Ust. Hefni Zain, S.Ag, MM
Di
bulan agustus 2006, pada kesempatan Presidential Lecture, di istana negara
Susilo Bambang Yudhoyono pernah menyatakan bahwa korupsi di Indonesia
sudah diluar control karena terlalu besar dan menggurita hampir di semua
institusi, baik ekskutif, legislatif maupun yudikatif. Pernyataan
diatas mengisyaratkan bahwa bangsa ini
tengah mengidap penyakit (terutama : batin) yang kronis dan bersifat
massif, dan hingga kini belum ditemukan
cara efektif untuk menyembuhkannya.
Ironisnya, penyakit itu telah menyebar luas menjangkiti hampir seluruh
sendi bangsa ini. Mulai lembaga politik, hukum, perpajakan, pendidikan, pemerintahan dan bahkan di
kementerian agama dan lembaga peradilan, orang-orangnya telah terinveksi penyakit psikologis akibat
persaiangan dan perburuan atas mahluk paling sexy yang bernama harta
dan tahta, persaingan itu kemudian secara evolutif membentuk gaya hidup bahkan
menjadi budaya yang dilumrahkan.
Dalam konteks penyakit fisik, menurut data Human Development Index tahun 2011, Indonesia menempati peringkat ke 112
dari 175 negara berpenyakit, persis dibawah nagera Somalia, tetapi dalam konteks penyakit psikis
Indonesia ditengarai lebih dahsyat dari penyakit fisiknya. Yang aneh, dalam kondisi demikian, semuanya orang di negeri ini merasa tidak
berpenyakit kendati indikatornya sudah sangat jelas. Memang dokter tidak dapat mendiagnosis penyakit jenis ini, tetapi publik sangat jelas melihatnya, sebab
penyakit sejenis itu tidak saja menodorong penderita berkelakuan tidak beres,
tetapi lebih jauh akan mempengaruhi nasib atau menyakitkan orang banyak. Beberapa pihak menuding aspek
pendidikan bertanggung jawab terhadap mewabahnya berbagai penyakit bathin kronis
di negeri ini.
Dalam sebuah konferensi yang dihadiri puluhan pakar dan guru besar di USA, Prof.
Dr. Benjamin E.Mays, seorang rektor pada Morehouse Collage Gorgia mengeluarkan
statemen mengejutkan, Dia mengatakan bahwa lembaga pendidikan
modern saat ini hanya menghasilkan manusia
yang berpenyakit, lebih banyak melahirkan orang- orang pandai, tapi kian
sulit melahirkan orang-orang jujur, manusia yang bernalar tinggi tetapi berhati
kering, Bagi Benjamin peradaban dunia saat ini bukan lagi membutuhkan
pengetahuan, sebab pengetahuan sudah banyak
kita miliki, yang mendesak bagi peradaban
global adalah sesuatu yang spiritual (some thing
spiritual), sebab jika
mencetak manusia yang berfikir saja, tak ubahnya dengan binatang yang bercacat (I’homme qui medite est un animal deprave)
Manusia adalah
semacam radio dua band. Bila satu potensi dikembangkan luar biasa sedangkan
potensi yang lain diabaikan, maka dia akan menjadi mahluk yang bermata satu.
Seorang pejabat akan melihat kemelaratan rakyat jelata sebagai angka angka yang
dapat dikalikan dengan satuan biaya dan
menghasilkan komodity dan proyek miliyaran rupiah, tetapi ia tidak mampu
memaknai butir-butir air mata kepedihan dibalik mata-mata yang cekung dan
derita kemelaratan disela sela tulang rusuk yang mencuat. Seorang praktisi hukum
dengan cepat mengetahui pasal mana yang dapat dipakai untuk memenangkan
perkara, tetapi buta dengan isyarat keadilan sehingga kliennya berubah menjadi mesin ATM atau sapi
perahan.
Kalau bagi Thomas Marton , dalam
bukunya “Mysticism in the Nuclier Age” kita tidak bisa menyelamatkan
dunia hanya dengan sebuah sistem, maka
tentu saja kita juga tidak bisa memperbaiki karakter bangsa ini tanpa
orang-orang suci dan jujur. Tidak ada satu sistem, teori atau metode yang dapat
mengeluarkan kita dari kegelapan ini, kita memerlukan orang-orang suci yang
dengan sinar ruhaniyahnya memancarkan cahaya untuk menerangi kegelapan. Jadi
dunia sekarang lebih memerlukan kehadiran satu manusia suci dari pada seribu
manusia nalar.
Dari spektrum diatas, maka mendesak untuk merancang
model pendidikan berbasis ketaqwaan dan kejujuran yang menekankan pada peserta
didik kesucian dengan cara mengambil jarak
dengan nafsu. Dari model
pendidikan yang semacam itu diharapkan dapat menjadi program vaksinasi mondial yang dapat memperkuat manusia Indonesia dengan berbagai vitamin batin. Seperti latihan
sabar, jujur, sederhana, pemaaf, menahan marah, positif thinking. Ini semacam program pendidikan peragihan ruhani, guna menyiapkan batin
agar punya kekebalan terhadap berbagai bentuk penyakit. Tujuan utamanya adalah mencetak out put manusia taqwa, yakni
manusia tawadu’, qonaah, wara’ dan
yaqin. Dengan tawadu’ penyakit
angkuh, arogan, congkak, riya’ sombong, ujub, takabbur akan hilang. Dengan Qona’ah penyakit rakus dan serakah akan hilang. Dengan wara’ penyakit sikut kiri kanan akan hilang. Dan dengan
yaqin, penyakit psimistis, rendah diri dan ragu-ragu akan wes se wes se wes bablas penyakitnya.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar