Senin, 08 April 2013

PESANTREN & PEMBERDAYAAN MASYARAKAT



Oleh : Hefni Zain, S.Ag, MM
                                                                                                                              
Pendahuluan.
Kajian tentang pesantren selalu aktual dari zaman ke zaman, terutama setelah kian diakuinya peran pesantren yang bukan saja sebagai “sub kultur” (untuk menunjuk kepada lembaga yang bertipologi unik dan menyimpang dari dari pola kehidupan umum di negeri ini) sebagaimana disinyalir Abdurrahman Wahid, 1974 : 39. Tetapi juga sebagai “institusi  kultural” (Untuk menggambarkan sebuah budaya yang punya karakter tersendiri sekaligus membuka diri terhadap pengaruh pengaruh luar) sebagaimana ditegaskan oleh Hadi Mulyo, 1985 : 99.
Dikatakan unik, karena pesantren memiliki karakteristik tersendiri yang khas yang hingga saat ini kecuali menunjukkan kemampuan cemerlangnya melewati berbagai episode zaman dengan kemajemukan masalah yang dihadapinya, lembaga pendidikan dan social tertua yang melekat dalam perjalanan kehidupan Indonesia sejak ratusan tahun yang silam ini juga tak terbantahkan telah memberikan andil signifikan dalam proses mencerdaskan kehidupan Bangsa dan proses pencerahan masyarakat. Karena itu tak heran bila pakar pendidikan sekalas Ki Hajar Dewantoro dan Dr. Soetomo pernah mencita-citakan model pendidikan pesantren sebagai model pendidikan Nasional. Bagi mereka model pendidikan pesantren merupakan kreasi cerdas budaya Indonesia yang berkarakter dan patut untuk terus dikembangkan. 
Yang menarik ditelaah lebih jauh adalah mengapa Pesantren -baik sebagai lembaga pendidikan maupun lembaga sosial- masih tetap survive hingga saat ini ? Padahal sebelumnya banyak pihak yang memperkirakan pesantren tidak akan bertahan lama ditengah perubahan dan tuntutan masyarakat yang kian plural dan kompetitif, bahkan ada yang memastikan pesantren akan tergusur oleh ekspansi sistem pendidikan umum dan modern. Tak kurang dari Sutan Ali Syahbana yang mengatakan bahwa sistem pendidikan pesantren harus ditinggalkan, menurutnya mempertahankan sistem pendidikan pesantren sama artinya dengan mempertahankan keterbelakangan dan kejumuan kaum muslimin (1997 : xiii). Ada juga yang dengan sinis menyebutkan  sistem pendidikan pesantren hanyalah  fosil masa lampau  yang sangat jauh  untuk memainkan peran di tengah kehidupan global. Memang melihat pesantren hanya sebagai lembaga tua dengan segala kelemahannya  tanpa mengenal lebih jauh  watak watak barunya yang terus berkembang dinamik, akan selalu menghasilkan penilaian yang simplifikatif atau bahkan reduktif. 
Karakter & Kecenderungan baru  di Pesantren
Dunia pesantren adalah  dunia yang mewarisi dan memelihara kontinoitas tradisi islam yang dikembangkan ulama dari masa ke masa, dan hal tersebut tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah islam, Karenanya  tidak sulit bagi dunia pesantren untuk melakukan readjustment terhadap berbagai  perubahan yang terjadi.  Maka itu kemamupuan pesantren untuk tetap survive dalam setiap perubahan, bukan sekedar karena karakteristiknya yang khas, tetapi juga karena kemampuannya dalam melakukan adjustment dan readjustment.
Terdapat pelbagai karakter dan  kecenderungan baru yang terus berkembang dinamis dalam pesantren yang membuatnya tetap dan terus survive dan bahkan berpotensi besar sebagai salah satu alternatif ideal bagi masyarakat transformatif, lebih-lebih ditengah pengapnya sistem pendidikan nasional yang cenderung memunculkan ketergantungan yang terus-menerus.   Karakter dan kecenderungan tersebut antara lain :
1.  Karakteristiknya yang khas dan tidak dimiliki  oleh lembaga pendidikan lainnya, yakni mengakar kuat di masyarakat dan berdiri kokoh sebagai menara air  (bukan menara api).
2.  Pesantren selain identik dengan makna keislaman juga mengandung makna keaslian Indonesia (indigenous), Pesantren selain memiliki lingkungan, juga menjadi milik lingkungannya. antara pesantren dengan lingkungannya ibarat harimau dan rimbanya yang satu sama lain mempunyai relasi yang erat bersifat simbiotik dan organik. Karena itu posisi pesantren bagi masyarakatnya sering digambarkan seperti pada Qs. Ibrahim : 24 – 25. Laksana  pohon yang baik, akarnya kokoh dan rantingnya menjulang kelangit, pohon itu memberi buah  setiap musim dengan idzin Allah Swt.
3.  Di Pesantren terdapat prinsip yang disebut Panca Jiwa, yakni berupa keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukuwah islamiyah dan kebebasan (Subahar, 2002 : 5) Menurut Subahar, Hakekat pendidikan pesantren sebenarnya terletak pada pembinaan jiwa ini, bukan pada yang lain, karenanya hasil pendidikan di Pesantren akan mencetak jiwa yang kokoh yang sangat menentukan falsafah hidup santri dihari kemudian, artinya, mereka tidak sekedar siap pakai tetapi yang lebih penting adalah siap hidup.  Prinsip inilah yang menjadikan pesantren tetap survive dan terus menjadi oase  bagi masyarakat dalam perubahan yang  bagaimanapun.
4.  Adanya hubungan  lintas sektoral yang akrab antara santri dengan kyai. Artinya Kyai bagi santri tidak sekedar guru Ta’lim, tetapi juga sebagai guru ta’dzib dan guru tarbiyah. Dia tidak sekedar menyampaikan informasi keislaman, tetapi juga menyalakan etos Islam   dalam setiap jiwa santri dan bahkan mengantarkannya pada taqarrub ilalloh. Karena itu   hubungan kyiai dengan santri tidak sekedar bersifat fisikal, tetapi lebih jauh juga  bersifat batiniyah.
5.  Model pengasramahan.  Dipesantren, terdapat istilah santri mukim, dimana santri  diasramakan dalam satu tempat yang sama.  Dimaksudkan  selain menjadikan suasana tidak ada perbedaan antara anak orang kaya atau orang miskin. Juga sang kyiai dapat memantau langsung  perkembangan keilmuan santri, dan yang lebih penting adalah diterapkannya pola pendampingan untuk melatih pola prilaku dan kepribadian para santri. Selain itu, pola pengasramahan memungkinkan santri melatih kemampuan bersosial dan bermasyarakat, sehingga akan cepat beradaptasi ketika mereka terjun pada kehidupan masyarakat yang sesungguhnya.
6.  Fleksibel terhadap berbagai perubahan yang terjadi.  Menurut Hadi Mulyo, Salah satu faktor yang menjadikan pesantren tetap eksis dan bahkan menjadi alternatif  prospektif dimasa yang akan datang, karena  ia mempunyai karakter membuka diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi  dalam kehidupan riil, dikalangan pesantren terkenal  slogan “Almuhafadatu ala al qodim  as soleh  wal ajdu bil jadidil aslah” . (1995 : 99)

Kekhawatiran banyak pihak yang memprediksi pesantren akan kehilangan nilai relevasinya dengan kehidupan sosial yang terus berubah, saat ini secara perlahan mulai terjawab, Misalnya dalam segi “Elemen pokok”, pada perkembangan selanjutnya elemen pokok pesantren tidak hanya terdiri dari : Kyai, Masjid, Pondok, Pengajian kitab klasik dan santri,   sebagaimana dilihat Clifford Greertz, Martin Van Bruinessen, Zamakzary Dhofir dan Zeimek, Tapi telah jauh berkembang pada : Pusat keterampilan, gedung perguruan tinggi, pusat olah raga, kantor administrasi, perpustakaan, Laboratorium, Pusat pengembangan bahasa, koprasi, balai pengobatan, pemancar radio, penerbitan dan lain lain (Kontowijoyo, 1991 :251 dan Sujoko Prasojo, 1982 : 83)
Kurikulumnya juga tidak sekedar fokus pada kita kitab klasik (baca : ilmu agama), tetapi juga memasukkan semakin banyak mata pelajaran dan keterampilan umum, di Pesantren saat ini dikhotomi ilmu mulai tidak populer , beberapa pesantren bahkan mendirikan lembaga pendidikan umum yang berada dibawah DIKNAS, Misalnya Undar Jombang, Pondok pesantren Iftitahul Muallimin Ciwaringin Jawa barat, dll. Sistem pengajaran di Pesantren juga banyak mengalami perbaikan, selain model salaf juga diterapkan model madrasi, selain tetap mempertahankan sistem sorogan dan wetonan juga diterapkan sistem klasikal dan penjenjangan. Dari sisi managemen kelembagaan, ada perubahan mendasar, dari kepeminpinan yang sentralistik, hirarkis dan cenderung singgle fighter berubah menjadi model managemen kolektif seperti model yayasan.
Demikian juga  kita melihat terdapat beberapa refungsionalisasi dalam pesantren, misalnya dari sekedar fungsi pendidikan dan sosial, saat ini berkembang pada fungsi ekonomi, pengkaderan, public service, dll.  Dengan refungsionalisasi tersebut, pesantren pada gilirannya tidak sekedar memainkan fungsi - fungsi tradisionalnya, seperti : transmisi ilmu-ilmu keislaman, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi ulama’, tetapi juga telah menjadi alternatif pembangunan yang berpusat pada masyarakat itu sendiri (People centered development), Pusat pengembangan pembangunan yang berorientasi pada nilai (Value oriented development), Pembangunan lembaga (Institution development) dan kemandirian (Self  reliance and sustainability).
Dengan berbagai perkembangan baru yang terus bergerak (walau terkesan hati hati dan cenderung gradual evolusioner), Pesantren -menurut Azyumardi Azra- jelas bukan saja mampu bertahan dan survive, tapi lebih dari itu, dengan penyesuaian, akomodasi dan perubahan yang dilakukannya, pada gilirannya  pesantren mampu mengembangkan diri dan bahkan kembali menempatkan dirinya pada posisi sentral sebagai pusat pencerahan, pusat penyuluhan kesehatan, pusat pengembangan tehnologi tepat guna,  pusat usaha penyelamatan dan pelestarian lingkungan hidup,  pusat emansipasi wanita dan pusat pemberdayaan ekonomi masyarakat.( 1997 : xxi)

Khotimah.
Alhasil bahwa pesantren memiliki kelemahan dan kelebihan, tertapi jika pesantren mampu mengeleminir kelemahan yang ada dan mengoptimalkan kelebihannya, maka bukan tidak mungkin ia menjadi alternatif yang menjajikan dimasa masa yang akan datang, terutama ditengah pengapnya system pendidikan nasional yang cenderung lebih menekankan pada education for the brain dan relatif mengabaikan Education for The heart, yang gilirannya hampir bisa dipastikan akan menghasilkan over educated society, kian membludaknya pengangguran elit intelektual, cerdas otaknya tapi bodoh nuraninya, meraksasa dalam tehnik tapi merayap dalam etik, pongah dengan pengetahuan tapi bingung dalam menikmati kehidupan.

Tidak ada komentar: