Oleh : Hefni Zain, S.Ag, MM
Pendahuluan.
Kajian
tentang pesantren selalu aktual dari zaman ke zaman, terutama setelah kian
diakuinya peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk
kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola kehidupan
umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid, 1974 : 39. Tetapi
juga sebagai “institusi kultural” (Untuk
menggambarkan sebuah budaya yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka
diri terhadap pengaruh pengaruh luar) sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo,
1985 : 99.
Dikatakan
unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga
saat ini kecuali menunjukkan kemampuan cemerlangnya melewati berbagai episode
zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya, lembaga pendidikan dan
social tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan
tahun yang silam ini juga tak terbantahkan telah memberikan andil signifikan
dalam proses mencerdaskan kehidupan Bangsa dan proses pencerahan masyarakat. Karena
itu tak heran bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo
pernah mencita-citakan model pendidikan pesantren sebagai model pendidikan
Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya
Indonesia
yang berkarakter dan patut untuk terus dikembangkan.
Yang
menarik ditelaah lebih jauh adalah mengapa Pesantren -baik sebagai
lembaga pendidikan maupun lembaga sosial- masih tetap survive hingga saat ini ?
Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan
bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan
kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi
sistem pendidikan umum dan modern. Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang
mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya
mempertahankan sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan
keterbelakangan dan kejumuan kaum muslimin (1997 : xiii). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan sistem pendidikan pesantren hanyalah fosil masa lampau yang sangat jauh untuk memainkan peran di tengah kehidupan
global. Memang melihat pesantren hanya
sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya tanpa mengenal lebih jauh watak watak barunya yang terus berkembang
dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau
bahkan reduktif.
Karakter & Kecenderungan baru di Pesantren
Dunia
pesantren adalah dunia yang mewarisi dan
memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, dan hal tersebut tidak terbatas
pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya tidak sulit bagi dunia pesantren untuk
melakukan readjustment terhadap berbagai
perubahan yang terjadi. Maka itu
kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar
karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam
melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat
pelbagai karakter dan kecenderungan baru
yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus
survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi
masyarakat transformatif, lebih-lebih ditengah
pengapnya sistem pendidikan nasional yang cenderung memunculkan ketergantungan
yang terus-menerus. Karakter dan kecenderungan tersebut antara
lain :
1.
Karakteristiknya
yang khas dan tidak dimiliki oleh
lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh
sebagai menara air (bukan menara api).
2.
Pesantren
selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous),
Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara
pesantren dengan lingkungannya ibarat harimau dan rimbanya yang satu sama lain
mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering
digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya
menjulang kelangit, pohon itu memberi buah
setiap musim dengan idzin Allah Swt.
3.
Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa
keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan
(Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya
terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil
pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan
falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai
tetapi yang lebih penting adalah siap hidup.
Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi
oase bagi masyarakat dalam perubahan
yang bagaimanapun.
4.
Adanya hubungan lintas sektoral yang
akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru
Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar
menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam dalam setiap jiwa santri dan bahkan
mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar
bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga
bersifat batiniyah.
5.
Model pengasramahan. Dipesantren,
terdapat istilah santri mukim, dimana santri diasramakan dalam satu tempat yang sama. Dimaksudkan
selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau
orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau langsung perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih
penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan
kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri
melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi
ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
6.
Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi. Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang
menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif prospektif dimasa yang akan datang,
karena ia mempunyai karakter membuka
diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi
dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal slogan “Almuhafadatu ala al qodim as soleh
wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)
Kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai
relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara
perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan
selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid,
Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri,
sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary
Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung
perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan,
Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar
radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo,
1982 : 83)
Kurikulumnya juga tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu
agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan
umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa
pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS,
Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa
barat, dll. Sistem pengajaran di Pesantren juga banyak mengalami perbaikan,
selain model salaf juga diterapkan model madrasi, selain tetap mempertahankan
sistem sorogan dan wetonan juga diterapkan sistem klasikal dan penjenjangan. Dari
sisi managemen kelembagaan, ada perubahan mendasar, dari kepeminpinan yang
sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model
managemen kolektif seperti model yayasan.
Demikian juga kita melihat terdapat
beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi
pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan,
public service, dll. Dengan
refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan
fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi
ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada
masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan pembangunan
yang berorientasi pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga
(Institution development) dan kemandirian (Self
reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati
hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren -menurut Azyumardi Azra-
jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan
penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan
kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat
penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna, pusat usaha penyelamatan dan pelestarian
lingkungan hidup, pusat emansipasi
wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)
Khotimah.
Alhasil
bahwa pesantren memiliki kelemahan dan kelebihan, tertapi jika
pesantren mampu mengeleminir kelemahan yang ada
dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi alternatif
yang menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya
system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif
mengabaikan Education for The heart,
yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit
intelektual, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya, meraksasa
dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung
dalam menikmati kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar