini. Budaya telah sedemikian rupa di setting untuk
membuktikan suprioritas laki-laki atas wanita, dan hingga kini spisies wanita masih diposisikan sebagai subordinat di
bawah kaum laki-laki. Jadi stigma nigatif terhadap kaum perempuan
sesungguhnya merupakan korban dari tafsir budaya, kuasa dan
agama yang tidak adil.
Hingga kini, kendati dentum kesetaraan telah diledakkan, tetapi keadilan
peran bagi kaum perempuan jauh dari harapan. Banyak perempuan mengalami peran ganda dalam wilayah domestik dan public, mereka mengalami kekerasan dalam rumah tangga, seperti
cerai, perselingkuhan, dan pemukulan. Indikator lain dapat ditelusuri dari : (1) angka partisipasi perempuan dalam ranah
publik masih sangat minim terutama bila dibandingkan dengan populasi mereka. (2)
Terjadinya marginalisasi kaum perempuan dari sumber-sumber
informasi.(3)Terjadinya sub ordinasi yakni menempatkan kaum perempuan sebagai second
choice. (4) Terjadinya Streotyping Burden yaitu pembelaan terhadap
perempuan hanya menyangkut soal-soal domistik, dan (5) Terjadinya veolence dalam
berbagai bentuknya. Atas dasar itulah, beberapa pihak memandang perlu
kesepakatan sosial baru untuk menegaskan kembali konstruk kedudukan
perempuan ditengah dunia laki-laki, posisi ruang gerak dan hak-hak kaum
perempuan, tugas dan tanggung jawab perempuan dalam konstalasi publik serta peranan perempuan dalam pembangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar