Jumat, 05 April 2013

HEMAR BERJUBAH RESI


Sepertinya disiplin epistimologis kita tengah mengalami kerusakan, kalau ada sekelompok orang dari peradaban ini mengatakan atau berbuat sesuatu, jangan cepat-cepat difahami sesuai makna normatifnya, tetapi mesti dicari dulu tafsir interesnya. Budaya kita kadang tidak waras, acapkali kita mengecam siapapun yang melakukan tindakan tercela, kecuali pelakunya adalah kroni kita sendiri. Kita menolak keras prilaku korupsi, kecuali kita ikut kecipratan, kita selalu tidak iklas terhadap praktek kolusi dan nepotisme, kecuali bila kita dilibatkan didalamnya. Provokasi adalah tidak halal, penggunaan standart ganda adalah haram, mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik adalah lebih haram, tetapi bila yang melakukan adalah teman kita sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau ulama panutan kita, maka tidak apa-apa, wajib kita tutupi, tidak perlu di besar-besarkan bahkan tidak usah diwacanakan.
Yang dimaksud dengan tokoh adalah orang yang kita dukung, kita dorong, kita perjuangkan dan kita bela untuk menjadi pemimpin formal atau non formal, karena kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa dapat proyek, bisa makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat ini dan itu.  Calon pemimpin adalah orang yang kalau ia berhasil, kita harapkan dapat memberi keuntungan kepada kita, sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada kelompok kita, ormas atau orpol kita, kalau terpaksa tidak maksimal, ya...yang penting dapat memberi keuntugan bagi kita pribadi. Dengan atmosfir nilai semacam ini fenomena mobilisasi masa untuk kepentingan tertentu, bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Profesi kita ini sungguh tidak jelas. Bila ada penguasa yang tidak menguntungkan kita, kita memperjuangkan satu diantara tiga kemungkinan, Pertama, kita tumbangkan penguasa itu agar kita dapat menggantikannya menguasai kekuasaan. Kita turunkan Suharto untuk di Suhartoi sendiri, kita bunuh macan untuk dimacani sendiri. Kita ganyang Gayus untuk di Gayusi sendiri, begitu seterusnya. Kedua, kita tekan penguasa itu pada level yang kita mampu agar mereka tidak terlalu egois sehingga dapat berkoordinasi dan berbagi dengan kita. Atau kemungkinan Ketiga, kalau kita tidak memiliki posisi bargaining untuk melakukan negoisasi, maka kita upayakan cara-cara mengemis, tentu saja dengan cara yang tidak tampak seperti pengemis, misalnya dihiasai atau ditutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh nasionalisme dan  kemanusiaan. Jadi kalau sedang berkuasa, profesi kita adalah merampok, tetapi kalau tidak berkuasa berganti profesi menjadi pengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah dukungan, pindah kometmen dan semacamnya, yang semua itu dibungkus atas nama dinamika demokrasi.
Aneh memang, dulu kita mengutuk keras prilaku Sumanto yang kanibal, padahal Sumanto hanya berani makan mayat, itupun mayat nenek-nenek yang sudah ada di kuburan. Sumanto tidak pernah berani makan daging segar, daging rakyat sebagaimana banyak terjadi di kalangan kita. Sumanto hanyalah rakyat jelata yang tidak mengerti hukum, itu spela, yang tidak spele adalah mereka yang mengerti hukum tetapi mempermainkannya, mengerti moral namun menghianatinya, menjadi wakil rakyat tetapi sibuk mewakili kepentingan diri dan golongannya. Maka prilaku Sumanto sesungguhnya adalah prilaku kita semua.

Perlu Introspeksi
Kedepan, untuk menentukan syarat pemimpin misalnya, kita tidak usah muluk-muluk, yang sederhana saja. Yang paling penting syarat pemimpin itu adalah ia harus seorang manusia,  syarat ini kurang kita diperhatikan, padahal ratusan juta orang dimuka bumi ini sengsara dan menderita gara-gara pemimpinnya berprilaku tidak seperti manusia.
Dalam kondisi seperti sekarang ini, manusia belum tentu instiqomah berprilaku sebagai manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu, pada situasi sosial politik tertentu, ia berprilaku seperti monster kendati fisiknya berupa manusia. Pemimpim belum tentu pemimpin, bisa juga ia seorang pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang eksploitator yang penuh nafsu, panutan belum tentu panutan, bisa juga ia seorang penunggang dan umat dijadikan kudanya. Ahli fiqh belum tentu ahli fiqh, bisa juga ia penjual fatwa.
Maka biarlah kita tidak mempunyai apa-apa, asal masih punya  harga diri. Banyak diantara kita yang telah memiliki barang  mahal, tetapi harga dirinya malah murah. Tidak sedikit diantara kita yang telah memiliki segalanya, tetapi malah tidak memiliki harga diri dan rasa malu, sekaya apapun seseorang, setinggi apapun jabatannya, bila ia kehilangan harga diri dan rasa malu, maka tidak akan ada artinya dihadapan manusia, dan lebih-lebih dihadapan Allah swt. Dan sebagai rakyat, kita telah dikecewakan bertubi-tubi oleh orang-orang yang pura-pura mengayomi kita. Maka tidak salah bila rakyat jelata tersenyum kecut atau bahkan menutup telinga bila mendengar tausiah atau fatwa dari para tokoh yang selama ini mereka ikuti, sebab ternyata terlalu sering mereka dipertontonkan kepada banyaknya burung-burung beo yang menyamar menjadi filosof, atau hemar-hemar yang berjubah  resi.


Tidak ada komentar: