Sepertinya
disiplin epistimologis kita tengah mengalami kerusakan, kalau ada sekelompok
orang dari peradaban ini mengatakan atau berbuat sesuatu, jangan cepat-cepat
difahami sesuai makna normatifnya, tetapi mesti dicari dulu tafsir interesnya.
Budaya kita kadang tidak waras, acapkali kita mengecam siapapun yang melakukan
tindakan tercela, kecuali pelakunya adalah kroni kita sendiri. Kita menolak
keras prilaku korupsi, kecuali kita ikut kecipratan, kita selalu tidak iklas
terhadap praktek kolusi dan nepotisme, kecuali bila kita dilibatkan didalamnya.
Provokasi adalah tidak halal, penggunaan standart ganda adalah haram,
mengatasnamakan agama untuk kepentingan politik adalah lebih haram, tetapi bila
yang melakukan adalah teman kita sendiri, bapak kita, tokoh parpol kita, atau
ulama panutan kita, maka tidak apa-apa, wajib kita tutupi, tidak perlu di
besar-besarkan bahkan tidak usah diwacanakan.
Yang
dimaksud dengan tokoh adalah orang yang kita dukung, kita dorong, kita
perjuangkan dan kita bela untuk menjadi pemimpin formal atau non formal, karena
kalau berhasil, maka kita semua akan mendapatkan akses-akses dari beliau, bisa
dapat proyek, bisa makelaran jabatan, atau sekalian ditempatkan menjadi pejabat
ini dan itu. Calon pemimpin adalah orang
yang kalau ia berhasil, kita harapkan dapat memberi keuntungan kepada kita,
sekurang-kurangnya memberi keuntungan kepada kelompok kita, ormas atau orpol
kita, kalau terpaksa tidak maksimal, ya...yang penting dapat memberi keuntugan
bagi kita pribadi. Dengan atmosfir nilai semacam ini fenomena mobilisasi masa
untuk kepentingan tertentu, bukanlah sesuatu yang mengherankan.
Profesi
kita ini sungguh tidak jelas. Bila ada penguasa yang tidak menguntungkan kita,
kita memperjuangkan satu diantara tiga kemungkinan, Pertama, kita
tumbangkan penguasa itu agar kita dapat menggantikannya menguasai kekuasaan.
Kita turunkan Suharto untuk di Suhartoi sendiri, kita bunuh macan untuk
dimacani sendiri. Kita ganyang Gayus untuk di Gayusi sendiri, begitu
seterusnya. Kedua, kita tekan penguasa itu pada level yang kita mampu
agar mereka tidak terlalu egois sehingga dapat berkoordinasi dan berbagi dengan
kita. Atau kemungkinan Ketiga, kalau kita tidak memiliki posisi
bargaining untuk melakukan negoisasi, maka kita upayakan cara-cara mengemis,
tentu saja dengan cara yang tidak tampak seperti pengemis, misalnya dihiasai
atau ditutupi dengan retorika, jargon dan tema-tema yang indah dan penuh
nasionalisme dan kemanusiaan. Jadi kalau
sedang berkuasa, profesi kita adalah merampok, tetapi kalau tidak berkuasa
berganti profesi menjadi pengemis, pindah parpol, pindah koalisi, pindah
dukungan, pindah kometmen dan semacamnya, yang semua itu dibungkus atas nama
dinamika demokrasi.
Aneh
memang, dulu kita mengutuk keras prilaku Sumanto yang kanibal, padahal Sumanto
hanya berani makan mayat, itupun mayat nenek-nenek yang sudah ada di kuburan.
Sumanto tidak pernah berani makan daging segar, daging rakyat sebagaimana
banyak terjadi di kalangan kita. Sumanto hanyalah rakyat jelata yang tidak
mengerti hukum, itu spela, yang tidak spele adalah mereka yang mengerti hukum
tetapi mempermainkannya, mengerti moral namun menghianatinya, menjadi wakil
rakyat tetapi sibuk mewakili kepentingan diri dan golongannya. Maka prilaku
Sumanto sesungguhnya adalah prilaku kita semua.
Perlu Introspeksi
Kedepan,
untuk menentukan syarat pemimpin misalnya, kita tidak usah muluk-muluk, yang
sederhana saja. Yang paling penting syarat pemimpin itu adalah ia harus seorang
manusia, syarat ini kurang kita
diperhatikan, padahal ratusan juta orang dimuka bumi ini sengsara dan menderita
gara-gara pemimpinnya berprilaku tidak seperti manusia.
Dalam
kondisi seperti sekarang ini, manusia belum tentu instiqomah berprilaku sebagai
manusia, bisa juga pada momentum tertentu, pada kondisi psikologis tertentu,
pada situasi sosial politik tertentu, ia berprilaku seperti monster kendati
fisiknya berupa manusia. Pemimpim belum tentu pemimpin, bisa juga ia seorang
pendendam, pemberang dan culas, tokoh belum tentu tokoh, bisa juga ia seorang
eksploitator yang penuh nafsu, panutan belum tentu panutan, bisa juga ia
seorang penunggang dan umat dijadikan kudanya. Ahli fiqh belum tentu ahli fiqh,
bisa juga ia penjual fatwa.
Maka
biarlah kita tidak mempunyai apa-apa, asal masih punya harga diri. Banyak diantara kita yang telah
memiliki barang mahal, tetapi harga
dirinya malah murah. Tidak sedikit diantara kita yang telah memiliki segalanya,
tetapi malah tidak memiliki harga diri dan rasa malu, sekaya apapun seseorang,
setinggi apapun jabatannya, bila ia kehilangan harga diri dan rasa malu, maka
tidak akan ada artinya dihadapan manusia, dan lebih-lebih dihadapan Allah swt.
Dan sebagai rakyat, kita telah dikecewakan bertubi-tubi oleh orang-orang yang
pura-pura mengayomi kita. Maka tidak salah bila rakyat jelata tersenyum kecut
atau bahkan menutup telinga bila mendengar tausiah atau fatwa dari para tokoh
yang selama ini mereka ikuti, sebab ternyata terlalu sering mereka
dipertontonkan kepada banyaknya burung-burung beo yang menyamar menjadi
filosof, atau hemar-hemar yang berjubah
resi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar